Lisa benci ketika dirinya harus datang ke makam.
Ya, hal itu wajar untuk Lisa karena bagi dirinya makam itu merupakan suatu tempat yang begitu menyedihkan yang pernah ada. Bahkan, jika Lisa tidak di haruskan untuk datang ke makam, ia juga tidak akan pernah sekalipun mau menginjakkan kakinya di makam.
Bagi Lisa, makam itu merupakan suatu tempat yang begitu suram yang seharusnya tidak perlu ada di dunia ini.
Makam itu identik dengan tempat sakral yang membuat seseorang di dalam hidup kita harus pergi dan tidak pernah kembali lagi karena mereka memang sudah ditakdirkan untuk menetap selamanya di tempat bernama makam itu.
Terakhir, makam itu identik dengan suasana menyedihkan, hancur, dan kehilangan di waktu yang bersamaan.
Ketiga alasan itu lah yang membuat Lisa begitu membenci dengan tempat yang disebut makam. Namun, semenjak kepergian dua orang yang begitu Lisa cintai dalam hidupnya itu mampu membuat Lisa mau tidak mau setiap harinya harus datang ke makam.
Benar, sudah menjadi rutinitas sehari-hari Lisa untuk datang ke makam dengan tujuan mengunjungi kedua makam seseorang yang begitu ia cintai itu. Kedua makam seseorang yang telah pergi meninggalkan hidup Lisa untuk selamanya.
Setiap harinya Lisa selalu datang dengan membawa bunga mawar putih untuk kedua orang yang sangat ia cintai itu, bahkan tidak pernah ada hari yang ia lewatkan untuk mengunjungi makam Jennie dan Rosé.
Seperti yang tengah Lisa lakukan saat ini, ia sudah berdiri tepat di samping makam Rosé, dengan matanya yang sendu tidak ada bosannya memandang ke arah makam Rosé.
"Sudah satu tahun, bukan?"
Suara familiar dari lelaki itu berhasil menarik perhatian Lisa, dengan gerak cepat Lisa segera menoleh ke arah sumber suara.
Mino.
Saat ini Mino sudah berdiri tepat di samping Lisa. Jujur saja, kehadiran Mino yang tiba-tiba ini cukup mengejutkan Lisa. Bagaimana bisa saudara kandung Jennie ini sudah berdiri tepat di sampingnya? Dan juga---- apa yang Mino lakukan di makam Rosé?
"Kau---- apa yang kau lakukan di sini?"
"Apa yang aku lakukan di sini? Tentu saja aku mengunjungi Chaeyoung."
"Untuk apa? Untuk apa kau mengunjungi makam Chaeng?" tanya Lisa penasaran.
"Maaf sebelumnya, apa aku tidak boleh datang untuk mengunjungi makam Chaeyoung?"
Lisa menggeleng pelan. "Tidak, bukan maksudku seperti itu. Kau boleh mengunjungi Chaeng, aku juga tidak akan melarangmu untuk datang kemari, hanya saja aku masih tidak paham mengapa kau tiba-tiba datang kemari, bahkan kau tidak mengenal Chaeng, bukan? Jadi untuk apa kau datang kemari?"
Mino tersenyum tipis mendengar seluruh kalimat yang di ucapkan Lisa, kemudian matanya beralih menatap teduh ke arah makam Rosé.
"Siapa bilang aku tidak mengenal Chaeyoung?"
"Apa?" tanya Lisa dengan tatapan tidak percaya. "Apa maksudmu berbicara seperti itu?"
Mino kembali tersenyum tipis, dengan tatapan matanya yang kini sudah menatap Lisa dalam. "Bagaimana bisa aku tidak mengenal seseorang yang telah begitu baik hati rela mendonorkan ginjalnya untuk Jennie?"
Lagi, kedua kalinya Lisa dibuat tidak percaya dengan apa yang telah di katakan Mino pada dirinya. Jika apa yang dikatakan Mino itu memang benar, itu tandanya Jennie juga mengetahui fakta yang sebenarnya, bukan? Tapi, bagaimana caranya Mino mengetahui bahwa Rosé adalah pendonor Jennie?
Tidak, seharusnya Mino tidak mengetahui fakta yang sebenarnya. Bagaimana bisa Mino mengetahui fakta yang sebenarnya sedangkan hanya Lisa, lalu ketiga sahabat Rosé, dan juga Hanbin serta Bobby yang mengetahui fakta ini?