Empat puluh lima

1.2K 170 45
                                    

Petrichor

Aroma khas yang dibawa hujan ketika tengah menumpahkan seluruh isinya pada bumi.

Secangkir kopi tengah menemani pagi Lisa menghirup petrichor dari balkon kamarnya. Hari ini Lisa sedang dalam kondisi yang tidak baik, padahal jam telah menunjukkan pukul tujuh pagi, tapi Lisa sama sekali tidak bersemangat. Senyum miris terukir di ujung bibir Lisa, kala pikirannya yang mulai berkelana tidak jelas.

Lisa menghembuskan napasnya panjang, meletakkan cangkir kopi yang baru ia sesap beberapa kali. Pandangannya lurus ke depan, pikirannya kosong, dan berakhir dengan pipinya sudah dibasahi oleh air matanya.

Lisa merasa bahwa apa yang terjadi padanya hari ini memang sudah direncanakan oleh Tuhan sebagaimana mestinya. Hujan di pagi hari yang tentu saja membuat cuaca menjadi sangat mendung dengan disertai aroma khas dari petrichor, kemudian suasana hati Lisa yang sedang tidak baik, juga kepedihan teramat dalam yang tengah Lisa rasakan saat ini. Ah, rasanya memang Tuhan sengaja merencanakan semua ini. Ya, kombinasi yang mungkin cukup baik, tapi tidak untuk Lisa.

Lisa kembali tersenyum miris, benaknya kembali bertanya-tanya pada Tuhan yang bagi Lisa tidak bisa sepenuhnya mengerti kondisi Lisa. Ya, Lisa merasa bahwa semua yang telah direncanakanNya tidak membuat Lisa menjadi lebih baik tapi justru membuat Lisa semakin terluka, apa Tuhan ini benar-benar paling mengerti perasaan Lisa? Sejak tadi Lisa mencari jawaban atas pertanyaan itu, namun Lisa tidak kunjung menemukannya.

Air mata Lisa kembali jatuh begitu deras, napasnya tidak beraturan, ini benar-benar terasa menyakitkan untuk dirinya. Mengapa harus dirinya? Mengapa bukan orang lain?

"Lisa."

Lisa sontak menyeka air matanya begitu mendengar suara familiar dari Hanbin yang merasuki telinga.

Lisa diam, ia enggan menjawab Hanbin. Lisa merasa sangat malas untuk sekedar membuka suara.

"Sudah waktunya untuk kita----"

Kalimat Hanbin mendadak terputus ketika lelaki itu melihat Lisa yang sudah berbalik arah dan menatapnya dengan tatapan yang sangat tajam.

"Aku sudah mengatakan hal ini padamu kan? Kalau aku tidak akan ikut, pergilah dan tidak perlu menungguku." ujar Lisa yang akhirnya angkat bicara.

Hanbin menghela napasnya panjang. "Aku tau, tapi----"

"Hanbin, kumohon---- jangan paksa aku." pinta Lisa.

"Aku juga tidak ingin memaksamu, tapi dia----"

"Ck, jika aku sudah bilang tidak, maka sampai kapan pun tidak!" ujar Lisa dengan suara meningginya.

Jujur saja, Lisa sudah sangat kesal dengan sahabatnya itu. Sejak pertama kali Hanbin datang dan memanggil namanya, rasa kesal Lisa telah muncul, dan kini Lisa semakin kesal dengan Hanbin karena lelaki itu yang terus-menerus memaksa Lisa tanpa tahu bagaimana perasaan Lisa saat ini.

Berbeda dengan Lisa yang kesal dengan dirinya, Hanbin justru merasa iba dan prihatin dengan kondisi Lisa saat ini. Terlihat begitu jelas mata sembab milik Lisa, bahkan tatapannya sangat sayu. Hanbin tau, Lisa sudah menangis sejak semalaman dan pasti sahabatnya itu juga sudah lelah menangis, namun Lisa juga tidak memiliki pilihan lain selain menumpahkan segalanya dalam bentuk air mata.

Hanbin menghela napas pelan, sebenarnya ia juga tidak ingin memaksa Lisa, karena Hanbin juga sangat tidak suka jika ada seseorang yang memaksanya. Namun, saat ini memang harus Hanbin lakukan, Hanbin harus memaksa Lisa bagaimana pun caranya.

"Lisa, aku tau bagaimana perasaanmu saat ini, tapi kau harus----"

"Tidak!" Lisa berteriak cukup keras. "Kau tidak pernah tau bagaimana perasaanku!"

That Should Be MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang