Saat ini Meisya sedang berada di ruangan kepala sekolah. Speaker sekolah tadi memanggilnya untuk datang ke ruangan ini. Alhasil, rumor yang tersebar di sekolah semakin terbukti kebenarannya. Padahal, mereka tidak tahu apa-apa. Dasar netizen!
Buktinya saja, saat tadi Meisya sedang berjalan menuju ruang kepala sekolah, semua orang membicarakannya, gurupun ikut membicarakan salah satu muridnya yang sering mendapatkan masalah ini. Jujur saja, Meisya sudah biasa dipanggil ke kantor kepala sekolah seperti ini, tapi saat ini masalahnya berbeda. Papahnya ikut dibicarakan, Meisya tidak terima itu. Memang, Meisya benci pada papanya yang sering menyiksanya. Tapi disatu sisi, papanya itu masih orangtua kandungnya. Dia orangtua Meisya satu-satunya sekarang. Setelah ibunya pergi dengan pria lain, papanya yang menjaganya walaupun dengan cara yang salah.
"Kamu tenang aja Meisya, tante akan cari orang yang nyebarin foto itu. Bisa-bisanya mereka sebarin foto itu dan bilang kalau kamu suka main-main sama om-om! Kamu gak gitu kan, Meisya?" omongan tante Sena yang notabenenya adalah kepala sekolah di sekolah ini, membuyarkan lamunan Meisya.
Meisya tersenyum manis seraya menggelengkan kepalanya.
Orang yang ada di hadapannya, menghela nafas lega. Dia tahu kalau Meisya itu anak yang baik. Hanya saja, ada sebuah alasan di balik nakalnya Meisya saat ini.
"Kamu berhenti datang ke kelab ya, Meisya? Tante gak mau denger rumor tentang kamu kalau kamu itu nakal. Tante tahu kamu anak yang baik, tapi semenjak kejadian itu terjadi kamu sering datang ke kelab dan kamu dicap nakal oleh orang-orang. Bisa ya, Meisya?" tante Sena menggengam tangan Meisya erat, sorot matanya terlihat memohon.
Meisya membalas genggaman tangan tantenya, dia menatap tante Sena dalam. "Tapi papa gimana, tante? Dia sering datang ke sana, Meisya takut terjadi apa-apa. Tante tahu, kan, kalau papa pernah hilang sesudah pulang dari sana waktu itu." ujar Meisya, tangannya tak lepas dari genggam itu.
"Kita bawa papa kamu ke rumah sakit, ya? Kamu sudah cukup disiksa seperti ini."
"Tapi papa butuh aku tante!" seru Meisya.
"Yang dia butuh bukan kamu, tapi Sahira!" tegas tante Sena yang berhasil menampar Meisya.
Tante Sena bilang benar. Yang dibutuhkan papanya saat ini bukan Meisya, tapi Sahira. Kakak Meisya yang meninggal enam tahun yang lalu.
"Papa kamu itu punya penyakit dimensia, Meisya. Dia gak bisa bedain kamu sama Sahira yang sudah meninggal enam tahun yang lalu. Kamu mau sampai kapan jadi Sahira agar kamu diperlakukan baik sama papa kamu? Sedangkan kamu jadi diri kamu sendiri malah disiksa sama papa kamu?" lagi-lagi perkataan Tante Sena menampar Meisya, kali ini lebih keras membuat cairan bening itu keluar dari pelupuk matanya.
"Tante tau? Aku benci papa saat aku jadi Meisya, tapi aku sayang papa saat aku jadi Sahira." lirih Meisya yang semakin menggenggam erat tangan tantenya yang selalu ada dikala Meisya sedih seperti ini. "Jujur aku cape jadi Sahira yang papa sayang."
Tante Sena bangkit dari kursinya lalu menghampiri Meisya kemudian memeluknya erat. Gadis itu menangis di balik punggung tantenya. Ini yang Meisya butuhkan sejak dulu, pelukan hangat dari seseorang yang bisa mengerti dirinya.
Selama ini mereka hanya melihat dari satu sudut pandang dan langsung menyimpulkan apa yang dilihatnya, tanpa melihat sudut yang lain yang belum tentu hasilnya sama seperti melihat dari satu sudut itu.
"Mulai sekarang kamu jadi diri kamu sendiri di depan papa kamu. Kalau kamu diperlukan kasar sama papa kamu, kamu bisa lari ke tante. Tante selalu ada buat kamu." tangan hangat itu mengelus punggung Meisya lembut, suara isak tangis Meisya mengisi kekosongan di ruangan itu. "Kita bawa papa kamu ke rumah sakit, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
I'M SORRY [SELESAI]
Teen Fiction"Gue itu bodoh suka sama orang yang suka sama orang lain!" Kalian pernah mengatakan hal itu pada diri sendiri? Jika pernah, kalian mungkin kini berada di posisi yang sama seperti Meisya. Entah alasannya apa yang membuat dirinya begitu mencintai Ar...