2. Presdir

3.4K 391 5
                                    

.
.
.
.
.

"Kabur kemana kau semalam?", Namjoon menyodorkan beberapa berkas kehadapan Jimin setelah ia duduk nyaman dikursi yang berseberangan.

Jimin melirik sekilas, kembali menekuni dokumen-dokumen yang harus ia tandatangani. "Hanya cari angin", menjawab sekenanya.

Namjoon mendecih tak percaya."Aku tidak mengenalmu setahun-dua tahun, Jimin. Sama sekali bukan dirimu, jika kau tidak betah berada di club", sarkas Namjoon tanpa pikir panjang.

Jimin menghela nafas kasar, hancur sudah suasana hatinya. Ia sontak melepas kacamata dan melempar punggungnya disandaran kursi seraya menatap tajam kearah Namjoon. "Seulgi—Aku melihatnya di club", ucapnya terdengar penat.

"Dia lagi?", cibir Namjoon. "Hei, Jimin. Jika kau tidak mau dikejar-kejar oleh ibumu tentang perjodohan, ada baiknya kau menerima saran dariku"

Jimin memejamkan matanya dan mendengus pelan. "Aku sedang tidak ingin menjalin hubungan dengan seseorang untuk saat ini, Namjoon. Tidak bisakah kau memberiku jalan keluar yang lain?", ia kembali membuka kedua irisnya. Rasanya begitu melelahkan, bahkan disaat ia tidak melakukan apa-apa.

"Hanya itu saran yang ku punya", Namjoon mengendikan bahu. Ia turut prihatin dengan nasib Jimin. Rautnya ikut berubah getir.

Dijodohkan oleh orang tua adalah momok menakutkan bagi Jimin yang terbiasa hidup tanpa adanya komitmen. Eits... tunggu dulu! Bukan berarti ia tidak ingin berkomitmen suatu hari nanti. Hanya saja, belum waktunya jika ia harus menikah diusianya yang sekarang. Ia masih ingin menikmati kesuksesannya sebagai pemilik perusahaan furniture terbesar di Korea.

Jimin menggeleng lelah. "Aku tidak mengerti kenapa ibuku begitu terobsesi untuk menjodohkanku dengannya?"

Namjoon menggulirkan maniknya keatas seakan berpikir, "Dia cantik. Orang tuanya kaya. Dan yang terpenting... dia mau dijodohkan denganmu", ucapnya setengah bercanda. Karena nyatanya, banyak yang berebut untuk posisi itu dan Namjoon yakin, tidak akan ada yang mau menolak untuk dijodohkan dengan Park Jimin. Pemuda tampan nan mapan yang jadi idaman para mertua diluar sana. Bukankah itu sudah cukup menjadi alasan kenapa Jimin digilai para wanita?

Jimin kembali mendengus, ucapan Namjoon hanya bagai angin lalu baginya. "Ini masalah perasaan, Namjoon. Aku tidak ingin salah memilih, apalagi ini menyangkut masa depanku"

"Ya—ya, semua orang akan mengatakan hal yang sama. Tapi nyatanya... mereka hanya membiarkan dirinya masih terjebak dalam masa lalu mereka", logika Namjoon berkata. "Jika kau benar-benar yakin sudah melupakan masa lalumu, maka bukan hal sulit untukmu melangkah kedepan"

Jimin tahu, apa dan siapa yang Namjoon maksud—ya, sang mantan. Tapi itu sudah bertahun-tahun yang lalu dan Jimin yakin ia sudah melupakan semuanya—mungkin ada beberapa yang masih diingat. Karena kita tahu, otak kadang menyaring apa yang perlu diingat dan apa yang harus dilupakan. Well, Jimin hanya tidak bisa mengendalikannya.

"Aku memilih sendiri, bukan berarti aku belum move on, Namjoon. Aku hanya belum menemukan yang tepat", sangkal Jimin yang langsung disambut tawa cemooh oleh Namjoon.

"Alasan klise lagi. Kau tahu, Jimin? Orang akan mengatakan persis sepertimu, disaat mereka ingin menunjukkan bahwa mereka baik-baik saja. Tapi yang terjadi...?", Namjoon mengendikan kedua bahunya masih dengan kekehan yang tersisa. "Sebaiknya kau cari seseorang yang bisa membuatmu nyaman, atau kau akan dikejar-kejar terus oleh ibumu"

Jimin menggulir maniknya kesamping, ia jengah. "Dia tidak akan semudah itu menerima seseorang yang tidak sesuai dengan standar kriterianya"

Namjoon melipat kedua tangannya didepan dada, hembusan nafas pelan terdengar. "Apa kita harus menyebar pamflet untuk audisi?", pedasnya mulut Namjoon. Dan terimakasih, Jimin tidak marah sama sekali karena sudah terbiasa.

Jimin hanya menggeleng samar dan Namjoon kembali terkekeh.

"Aku lebih suka menyibukkan diri dengan hal yang bermanfaat, Namjoon", Jimin kembali menegakkan punggungnya, lalu menyeret lembaran berkas yang tadi Namjoon bawa kehadapannya. Ia mencebik sekilas.

"Ah... Itu kontrak kerjasama baru yang beberapa ingin kau revisi kemarin"

"Mereka sudah setuju?"

"Yap, mereka meminta bertemu untuk membahas hal-hal yang perlu diperjelas", Namjoon menunjuk beberapa poin agar Jimin membacanya.

Jimin manggut-manggut, "Kapan rapatnya?"

"Besok pagi. Aku sudah membuatkan jadwal untukmu", ujar Namjoon memberitahu. "Ngomong-ngomong, tidak biasanya kau berinvestasi sebanyak itu", ia mengendik dagu kearah berkas Jimin. "Ini hampir tiga kali lipat investasi dari proyek terakhir yang kau ambil"

Jimin mendongak tatap, "Kita sedang membicarakan BlackGold Property, Namjoon. Salah satu perusahaan yang mengalami peningkatan saham tertinggi dalam beberapa tahun terakhir. Aku yakin kau cukup tahu tentang pesatnya progres perusahaan properti akhir-akhir ini"

"Ya, mereka berkembang sudah seperti jamur", Namjoon menimpali, ia sangat setuju. "Mulai banyak yang tertarik menjadi investor dengan cara menanam saham, bahkan artis-artis pun tak mau ketinggalan"

Jimin hanya manggut-manggut, ia kembali memeriksa berkasnya saat Namjoon lagi-lagi membahas tentang perjodohan. Dan bodohnya ia teringat akan seseorang.

.
.
.
.
.

"Presdir memintamu untuk presentasi dalam rapat nanti, Direktur Min", Yeonjun yang baru saja datang, langsung memberikan setumpuk dokumen yang dibalas delikan tajam oleh Yoongi.

"Rapat apa? Kenapa dia tidak memberitahuku?", nada datarnya terdengar mengintimidasi. Yoongi masih menatap sangsi kearah Yeonjun.

Menghela nafas, Yeonjun mencoba untuk tidak terpengaruh. "Rapat dengan para pemegang saham, Direktur Min"

Yoongi memejamkan mata dan mendengus pelan. "Pak tua gila...", gumamnya yang dengan jelas masih bisa didengar oleh Yeonjun yang sudah terbiasa mendengar makian Yoongi untuk atasannya. "Jam berapa rapatnya?", Yoongi tak menghiraukan Yeonjun, ia kembali sibuk dengan laptopnya.

"Jam sepuluh", Yeonjun mengulum bibir, mempersiapkan diri dengan apapun yang akan ia dengar setelahnya.

Yoongi melotot tak percaya, ia ingin mengumpat tapi urung. "Yeonjun-ah... Sebesar itukah kau percaya padaku? Apa kau sangat yakin, aku bisa melakukannya?"

Hanya tersisa satu jam sebelum rapat, dan Yoongi tidak memiliki persiapan sama sekali?! Bahkan untuk tahu bahasan apa yang harus ia presentasikan nanti.

Ini jelas sarkasme dan Yeonjun langsung menyadarinya hanya dengan sekali kedip, karena saking terbiasanya ia dengan watak Yoongi. "Maafkan aku", menahan nafas sejenak. Sadar betul jika ia tidak sepenuhnya salah, tapi ia tetap minta maaf. Informasi dadakan ini, baru saja ia dapat dari si sekretaris Presdir. Jadi, ya... beginilah...

Yoongi menggeleng lelah, "Aku tidak ingin mendengar permintaan maafmu sekarang", ia memijat pangkal hidungnya yang tiba-tiba terasa pening. "Aku tidak mungkin mempelajari semua berkas ini dalam waktu singkat. Cukup beritahu poin-poin mana yang harus aku tekankan dirapat nanti"

Tanpa sadar, Yeonjun menghela nafas lega. Nyatanya Yoongi yang kalem hari ini, membuatnya bersyukur. Ia langsung menjelaskan poin-poin penting dan inti rapat. Ia yakin, Yoongi tidak akan kesulitan dalam presentasi nanti jika mengingat selama ini semua pekerjaan tersebut Yoongi lah yang menanganinya.

.
.
.
.
.

Such a Mess || MinyoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang