12. Tidak Punya Pilihan

1.9K 274 5
                                    

.
.
.
.
.

Ini hari terakhir mereka berada di Busan. Dan ini menjadi kunjungan terakhir di lokasi proyek. Mendung terlihat beriringan diatas sana. Seperti biasa, langit kelabu menjalar rata begitu cepat diterbangkan angin.

Yoongi mengecek jam ditangan, masih ada beberapa menit sebelum mereka kembali ke hotel. Ia memutuskan untuk berjalan-jalan terlebih dahulu kearah pantai.

Letak proyek yang berdekatan dengan pantai, membuat Yoongi lebih sering mendapati pemandangan indah itu dari kejauhan. Tapi karena kesibukan akan tuntutan pekerjaan, ia belum pernah menjejakkan kakinya di pantai Busan tersebut. Apalagi karena cuaca yang tidak melulu memungkinkan, membuat area sekitar pantai nampak begitu sepi.

Semilir angin laut menerbangkan helaian rambutnya, menjadikannya berantakan meski sudah berkali-kali dirapikan. Yoongi menggerutu, ia menyerah. Pijakan kakinya menapak di tanah pasir yang kemudian meninggalkan jejak. Baru sadar, pantai Busan memang menawan. Kapan terakhir kali ia pergi ke pantai?

Yoongi menyapu pandang disekitar bibir pantai. Berada tak jauh darinya, ada 2 anak kecil yang sedang berlari saling mengejar. Betapa bahagianya mereka, betapa mereka nampak tidak terbeban akan yang namanya hidup.

Senyum Yoongi merekah, hanya sejenak sebelum terganti tarikan dan helaan nafas panjang. Segera ia alihkan pandangnya kearah laut, kenapa tiba-tiba rasanya jadi sesak?

Seandainya luasnya laut bisa menampung beban manusia, masihkah ada tempat yang tersisa untuknya? Yoongi ingin sekali membuang beban dipundaknya. Hidup menjadi orang dewasa, terkadang terlalu banyak tuntutan. Jika memungkinkan bisa memilih, bolehkah ia memilih menjadi anak kecil saja? Atau mungkin, bisakah ia kembali ke masa lalu dan mengulangnya dari awal lagi?

Yoongi tersenyum masam ketika memorinya mulai menghambur satu-persatu. Jeritan tawa anak kecil tadi, membuyarkan lamunannya. Ia kembali melarikan tatapannya, kedua anak tersebut sedang berguling-guling dipasir entah sedang berebut apa. Mereka terlihat seperti bertengkar, tapi yang nampak dari keduanya hanya tawa penuh kebahagiaan.

"Jangan lama-lama diluar jika tak ingin sakit lagi"

Reflek menoleh pada suara yang menginterupsinya, Yoongi berakhir menyesal karena telah membuang sekian detiknya yang berharga. "Selamat sore, Presdir Park", hanya basa-basi, karena ia tidak sepenuhnya mengharapkan kehadiran Jimin.

Jimin tersenyum sekilas, ia ikut berdiri disamping Yoongi dengan kedua tangan masuk kedalam saku celana. "Menikmati kesendirian, heoh?"

Menggulirkan maniknya, Yoongi tersenyum tipis. "Terkadang seseorang butuh sendiri untuk memahami apa yang benar-benar mereka inginkan"

Jimin mencebik, ia tidak sepenuhnya setuju. "Apa sekarang kau sedang menyesali sesuatu?", tebaknya begitu mudah. Ingat, sedikit banyak Jimin tahu bagaimana watak seorang Min Yoongi.

"Menyesal tak mengubah apapun meski rasanya seperti ingin mati", Yoongi betah memperhatikan anak-anak tadi yang kini kembali saling mengejar di sekitar pantai. "Berdamai dengan masa lalu... Menerima kenyataan dan menjalani hidup adalah pilihan terbaik agar tidak terpuruk semakin dalam"

Jimin memandang lekat kearah Yoongi, rasa trenyuh menjalari hatinya. Setiap orang punya rahasia dan masalah, ia tahu betul akan hal itu. Tapi tidak semua orang bisa berpikiran terbuka seperti itu. Mungkin hanya beberapa yang mampu. Tidakkah Yoongi terlalu naif? "Termasuk mengubur impianmu?"

Tercekat, Yoongi menoleh cepat. Bibirnya terbuka ingin menyanggah, namun berakhir dengan keheningan yang mengisi diantara keduanya. Hanya saling tatap tanpa frasa, mereka membiarkan riuh ombak dan hembusan angin menguasai pendengaran mereka. Saling mencoba menyelami satu sama lain dalam diam. Ia tak habis pikir dengan Jimin.

"Bisakah kau jelaskan, alasan kenapa seseorang harus rela mengorbankan keinginannya?", pertanyaan ini jelas untuk lawan bicaranya, karena Jimin sengaja menanyakannya.

Yoongi telak kehabisan kata-kata. Ia yang pertama membuang pandang saat jeritan tawa kembali terdengar dari anak-anak tadi. Sekian detik tak ada jawaban, ia terlihat setengah melamun. "Demi kebahagiaan orang lain, seseorang tak akan ragu melakukannya"

Jimin melirik sekilas dari sudut matanya, Yoongi berjalan pelan kearah dua anak kecil yang berada tak jauh dari mereka. Ia sibuk memperhatikan Yoongi, memaksa maniknya mengikuti kemanapun Direktur manis itu melangkah.

Yoongi terlihat memungut sesuatu, seperti sebuah gelang yang terbuat dari rangkaian kerang warna-warni. Ia tersenyum, "Hei!", panggilnya. "Kalian menjatuhkan ini", diayunkannya gelang itu hingga sang anak melihat, kemudian segera berlari kearahnya.

"Ah! Terimakasih", ucap salah satu anak, sementara yang satunya hanya tersenyum pada Yoongi. "Kau harus mengikatnya dengan kuat agar tidak terlepas lagi. Sini aku pasangkan", anak itu berujar pada anak satunya. Mereka terlihat begitu dekat satu sama lain.

"Terimakasih", senyumnya merekah. Anak yang lebih kecil, menatap kearah Yoongi. "Terimakasih sudah menemukannya"

Seulas senyum ikut terbit. "Manisnya", Yoongi mengusap pelan kepala si anak. "Kalian tinggal dimana?", sambil berjongkok, ia menyempatkan diri untuk bertanya.

"Dibelakang gedung tinggi itu", tunjuk anak yang pertama tadi. Mau tak mau Yoongi ikut mengarahkan tatap kemana anak tersebut menunjuk. "Kami tinggal disana"

Yoongi mengangguk. "Siapa nama kalian?", tanyanya lagi.

"Aku Eun Haru dan dia adikku, Eun Dan-oh"

Yoongi percaya virus kebahagiaan itu cepat menular, karena sedari tadi senyumnya tak mau luntur. Betapa polos kedua anak ini. "Baiklah, Haru... Dan-oh, sebaiknya kalian cepat pulang, sebentar lagi akan hujan. Ibu kalian pasti mengkhawatirkan kalian"

"Oh! Benar! Ibu tadi berpesan untuk segera pulang!", ucap Haru pada adiknya. "Kalau begitu kami harus pulang sekarang", anak-anak itu kemudian berlari menjauh.

Sesaat setelahnya, Yoongi berdiri begitu kedua anak tadi menoleh lalu melambai padanya dan meneriakkan terimakasih yang juga dibalas lambaian tangan olehnya.

Jimin tak melewatkan satu detik pun dengan apa yang disuguhkan padanya barusan. Semua interaksi itu, ia saksikan. Hatinya tiba-tiba menghangat. Ia baru saja mengetahui sisi lain dari Yoongi. Dan tanpa sadar ia mengaguminya.

Sontak Yoongi menengadah saat ia merasakan tetesan air mengenai kepalanya. Hujan. Hanya reflek alami, ia malah menikmati bagaimana setiap tetesnya mengenai wajahnya. Menjadikan dirinya malah betah bergeming. Belum sempat menyadari apa yang harus dilakukan selanjutnya, ia dibuat terkejut ketika Jimin tiba-tiba menarik dan mengajaknya berlari.

"Kau gila?! Kenapa malah melamun?!", bentak Jimin seraya mencari tempat berteduh terdekat.

Mereka berteduh diteras sebuah kedai yang sudah tutup. Lebatnya hujan tak tanggung-tanggung, membuat mereka nyaris basah kuyup.

Yoongi menoleh pada Jimin yang sudah melepas genggamannya. Pria itu sedang mengeringkan rambutnya dengan tangan, Jimin tak kalah basah seperti dirinya. Mengedarkan pandang sekilas, ia baru menyadari jika mereka berdua berlari sedikit jauh dari lokasi proyek. "Haruskah kita berlari untuk menerjang hujan?", tanya Yoongi sedikit berteriak karena terganggu oleh suara hujan yang berisik.

Jimin menoleh pada Yoongi dengan alis terangkat sebelah, kemudian menggeleng. "Aku punya opsi yang lain", ia sudah siap dengan ponselnya, menekan beberapa nomor dan menempelkannya didekat telinga. "Meminta Namjoon untuk menjemput kita", senyum miringnya terlihat pongah. "Aku tak ingin sakit dan merepotkan orang lain"

Yoongi mendecih, ia sontak memalingkan wajah. Jimin mengungkitnya lagi. Salahkan saja dirinya yang tak membawa ponsel. Disaat seperti ini pun ia teringat pada Yeonjun. Apa bocah itu juga sedang mengkhawatirkannya sekarang?

Ukuran teras yang tidak terlalu luas, menjadikan cipratan air hujan lagi-lagi mengenai mereka. Menjadikan mereka tambah basah.

Jimin sesekali melirik pada sosok yang berdiri disampingnya. Meski akhir-akhir ini, dirinya mengaku mengenal Yoongi. Tetap saja ia tidak tahu apa yang dirasakan oleh Direktur manis itu sekarang. Seperti halnya tadi, ia sungguh tak bisa menebak isi kepala Yoongi setelah memberi jawaban seperti itu.

Apakah Jimin yakin, ia telah benar-benar mengenal Yoongi?

.
.
.
.
.

Such a Mess || MinyoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang