22. Dia Kembali

1.7K 252 23
                                    

.
.
.
.
.

Jimin membawa Yoongi ke klinik 24 jam terdekat dari gedung tadi. Ia cukup hafal dengan daerah tersebut, mengingat dulu ia sering kesana.

Meski awalnya Yoongi terheran-heran, kenapa Jimin bisa seenaknya nyelonong masuk tanpa permisi. Sekarang ia tahu alasannya. Ternyata, Jimin dan si dokter manis yang saat ini sedang mengobati lukanya, sudah saling mengenal sejak lama.

Dan sepertinya, wajah itu tidak asing jika diperhatikan. Tapi... siapa, kapan dan dimana Yoongi pernah melihat dokter tersebut?

"Tidak ada luka yang serius, ini akan segera sembuh dalam waktu dekat. Mungkin beberapa hari, jadi kau tidak perlu khawatir", ucap si dokter seraya membereskan alat-alatnya tadi. Ia tersenyum manis pada Yoongi yang masih terbengong. "Apakah ada luka lain yang harus diobati?", tanyanya penuh perhatian, takut jika ia telah melewatkan luka yang lain.

Yoongi mengerjap pelan kemudian menggeleng. Ternyata ia masih terjebak dalam pikirannya untuk memilah memori tentang keberadaan si dokter. Ia sungguh merasa familiar dengan wajah si dokter.

"Baguslah", senyum si dokter mengembang. "Oh-ya... Ponselmu sejak tadi bergetar, sebaiknya kau memberi kabar orang rumah terlebih dulu jika tak ingin membuat mereka khawatir", ia mengendik sekilas dengan dagu kearah ponsel Yoongi yang tergeletak di nakas kecil dekat ranjang. Setelahnya, ia berpindah ke meja.

"Aku tidak tahu kau sudah kembali", ucap Jimin yang duduk berseberangan dengan si dokter. Hanya terpisah oleh meja. "Sejak kapan?", lanjutnya.

Si dokter tersenyum. "Apa kau menyesal karena tak menyambut kedatanganku?", canda si dokter sembari menulis sesuatu di note kecil miliknya. Ia yang menyadari tak ada respon yang berarti, sontak menengadah. "Kau sibuk Jimin, kita semua tahu itu"

Jimin betah bergeming, menatap lamat-lamat kearah si dokter. Ia masih tak menyangka dengan keberadaan sosok dihadapannya. Sekian lama mereka tak bertemu. Bagaimana bisa mereka kembali dipertemukan disaat seperti ini? Waktunya benar-benar tidak tepat, tapi tetap saja dirinya merasa bersyukur.

Yoongi yang sedari awal tak tahu apa-apa memilih tak mempedulikannya. Ia larut pada rentetan pesan dan panggilan dari Taehyung dan Yeonjun yang membuat kepalanya pusing.

"Dokter Jeon, kita sudah lama tak bertemu dan begini caramu menyambutku?", menghilang tanpa kabar, sedikit banyaknya agak membuat Jimin frustasi. Jangan tambah lagi dengan sikap canggung yang harus ia hadapi saat ini.

Dokter Jeon atau pemilik nama lengkap Jeon Jungkook itu lagi-lagi tersenyum. "Kau bukan seseorang yang spesial yang harus memberi sambutan kan, Presdir Park?", bukan jawaban, melainkan pertanyaan yang tersirat sindiran dalamnya.

Dan Jimin dengan mudah menyadari. Ia menahan nafas sejenak. "Tidak bisakah kita berdamai dengan masa lalu kita?", katakan saja suaranya terdengar memelas, tapi begitulah adanya.

Betapa dulu mereka dekat, menjadi kenyataan yang cukup menyakitkan. Lebih dekat jika disebut sebagai teman, namun tidak terlalu dekat jika harus disebut kekasih karena tak ada kejelasan diantara keduanya. Jadi hubungan mereka ini, apa?

Yoongi pamit keluar untuk menerima telepon. Ia bahkan tak menghiraukan suasana tak nyaman yang tiba-tiba tercipta diantara mereka.

Jimin melirik kepergian Yoongi dalam diam.

Senyum Jungkook berubah sendu. "Dia manis", ucapnya.

Jimin mengernyit menatapi Jungkook. Ia jelas bingung dengan ucapan si dokter.

"Kuharap dia bukan hanya pelarianmu saja, Jimin"

Well, baik Jimin dan Jungkook ternyata menyadari perasaan mereka masing-masing. Tapi apa yang membuat mereka tak saling mengaku?

Kernyitan perlahan menghilang, rautnya berubah datar nan dingin. "Kau masih dengan pria yang dulu?"

Oh.. jadi alasannya orang ketiga. Atau malah Jimin yang berada diposisi sebagai orang ketiga?

"Dia tak ada hubungannya dengan kita", ujar Jungkook mengalihkan wajahnya. Ia terlihat sibuk dengan note kecilnya tadi. "Kita sudah sama-sama dewasa, Jimin. Kita tahu bagaimana harus bersikap. Dunia kita berbeda, Jimin", ia mengakhiri ucapannya bersamaan dengan coretannya.

"Kenapa kau selalu menjadikan latar belakang kita sebagai alasan jika akhirnya yang kau jadikan tempat berlabuh tetap orang lain?", tanpa sadar Jimin telah mengutarakan unek-unek yang selama ini tertahan.

"—itu hanya salah satu alasannya. Dan juga...", Jungkook menjeda, mencari kata-kata yang pas. "Aku lebih nyaman jika kita berteman, Jimin. Tidak lebih"

Jimin memejamkan maniknya. Menarik dan membuang nafas seiring ia membuka mata. Nyatanya hanya ia yang memiliki perasaan itu. Mengangguk samar sarat tak rela, ia memalingkan wajah. "Ya. Kita berteman, kurasa itu lebih cocok"

Jungkook tersenyum sendu. "9 tahun sudah berlalu, Jimin. Setidaknya waktu yang tak sedikit itu, cukup membuatmu menyadari. Siapa yang sebenarnya kau cari dan siapa yang benar-benar kau butuhkan", ucapnya. "Bukankah kalian dekat, kau dan Yoongi?"

Menggeleng pelan, Jimin kembali menatap Jungkook. Apa maksud Jungkook menanyakan hal itu? "Kami hanya partner kerja. Perusahaan kami saling bekerjasama", jelasnya, tak ingin si dokter salah paham.

Jungkook menaikkan sebelah alisnya. "Hanya partner kerja dan kau sekhawatir itu padanya? Kau yakin hubungan diantara kalian hanya sekedar bisnis?", tanyanya terdengar tak percaya. Ternyata dugaannya salah. Ia kira Jimin dan Yoongi sudah saling dekat, setelah melihat bagaimana perhatiannya Jimin pada Direktur tersebut.

Jimin kembali mengerutkan keningnya.

"Aku tahu kau, Jimin. Kau tidak akan semudah itu memberi perhatian pada orang lain hanya karena kalian dekat sebagai teman, apalagi status kolega kerja yang jauh dari kata dekat?"

Jimin menyangkal dengan gelengan. "Jungkook, cukup. Kita sudah memutuskan untuk saling berdamai, bukan berarti aku mengijinkanmu untuk menjodoh-jodohkanku dengan orang lain"

"Haruskah aku yang menyadarkan perasaanmu sekarang?", kekeh Jungkook pelan. Ia terlampau kenal dengan Jimin. Ingat, mereka dulu pernah dekat.

Jimin tak menjawab, ia hanya menggeleng. Ia tak ingin berlama-lama. "Sudahlah. Aku harus kembali sekarang", ia beranjak dari kursinya. "Kuharap kau masih menyimpan nomor ponselku, Jungkook. Jangan tahan dirimu untuk menghubungiku"

Jungkook tersenyum kemudian mengangguk. "Aku akan menghubungimu nanti. Itu juga jika aku tidak lupa", sambungnya diiringi kekehan renyah.

Jimin mendecih pelan dalam senyum. "Terimakasih atas bantuannya", ucapnya sebelum pergi.

.
.
.

"—aku tahu! Kau sudah mengatakannya tadi"

...

"Aku akan pulang sekarang, jadi berhentilah mengoceh!", Yoongi menggerutu dengan lawan bicaranya diseberang sana.

Jimin memperhatikan Yoongi dalam diam. Jika dipikir-pikir lagi, ia memang tak pernah sepeduli ini dengan orang lain selain orang tua dan beberapa orang yang dekat dengannya. Lalu Yoongi ia masukkan kedalam kategori yang mana?

"—Yeonjun!", bentak Yoongi. "Jangan katakan apapun pada Taehyung soal ini!", ancamnya pada sang sekretaris. "Aku tidak ingin ayah tahu—apa kau bilang?! Bagaimana dia bisa tahu?"

...

Yoongi terdiam. Ia mengulum bibirnya menjadi tipis, lagi-lagi harus menelan amarahnya.

Jimin tak sadar jika ia baru saja tersenyum karena memperhatikan tingkah Yoongi. Tak ayal ucapan Jungkook kembali terbersit dibenaknya. Jadi... apa yang sebenarnya harus ia sadari dari perasaannya yang sekarang?

.
.
.
.
.

Good meowning everyone...

Such a Mess || MinyoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang