29. Hangatnya Salju

1.7K 261 18
                                    

.
.
.
.
.

"Sekali lagi maafkan ibuku", ucap Jimin setelah ia keluar dari mobil, menyusul Yoongi kesisian yang sama.

Mereka telah sampai didepan kediaman Presdir Min. Bangunan bertingkat berwarna putih gading dengan pagar tinggi itu nampak indah meski dimalam hari. Berada dikawasan elit, rumah berdesain modern Europe itu cukup mencuri perhatian Jimin diantara yang lain.

Jimin terkagum. Meski bukan kali pertama dirinya kesini, ia baru menyadari betapa pemandangan ini mampu menyita atensinya.

Setelah tadi mereka makan malam bersama—dengan Nyonya Park juga, tentu saja. Jimin langsung mengantar Yoongi pulang. "Dia terkadang jauh lebih cerewet jika hatinya sedang gembira", setengah duduk pada bumper depan mobil dibagian samping, ia berada tepat dihadapan Yoongi.

Yoongi menggeleng samar. "Ini ketiga kalinya Anda meminta maaf kepada saya, Presdir", terkekeh renyah, tatapannya berubah lembut. "Ibu Anda sangat hangat dan menyenangkan. Dia bahkan menyuruh saya agar sering-sering berkunjung ke butiknya"

Jimin terhipnotis, senyum manis itu menular padanya. Ia pun ikut tersenyum. "Tetaplah seperti ini", celetuknya.

"Huh?", Yoongi mendongak, saling mempertemukan iris. Menatap Jimin bingung sekaligus tak mengerti.

"Tetaplah tersenyum seperti ini", ulang Jimin. "Kau terlihat manis saat tersenyum", ucapnya tak berbohong. Entah kenapa, ada euforia yang tiba-tiba meletup dihatinya saat menemukan senyum yang jarang dilihatnya tersebut.

Yoongi mengerjap salah tingkah. Ia telak kehilangan frasa. Ucapan Jimin, sukses membidiknya tanpa aba-aba. Menjadikannya mati kutu seketika.

Jimin terkekeh. Menyaksikan Yoongi yang sekarang, benar-benar membuatnya gemas tak tertolong. "Aku tidak akan memintamu untuk melupakan ucapanku barusan", menatap lamat-lamat sosok dihadapannya.

Andai senyum itu bisa disimpan, maka Jimin akan menyimpannya banyak-banyak untuk dirinya sendiri.

Sungguh, Jimin tak ingin cepat-cepat pergi. Ia masih betah. Sudah berjam-jam berlalu bersama, tapi rasanya masih saja tak cukup. Setidakrela ini, dirinya harus berpisah.

Jika bukan ada urusan lain, mungkin Jimin akan memilih berlama-lama disini. Memandang Yoongi, sepuas yang ia mau.

Menghela nafas panjang, dengan setengah hati Jimin beranjak. Satu langkah maju lalu berdiri tepat didepan Yoongi. "Jangan tahan dirimu untuk merasa bahagia"

Lagi-lagi dibuat terhenyak dalam diam, Yoongi menatap lurus kearah Jimin.

"Kau berhak mendapatkannya. Bahkan lebih dari itu", lanjut Jimin lagi.

Yoongi masih membisu mencerna kalimat yang terlontar dari Jimin. Pedih yang merambat kedalam hatinya, terasa seperti kilat yang datang tak diundang. Mengejutkan. Dan menakutkan.

Jimin tersenyum simpul, menertawakan sikap lembutnya barusan. Nyaris tak pernah, ia bahkan lupa kapan terakhir kali dirinya bersikap tak jelas juntrungan-nya seperti sekarang. Rasanya aneh.

Hanya saja, melihat Yoongi yang nyatanya tak setegar apa yang terlihat, membuat Jimin secara naluriah ingin melindungi sosok tersebut. "Mungkin kedepannya, kau akan lebih sering melihatku. Kuharap kau tidak akan bosan"

"Huh?"

"Karena aku ingin melihat senyummu lagi"

Tak ada salju yang turun di Seoul, mungkin belum. Suhu dingin disini tak sedingin di Daegu, padahal sama. Diatas sana, mendung yang menggelayut menandakan hujan siap menyapa kapan saja. Angin malam yang berhembus, menyeruak hingga terasa menusuk tulang.

Such a Mess || MinyoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang