.
.
.
.
.
.
Rintik lembut malam ini, perlahan menjalar, kemudian mengabsen setiap sudut gemerlapnya kota Seoul. Gerimis halus yang sewaktu-waktu bisa terganti oleh rinai yang menyebalkan atau akan berubah mengganas menjadi badai berkepanjangan. Tentu tak mudah untuk diprediksi.Musim dingin di penghujung tahun adalah hal yang paling dinanti sebagian orang, selain natal dan tahun baru tentu saja. Ingat, hanya sebagian. Karena bagi orang-orang seperti Jimin, semua hari yang dilalui hanya terasa sama. Monoton dan membosankan.
Jimin sontak mengecek ponsel begitu getar notifikasi muncul. Sejenak menahan nafas. Sebuah pesan dari seseorang yang dulu selalu ia harapkan. Bahkan sekarang, rasa yang tertinggal pun seenaknya kembali bersemi.
Tak dipungkiri perasaan itu masih ada. Dan malangnya, Jimin tak menampik jika perasaan itu tetap ada. Salahkah ia untuk berharap lagi?
Biarlah dianggap tak tahu diri. Terkadang rasa terlanjur membuat seseorang tak terkendali. Terlalu mendamba hingga rela terluka. Mengira cinta, nyatanya hampa.
Inginnya lega namun berakhir bimbang, Jimin hanya menyimpan nomor tersebut. Mungkin nanti ia bisa mengirim pesan dan mengajak bertemu. Setidaknya Jungkook tidak berbohong untuk sekedar menghubunginya. Bersyukur juga, karena si dokter tidak lagi menghindarinya.
.
.Dari kejauhan, raungan sirine ambulance memecah keheningan malam. Dibalik kemudi, Namjoon segera menggiring mobilnya sedikit kearah kanan bersamaan dengan mobil yang lain. Tujuannya agar mobil medis tadi bisa cepat mendapat jalan.
Tak lama kemudian, mobil itu muncul dengan laju kencang membelah aspal.
"Kecelakaan lagi", celetuk Namjoon sesaat setelah melewati kerumunan orang yang berada di perempatan jalan. Mobil ambulance tadi juga sudah berhenti didekat sana. "Sudah tahu licin, tetap saja ugal-ugalan", gumamnya mendapati jalanan juga ikut macet akibat kecelakaan tersebut.
Namjoon sesekali melirik Jimin yang duduk disebelahnya dengan raut heran. Jimin yang banyak diam, sedikit membuatnya cemas. Atasannya itu sama sekali tak membuka suara sekembalinya mereka dari rumah Yoongi.
Setelah diminta mengurus masalah di kantor Gold City Center tadi, Namjoon langsung menelpon Yeonjun dan mereka berakhir bertemu di kediaman Tuan Min.
"Hei, Jimin?", di panggilan kedua, Jimin baru menoleh. Namjoon mengernyit, entah apa yang sedang dilamunkan bosnya itu.
Melirik singkat, Jimin kembali memandangi jalanan kota yang sedikit lengang. "Ada apa?"
Sejenak ragu, Namjoon mengetuk setir dengan jemarinya pelan. Begitu konstan namun sarat akan kegelisahan. "Apa yang kau pikirkan? Tak biasanya kau melamun"
Jujur, saat ini Jimin tak ingin membahas apapun. Sebenarnya, hanya belum siap membagi cerita pada siapapun. Lantas ia memilih menggeleng.
"Apakah ada hal yang sedang mengganggumu?", Namjoon tak menyerah. Ia tak ingin menghadapi Jimin yang berlarut-larut seperti itu.
Memejam sejenak. Jimin sadar, tak akan mudah menyembunyikannya dari Namjoon. Butuh beberapa detik lamanya, sebelum ia menyebut sebuah nama. "Jungkook. Dia kembali ke Korea"
Namjoon nyaris lupa menginjak rem saat lampu merah menyala. Terimakasih, Tuhan masih menyayanginya. Beruntung ia tak menabrak mobil didepannya. "Kau bertemu dengannya?", sama sekali tak bisa mengendalikan keterkejutannya. Ia menatap Jimin tak percaya.
Bukan hal sulit bagi Namjoon membaca kemana arah jalan cerita selanjutnya. Ia menatap Jimin lekat, kernyitan memenuhi dahi.
Jimin yang semula memelototi sekretarisnya karena berhenti mendadak, hanya menghela nafas setelah mendapati bagaimana reaksi yang ditunjukkan Namjoon barusan. Selanjutnya ia mengangguk sekali. Tak ingin lama beradu tatap dengan Namjoon, ia sontak membuang pandang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Such a Mess || Minyoon
Fanfiction(End) Ketika takdir mempermainkan hati mereka. Yoongi selalu menganggap pertemuannya dengan Jimin adalah malapetaka. Sementara itu, Jimin hanya menganggap pertemuan mereka adalah ketidaksengajaan yang bisa dimanfaatkan. Minyoon Jimsu BTS & TXT cast ...