42. Kota Daegu

2K 222 14
                                    

.
.
.
.
.

Bibir Yoongi membentuk segaris kurva saat menatap Jimin yang berdiri tak jauh membelakanginya. Matanya berkaca-kaca ketika mendengar sendiri bagaimana pria bermarga Park itu meminta ijin pada guci abu kremasi ayah, ibu dan kakaknya.

Berjanji untuk menjaga dan menemani hingga akhir, nyatanya masih banyak ocehan yang keluar dari mulut Jimin yang menawarkan segalanya untuk Yoongi miliki.

"Cukup Jimin", Yoongi menyentuh punggung Jimin halus. "Kau tidak berniat membangunkan mereka karena mendengar suara berisikmu kan?"

Jimin berdecak pelan seraya meringis dalam hati. Yoongi benar-benar tahu bagaimana cara merusak suasana. Ia sudah mengharu biru dengan lembayung sendu, sementara Yoongi malah mencibirnya sedemikian sadisnya. "Sayang~", rengeknya kesal tak sepenuhnya serius.

Yoongi menahan sudut bibirnya agar tidak terangkat. Bukan ide yang bagus jika ia ingin menertawakan Jimin sekarang, pikirnya. "Baiklah-baiklah, aku akan menunggumu diluar kalau begitu", ia menyempatkan diri menepuk dua kali bahu Jimin sebelum melenggang pergi.

Yoongi hanya tak ingin menangis disana karena terlalu berlama-lama. Setidaknya, ia harus menjaga suasana hatinya.

Jimin mendengus pelan kala Yoongi benar-benar pergi meninggalkannya sendirian. "Lihatlah Paman, dia selalu merecokiku seperti itu hampir setiap hari", keluhnya dramatis menatap bingkai foto yang terdapat gambar keluarga Min kecuali Yoongi.

Tak lama kemudian senyum Jimin terbit perlahan. "Tapi aku menyukainya, Paman—apapun yang dia lakukan padaku, aku sama sekali tidak keberatan. Bukankah ini aneh?"

Jimin terkekeh pelan, ia meringis dalam hati. "Ini sangat menyakitkan saat mengatakannya", ia menarik nafas perlahan, ada gelenyar perih begitu berucap. "Tapi satu hal yang kalian harus tahu, aku tak akan siap dan tak pernah siap seandainya dipaksa menjauh atau harus kehilangan dirinya. Rasanya pasti akan sulit sekali, benarkan?"

Menggeleng samar, Jimin lagi-lagi menghembus nafas yang terdengar nyaris putus asa. "Aku tidak tahu sedalam apa aku telah terjatuh padanya hingga membuatku tak bisa berpaling dari sosoknya", ia bermonolog, menertawakan dirinya sendiri yang ternyata nampak teramat konyol karena jatuh cinta.

"Paman... Bibi...", Jimin menjeda. "Haruskah aku mulai memanggil kalian Ayah dan Ibu?", lagi-lagi ia mengulas senyum. "Ayah, ibu... terimakasih karena telah menghadirkannya di dunia ini, membesarkannya hingga dia tumbuh dewasa dan begitu mempesona. Aku benar-benar berterimakasih akan hal itu", lirihnya. "Ayah, ibu, tolong ijinkan aku untuk selalu berada disisinya dan bersamanya. Aku tahu, aku tidak bisa menjanjikan hal yang muluk-muluk padanya. Mungkin akan ada saat dimana aku bisa membuatnya marah, membuatnya terluka dan kecewa atau bahkan membuatnya menangis, tapi..."

Raut Jimin berubah serius seketika. "Akan ku pastikan sendiri bahwa aku juga lah orang pertama yang akan mengembalikan senyumannya, membuatnya tertawa dan menghapus air matanya", ia menarik nafas sekilas. "Jadi kumohon, restui pernikahan kami"

.
.
.
.
.

Rumah abu yang terletak diatas bukit itu, menyuguhkan lukisan alam yang tak main-main. Pemandangan disekitarnya nampak asri dan hijau. Pedesaan di kejauhan dengan bangunan yang masih jarang, benar-benar sejuk dipandang mata.

Yoongi menyempatkan diri untuk melihatnya sebentar sambil menunggui Jimin menyelesaikan urusannya.

Beruntung, hari ini langit terlihat lebih cerah dari biasanya. Sinar matahari yang mengintip samar-samar dari balik awan, sama sekali tak memberi efek terik apapun.

Sepetak taman kecil yang dibuat mengelilingi bangunan adalah kombinasi yang sempurna.

Yoongi berdiri disana menghadap arah barat daya, tepat pada potret lautan indah yang berada jauh dari jangkauan. Menikmati semilir angin yang dibiarkan membelai wajah, ia memejamkan mata. Rasanya tak ingin beranjak, dirinya terlanjur betah.

"Sayang?"

Perlahan menoleh begitu mendengar suara Jimin yang memanggilnya, Yoongi tersenyum teduh menyambut langkah Jimin yang mulai mengikis jarak.

Sampai saat ini, Yoongi masih tidak menyangka jika sosok tersebutlah yang telah merajai hatinya. Meski baru beberapa bulan, ia selalu berharap Jimin adalah tempat persinggahan terakhirnya.

Tempat berbagi hitam dan putih, bahkan warna abu-abu. Tempat mengukir haru dan sendu. Tempat dimana mereka akan menyusuri garis takdir yang tercipta diantara mereka.

Yoongi segera merentangkan kedua tangannya untuk memeluk tubuh Jimin yang hangat.

Awalnya Jimin terheran, tapi setelahnya ia langsung balas memeluk Yoongi seraya mengecup kening sang pujaan. Menghirup dalam-dalam aroma yang selalu membuatnya tenang dan nyaman.

"Pernahkah aku mengatakannya, Jimin?"

"Hn?", gumam Jimin terdengar sedikit bingung kenapa tiba-tiba Yoongi bertanya seperti itu.

"Aku mencintaimu", bisik Yoongi di perpotongan leher Jimin.

Sementara kekehan Jimin tertahan di pucuk kepala Yoongi. "Aku lebih mencintaimu. Sangat-sangat mencintaimu", balasnya.

Yoongi tersenyum mendengarnya. "Terimakasih Jimin—terimakasih karena telah memilihku"

Jimin ikut tersenyum lembut. "Takdir yang memilihkanmu untukku. Pertemuan kita, kebersamaan ini, aku percaya takdir yang telah menggariskannya, Sayang", ucap Jimin kembali mengecup kening Yoongi. "Seharusnya aku yang berterimakasih karena kau sudah bersedia bersamaku. Kemarin, sekarang dan dimasa yang akan datang, aku mohon dengan sepenuh hati agar kau mau mendampingiku. Tak tahu apakah tangis dan tawa yang mengiringinya, aku berharap kau selalu berada disampingku, Min Yoongi"

Yoongi ingin menangis rasanya. Tak tahu lagi bagaimana cara menjabarkan perasaan bahagianya saat ini. Ia sangat bersyukur, Tuhan telah berbaik hati mengirimkan seseorang setulus Jimin kedalam hidupnya.

"—Bersamaku menjalani hidup", Jimin semakin mengeratkan pelukannya saat mendengar isakan halus yang tertahan. "Tak peduli apapun yang terjadi, aku ingin kau jadi yang terakhir, Park Yoongi. Hanya kau seorang. Kau dan aku"

.
.
.
.
.

End


Kalau ada yang keberatan tamatnya cepat, silahkan protes.

Kali aja ada epilog... #winkeu.

Such a Mess || MinyoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang