25. Bisakah?

1.7K 260 10
                                    

.
.
.
.
.

Sebesar apapun diabaikan, kantung mata itu tetap saja berhasil menggambarkan semuanya.

Betapa Yoongi terlihat begitu lelah dengan mata sayu yang siap mengatup kapanpun karena kantuk yang coba ia tahan. "Apakah masih ada jadwal setelah ini?", berbalik dari dinding kaca ruangannya, ia berjalan menuju meja kerjanya.

Dari dinding kaca tersebut, terlihat di kejauhan mendung tengah berarak memenuhi kota. Membawa jutaan tetes air yang siap jatuh sewaktu-waktu.

"Satu jam lagi, ada pertemuan dengan klien dari Jerman untuk membicarakan legalitas lahan dan surat-surat perijinan yang dibutuhkan untuk gedung agensi YoungPlus. Setelah itu, sudah tidak ada jadwal berikutnya, Direktur", jawab Yeonjun. Ia menutup iPad dan memperhatikan Yoongi dalam diam. Helaan nafas pelan lolos saat menatapi Yoongi dalam diam. Ia merasa sedikit prihatin dengan penampilan atasannya saat ini.

Membanting punggungnya pada sandaran kursi, Yoongi memejamkan mata. Kedua tangannya tertaut dengan siku tertahan dilengan kursi putarnya. Ia mengangguk sekilas, "Siapkan berkasnya. Kita berangkat sebentar lagi", seakan tak peduli dengan rasa lelah yang menggelayut, ia tetap berniat menyelesaikan jadwalnya hari ini.

"Baik, Direktur"

Lebih dari seminggu, Yoongi telah mengambil alih semua pekerjaan ayahnya. Meski beberapa sudah dibantu oleh Taehyung. Tapi tetap saja padatnya jadwal, lumayan membuat tubuhnya terasa remuk redam. Kurang tidur dan istirahat, pola makan yang berantakan, sedikit mempengaruhi kepribadiannya yang tak begitu ramah jadi semakin dingin.

"Setelah rapat nanti kau bisa langsung pulang, Yeonjun", masih pada posisinya sedia kala, Yoongi berucap.

"Saya akan siapkan beberapa berkas untuk besok, Direktur", ucap Yeonjun, mengira bahwa rapat nanti tidak akan berakhir sampai sore. Itu artinya, masih ada beberapa jam sebelum waktunya pulang.

"Tidak perlu. Sebaiknya kau langsung pulang saja. Gunakan waktumu untuk istirahat"

Yeonjun mengerjap beberapa kali. Butuh waktu untuknya menjawab. Meski ia merasa senang karena disuruh pulang, namun makan gaji buta, sama sekali bukanlah gayanya. "Tapi..."

"Oh-ya. Kosongkan juga untuk jadwalku seharian besok. Aku akan pergi ke Daegu lagi", ia membuka mata sembari menegakkan punggungnya. Memandangi Yeonjun yang berdiri dihadapannya.

Menarik nafas sejenak. "Baik, Direktur", setidaknya ia masih punya pekerjaan. "Saya permisi"

.
.
.
.
.

Korea-London itu jauh. Dan Yoongi teramat sangat menyadarinya. "Bagaimana keadaannya sekarang?", sembari menyetir ia menerima telepon dari Seokjin. Setelah rapat selesai ia langsung pamit pergi.

"Cukup stabil. Semuanya normal", Seokjin terdiam sejenak. "Kau tidak perlu cemas, Yoon. Kami akan berusaha sebaik mungkin disini"

Yoongi mengangguk samar, padahal ia tahu Seokjin tidak bisa melihatnya. "Ya. Aku percaya", singkatnya. Ada kegetiran yang tersirat. Semoga saja, lawan bicaranya diseberang sana tidak menyadari apa yang tengah ia rasakan.

Ada keheningan sebelum Seokjin kembali bersuara. "Tadi Taehyung juga baru saja menelponku", ia menjeda sejenak, bermaksud mendengar respon Yoongi. Namun tak ada yang ia dengar. "Kau tidak perlu memaksakan dirimu, Yoon. Setidaknya mintalah Taehyung dan Yeonjun untuk membantumu"

Seokjin yang terlalu mengenal Yoongi, tahu seberapa tidak siap Yoongi akan jatuh sakitnya sang ayah. Melampiaskan kefrustasian pada pekerjaan, mengacuhkan orang-orang yang mencoba membantu atau sekedar menghibur, bersikap tegar seolah semua baik-baik saja adalah hal yang teramat Seokjin benci.

Ia membencinya karena ia merasa tak berguna dan gagal menjadi seorang teman—membuatnya merasa tak dibutuhkan. "Bicaralah pada kami, katakan apa yang sedang kau rasakan, Yoon. Jangan biarkan kami selalu menebak-nebak apa yang terjadi sedangkan kami tidak pernah bisa tahu apa yang kau rasakan", suaranya nyaris tercekat. "Kau tidak perlu menahannya sendirian. Ingatlah bahwa kami selalu ada untukmu. Kami semua mencemaskanmu, Yoon"

Yoongi menginjak pedal rem dan memutuskan untuk menepikan mobilnya. Ia tak yakin bisa menyetir dengan benar saat suasana hatinya tiba-tiba jadi kacau seperti ini. Memejamkan mata sejenak, kenapa rasanya beban berat baru saja menimpa kedua pundaknya? Ia lupa jika dirinya masih memiliki orang-orang yang ternyata peduli padanya.

Tak ada kata yang berhasil ia rangkai setelah sekian detik berlalu.

"Jika itu tidak mudah, biarkan kami untuk tetap menunggu, Yoon. Datanglah kapanpun kau mau", Seokjin kembali mengutarakan kekhawatirannya. Ia hanya tidak ingin Yoongi memendam bebannya sendirian. "Masih ada kemungkinan Presdir Min akan sembuh, kau harus yakin akan itu"

Lelehan air mata lolos perlahan. Yoongi tak bisa menahannya sendirian. Satu-satunya orang yang masih ia miliki sedang koma setelah mengalami serangan jantung beberapa hari yang lalu. Tepatnya sudah seminggu ayahnya menjalani rawat inap di London begitu mendapat rujukan dari rumah sakit di Seoul, tempat Seokjin bekerja.

"Yoon...", panggil Seokjin begitu menyadari isakan lirih menyambar pendengaran. Meski tak mengurangi kekhawatirannya, ada sedikit kelegaan yang menghinggapi saat tahu Yoongi menangis. Ini lebih baik daripada ia harus melihat Yoongi yang terus berpura-pura tegar. "Aku tahu kau kuat. Bukankah selama ini kau bisa melalui semuanya"

Yoongi meremat gagang setirnya. Menunduk, menangis tersedu dalam diam. Bahunya berguncang pelan, sekuat tenaga meredam isakannya agar tidak didengar.

Lama hening menyelimuti. Seokjin hanya bisa membeku begitu mendengar isakan itu. Rasanya sedikit menyesal karena ia memaksa Yoongi mengungkapkan perasaannya. Bahkan sebuah pelukan erat pun tak akan mampu meredakan tangisan tersebut.

"Aku tidak siap jika harus kehilangan dia, Seokjin—aku tidak siap. Apa yang harus aku lakukan?", sedunya bersuara terdengar putus asa. "Hanya dia yang masih ku miliki", sebesar itu rasa sayangnya pada sang ayah.

Seolah dapat merasakan apa yang Yoongi alami, Seokjin cepat-cepat menghapus kasar air matanya yang tanpa sadar telah menetes. "Jangan berkata begitu. Kita tahu, Presdir Min akan sembuh, Yoongi. Teruslah berdoa untuknya", ucapnya mencoba menyemangati. Tak ingin getar suaranya didengar, ia menjauhkan ponselnya sejenak hanya untuk mengatur nafas. "Kau harus yakin, Yoon. Aku tahu kau kuat". Apakah ia juga bisa berkata seperti itu jika dirinya berada diposisi Yoongi?

Tidak mau Seokjin mendengar isakannya lebih lama, Yoongi mematikan telepon secara sepihak. Ia akan meminta maaf nanti karena ketidak-sopanannya barusan, semoga saja Seokjin bisa mengerti.

Setelah melepas AirPodsnya serampangan, ia kembali menenggelamkan kepalanya pada gagang kemudi. Menumpahkan seluruh kefrustasian yang coba ia bendung beberapa hari ini. Memang benar tak akan mudah, tapi ia belum siap menceritakannya pada siapapun. Namun jika itu Seokjin, ia yakin tanpa bercerita pun Seokjin akan paham akan dirinya.

Beruntung, berita sakitnya Presdir Min tidak terekspos oleh media. Jika itu terjadi, bisa dipastikan para pesaing perusahaannya akan melakukan hal-hal yang tak terduga demi menyerang gedung properti tersebut.

Sebelumnya pun juga pernah terjadi. Namun berkat kegigihan Presdir Min, perusahaan berhasil bertahan dan tumbuh menjadi lebih baik.

Setidaknya Yoongi harus bertahan sedikit lebih lama. Dan ia harus percaya bahwa semua akan baik-baik saja. Paling tidak itu harapan kecil yang sedang ia semogakan.

.
.
.
.
.

Silahkan voment. Maaf belum balas komen yang kemarin-kemarin.

Such a Mess || MinyoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang