28. Sebentuk Perhatian yang Lain

1.6K 281 21
                                    

.
.
.
.
.

"Halo, ibu?", sejurus lirikan, Jimin layangkan. Mewanti-wanti, apakah Yoongi mendengar percakapannya atau tidak. Yang ia tahu, sosok yang duduk disebelahnya tersebut nampak sibuk dengan pikirannya sendiri. "Iya, aku masih dijalan", sesekali menoleh pada kaca spion, memastikan tak ada pengendara dibelakang saat ia hendak menyalip mobil didepannya.

Jimin tak sepenuhnya salah, Yoongi memang sedang melamun. Pikirannya berkelana entah kemana. Suara Jimin yang berpadu dengan alunan musik dari radio, hanya terdengar samar ditelinganya.

Lagu spring day milik BTS, menemani perjalanan mereka ditengah turunnya salju.

Setengah perjalanan, mereka habiskan dengan obrolan tentang sampai mana persiapan peresmian resort BlackGold di Busan dan beberapa progress bisnis yang terjadi saat ini.

Lalu setelahnya, mereka berdua mendadak kehilangan bahan obrolan di beberapa menit terakhir hingga Jimin menerima panggilan telepon dari sang ibu.

"—Tidak bisa, Bu. Aku harus mengantarkan seseorang terlebih dulu", meski hanya menggunakan satu tangan, Jimin mampu memutar setir ketika berkelok di tikungan dengan lihai. "Aku bersama Namjoon sejak berangkat tadi. Sekarang, kami hanya terpisah mobil" ... "—Yoongi", lagi-lagi ia harus melirik kearah sampingnya. "Iya, kami bertemu disana" ... "Tidak bisa, Bu"

Sekian detik tak membuka suara, helaan putus asa terdengar. Nyatanya, Jimin tak pernah bisa menang jika harus berdebat dengan ibunya. "Oke-oke. Aku akan mencobanya. Tapi, jika dia tidak mau. Aku tidak ingin memaksanya, kuharap ibu bisa mengerti" ... "Baiklah kalau begitu", Jimin mematikan panggilan teleponnya sesaat setelah berpamitan.

"Saya tidak masalah jika harus pulang sendiri", Yoongi menoleh dan bertemu tatap dengan Jimin. "Maaf sebelumnya jika saya menguping", sulit untuk abai, saat menyadari namanya sempat disebut.

Jimin menginjak rem begitu melihat lampu merah menyala. "Dan membiarkan orang yang mengikutimu tadi, berakhir membahayakan bahkan mencelakaimu?", bukannya menjawab, ia malah balik bertanya. "Aku bukan pria tega yang sampai hati membiarkanmu pulang sendirian di tengah badai seperti sekarang. Apalagi ini sudah malam"

Sesuatu yang terasa aneh, sukses menggelitik hatinya. Yoongi terdiam.

"Kau lihat mobil berwarna hitam, nomor dua dibelakang kita?", Jimin sontak menunjuk kaca spion pada sisi penumpang. "Mobil itu terus mengikuti kita, sejak kita meninggalkan cafe tadi"

Menilik sekilas, Yoongi kembali menatap lurus kedepan. Ia tahu, tepat dibelakang mereka, ada mobil Namjoon. Dan dibelakangnya lagi, ada mobil hitam yang Jimin maksud barusan. "Saya rasa dia orang suruhan Taehyung", diatas kesadaran, ia berucap tenang.

Jimin mengerutkan kening. "Darimana kau tahu?", tanyanya terdengar sangsi. Sebelah tangannya memindah persneling, langsung melajukan mobil kala lampu telah berganti warna. "Dan kenapa kau bisa sangat yakin?"

Yoongi mengangkat bahu singkat, "Sepertinya saya pernah melihat wajah orang tadi", terdengar sedikit tak yakin. "Meski saya tidak tahu dia siapa. Saya yakin, saya pernah melihatnya bersama Taehyung sebelumnya", jelasnya lagi.

"Tak ada yang menjamin jika orang tadi adalah suruhan Taehyung atau bukan", tukasnya tak setuju. "Sikap remeh yang seperti ini yang kadang membuat kita kalah sebelum berperang"

Yoongi menahan diri agar tidak memutar bola matanya. Ia tidak berniat membalas. Terlalu malas untuk menanggapi kalau pada akhirnya mereka harus berdebat. Toh tak ada yang salah dengan ucapan Jimin.

"Lagipula...", Jimin menggantungkan kalimatnya.

"—Apa?", Yoongi beralih pada Jimin. Ia penasaran.

Such a Mess || MinyoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang