.
.
.
.
."Mendekatlah, kakimu basah", jangan salahkan Jimin jika kesempatan selalu berpihak padanya. Seperti sekarang misalnya, ia tarik lengan Yoongi lebih dekat agar tidak terkena cipratan air hujan hanya untuk sekedar alibi.
Yoongi melirik skeptis. Menyorot Jimin dari atas ke bawah, kemudian keatas lagi. "Anda tidak sadar, kalau diri Anda juga hampir basah kuyup, Presdir Park?", balasnya terdengar sengit. Ia tak tahu kenapa dirinya sebegitu bencinya saat berbicara dengan Pria Park tersebut. Ia bahkan sering uring-uringan tak jelas ketika mendapati Jimin berada didekatnya. Yeonjun yang terkenal tak memiliki kepekaan pun, bisa langsung menyadarinya. Namun dengan dalih profesional, ia berusaha menahan diri.
Bukannya marah, Jimin malah terkekeh menanggapi lontaran kalimat Yoongi yang tergolong tak sopan barusan.
Apanya yang lucu? Yoongi mengernyit tak mengerti.
"Yoongi..."
Yang dipanggil semakin mengernyit. Apa Jimin baru saja memanggil namanya?
"Lusa malam, jam 7. Aku akan menjemputmu di rumah"
Butuh beberapa detik bagi Yoongi mencerna ucapan Jimin. Apa katanya? "Jika ini berkaitan dengan hutang budi saya. Anda tidak perlu repot-repot menjemput saya, Presdir Park. Cukup berikan kemana alamat yang harus saya tuju. Kita bertemu disana dan menyelesaikan semuanya". Bagus! Itu susunan acara singkat yang harus ia lalui nanti.
Jimin tersenyum miring. "Jadi, kau tak mau ayahmu tahu?", setengah mencibir, ia bermaksud memancing.
Yoongi menarik nafas sejenak. "Ini tidak ada hubungannya dengan ayah saya. Jadi jangan pernah berani untuk melibatkannya", ia memperingatkan, keputusannya tak bisa dibantah.
Menatap jauh kedepan, Jimin tersenyum pongah. "Baiklah. Untuk saat ini, kurasa tak masalah"
"Maksud Anda?"
Jimin mengendikan bahu sekilas. "Karena aku tidak bisa janji untuk kedepannya", terbersit rencana lain di otaknya.
Kali ini Yoongi menghadap kearah Jimin sepenuhnya. "Kenapa Anda begitu yakin, saya mau menerima ajakan Anda yang lain?"
"Kau tidak mau?", menoleh seraya mengerjap beberapa kali, Jimin balas bertanya.
"Anda sudah tahu jawabannya!", ketus Yoongi, setengah menahan kesal. Sebenarnya apa yang diinginkan Presdir angkuh itu darinya?
"Lalu kenapa kau sangat yakin untuk tidak menerima ajakanku?"
"-Ya karena saya tidak mau!", sahutnya semakin sengit. Jimin telak membuatnya jengkel hingga ke ubun-ubun.
Jimin tertawa, ia menyilangkan kedua tangannya beralih menghadap kearah Yoongi. "Benarkah?", satu langkah pelan yang membuat Yoongi reflek memundurkan diri. "Yoongi..."
Pemilik nama mendengus kasar. Memangnya seakrab apa mereka, hingga Jimin hanya memanggilnya dengan nama?
Tatapan tajam itu perlahan berubah teduh tanpa mengurangi intensitasnya. "Kenapa kau menutup dirimu untuk orang lain?", sejurus kesimpulan yang bisa Jimin utarakan. Ia tahu, bagaimana sangat tertutupnya Yoongi pada orang lain. Bagaimana Direktur manis itu selalu mencoba menghalangi orang lain agar tidak mendekatinya. Dan bagaimana rumitnya Yoongi untuk ditebak.
Tidak seperti ucapannya beberapa waktu lalu, Yoongi memang tidak sepenuhnya terbuka dan menerima kenyataan. Sosok manis itu sedang menahan diri akan sesuatu, mengurung keinginannya, berusaha membunuh impiannya.
Yoongi itu, si naif yang keras kepala dan Jimin yakin bahwa spekulasinya pasti benar.
"Anda tak punya hak untuk mengatur kapan dan pada siapa saya ingin terbuka", suaranya merendah penuh penekanan. Yoongi jelas merasa tersinggung, ia merasa Jimin terlalu jauh mencampuri hidupnya.
Masih mempertahankan raut datarnya, Jimin kembali melangkah maju. Sebenarnya tidak ada niatannya untuk mengintimidasi, tapi sayangnya ia sudah terlanjur terprovokasi. "Memang benar", dingin. Suara Jimin lebih dingin dari hujan sore kala itu. "Aku juga tidak pernah berharap, orang itu adalah aku"
Tak ada yang bisa dipercayai disini. Mereka terlihat menolak dalam frasa, tapi tak ada yang menampik saat mata dibiarkan mengungkap segalanya. Jimin ingin menjadi seseorang itu, sementara Yoongi ingin seseorang itu adalah Jimin.
Jadi... bisakah seseorang memberitahu mereka, bahwa mereka nyatanya ingin saling melengkapi?
Yoongi seketika terkejut begitu Jimin menarik lengannya tepat sebelum ia mundur lebih jauh hingga nyaris tersiram air hujan. Mereka sangat dekat, masih saling menatap.
"Tapi Yoongi, kau membutuhkannya. Seseorang yang bisa kau ajak berbagi. Kau tidak bisa seperti ini terus", bisik Jimin yang tak sepenuhnya sadar dengan apa yang baru saja dikatakan. Ia tak yakin dirinya mengatakan hal tersebut sedangkan disisi lain, ia tak memiliki niatan untuk mengatakannya. Sebenarnya apa yang terjadi dengan dirinya? Kenapa otak dan hatinya bertolak belakang?
Ditengah riuhnya hujan pun, Yoongi bisa mendengar ucapan Jimin yang tanpa sadar telah menghanyutkannya. Ia telak hilang fokus saat telapak tangan Jimin berpindah ke sisi wajahnya dan mengusapnya lembut. Jimin bersikap aneh. Dan lebih anehnya lagi, ia tidak merasa terganggu bahkan menolaknya.
Jimin mendekat secara naluri, bibir yang bergetar kedinginan itu terlihat begitu pucat. Begitu dingin nyaris membeku. Ingin rasanya, ia menghangatkan bibir itu... "Jangan buat dirimu terkurung sendirian. Kita tahu betul, kesendirian bukan hal yang menyenangkan, bukan?"
Yoongi terlena, ucapan Jimin beracun. Dan sayangnya, dirinya telah teracuni. Ia bahkan bisa merasakan hangatnya hembusan nafas Jimin yang perlahan semakin terasa. Ya, ia tahu... betapa menyiksanya menyadari tidak ada tempat untuknya bersandar. Menjalani hari-hari dengan berpura-pura tegar seolah ia baik-baik saja, benar-benar memuakkan.
Yoongi ingin berhenti mengabulkan tuntutan orang lain yang tak pernah ia tahu bahwa mereka peduli atau tidak.
Tapi adakah pilihan lain untuknya?
Atau haruskah pilihan itu... Jimin?
Haruskah?
.
.
.
.
.Keutt~
![](https://img.wattpad.com/cover/209535279-288-k603178.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Such a Mess || Minyoon
Fanfic(End) Ketika takdir mempermainkan hati mereka. Yoongi selalu menganggap pertemuannya dengan Jimin adalah malapetaka. Sementara itu, Jimin hanya menganggap pertemuan mereka adalah ketidaksengajaan yang bisa dimanfaatkan. Minyoon Jimsu BTS & TXT cast ...