18. Harga Diri

1.9K 250 15
                                    

.
.
.
.
.

Jimin brengsek! Jimin brengsek!! Jimin brengsek...!!!

—adalah sebait kalimat yang sukses berjejal memenuhi isi kepala Yoongi. Puas rasanya jika ia bisa menampar, menjambak, menendang atau mungkin menginjak-injak tubuh pria Park tersebut saat itu juga apabila ia lupa bahwa sekarang mereka sedang ditonton oleh nyaris seluruh pengunjung restoran. Ditambah lagi...

"Siapa?—siapa dia?!", nada Nyonya Park terdengar meninggi tanpa sadar. Dadanya naik turun, menahan emosi. Masih menjunjung tinggi konsep adab dalam bersikap, ia berusaha mengendalikan ekspresinya agar nampak setenang mungkin. Meski alhasil, rautnya malah terlihat kaku tak mengenakkan. "Jimin...", desisnya. "Bagaimana bisa kau ada disini? Bukankah kau sudah membatalkan acara makan malammu dengan Seulgi? Lalu kenapa kau bisa bersamanya?!"

Bisik-bisik tak terhindar. Mereka telak jadi pusat perhatian. Namun beruntung tak ada yang berani mengeluarkan ponsel hanya untuk sekedar merekam kejadian itu, selain cctv tentu saja. Karena sejak awal, keberadaan Jimin sendiri sudah mencuri atensi pengunjung yang memang sudah tahu bahwa Jimin adalah pemilik GeneralStar—perusahaan furniture yang telah mendunia. Lebih-lebih lagi, si pria Park sedang menggandeng seseorang.

Tapi, mereka yang tidak ingin berakhir dengan kerugian, memilih urung melancarkan niatan setan mereka untuk menjual berita tersebut ke paparazi, misalnya.

Disisi lain, Yoongi tengah mati-matian menahan diri untuk tidak balas berteriak sekaligus menyumpahi Jimin dan ibunya dengan semua kata tak pantas yang ia ketahui yang mendadak bermunculan diotaknya. Tangannya yang terkepal erat, menandakan betapa ia murka selepas perlakuan tak sopan Jimin yang bisa ia kategorikan sebagai pelecehan tersebut.

Tak mengira akan jadi seperti ini. Hal pertama yang Jimin lakukan adalah menggenggam tangan Yoongi yang terkepal dengan cepat. Ia tahu seberapa meradang Direktur manis itu dalam diam. "Ibu, bisa kita bicarakan ini dirumah?", bisiknya penuh harap. Untuk ibunya, ia yakin pasti bisa menghadapinya. Tapi untuk Yoongi... Jimin melirik sekilas. Sosok disebelahnya itu, kentara sekali tak mau memandangnya. Wajah pucat itu terlihat memerah, menahan marah.

Dengan raut berang, Nyonya Park menggertak. "Langsung temui ibu dirumah kalau begitu?!", tanpa mengindahkan jawaban Jimin, ia melenggang pergi. Ia bahkan tak mempedulikan lagi tatapan orang-orang yang masih menyoroti kepergiannya.

Jimin menghela nafas lega secara impulsif. Sekarang masalahnya, tinggal Yoongi. "Bisa kita bicara?", lirihnya ragu-ragu. Ada baiknya jika ia meminta ijin untuk hal ini, hanya antisipasi kalau-kalau Yoongi langsung menolaknya. Dan benar saja, genggamannya langsung ditepis. Namun tak cukup kuat untuk membuat si pemilik tangan terlepas.

Pertama-tama yang harus Jimin lakukan adalah membawa Yoongi keluar dari tempat tersebut. Ia takut, Yoongi akan meluapkan kemarahannya dihadapan semua orang. Ia...

"—lepaskan!!", kali ini Yoongi berhasil menepis genggaman Jimin. Dan tanpa berpikir dua kali, ia sontak melayangkan tamparan pada pipi si pria Park yang berhasil meninggalkan jejak kemerahan disana. Ia menatap pongah dengan sedikit rasa kemenangan atas balas dendamnya barusan. Namun sayang, amarahnya belum sepenuhnya surut. Paling tidak, ia harus tetap menjaga harga dirinya.

Well, anggap saja tamparan Yoongi ini tadi sebagai karma atas perlakuannya. Tapi, bukankah setidaknya bisa dibicarakan baik-baik? "Kuharap kita impas", ucap Jimin meluncur setelahnya. Entah apa yang membuatnya mengucap seperti itu. Yang jelas ia setengah tak sadar saat mengucapkannya, ini hanya sebuah reflek atas sikap Yoongi padanya.

Benar-benar tak ada yang mau mengalah diantara keduanya.

Yoongi mendengus tak terima. "Impas kata Anda?!", menyilangkan kedua tangan didepan dada, ia berdiri menantang. "Bahkan dengan seribu tamparan pun tak akan mampu mengobati harga diri saya yang terluka seperti sedia kala! Anda sudah mempermalukan saya, Presdir Park yang terhormat?!", geramnya meradang hingga ke ulu hati. "Apa ini kelakuan asli seorang atasan yang di elu-elukan oleh semua orang?!", cibirnya tanpa ampun. Beruntung, parkiran mobil itu sepi. Jadi tak masalah jika ia ingin berteriak sekeras apapun tanpa takut dipergoki oleh orang lain.

Jimin terdiam dengan gerahamnya yang saling menekan. Ucapan Yoongi mulai terdengar keterlaluan, tapi ia juga tak bisa menyangkal. Anggap saja, ia mulai sadar atas apa yang telah ia perbuat. Lebih tepatnya, rasa bersalah perlahan menjalari hatinya. Sudah sepantasnya Yoongi meluapkan amarahnya.

Menggeram pelan, Yoongi memejamkan mata sekedar mengatur nafas. "Luar biasa!", ia kembali menatap Jimin dengan sorot yang berapi-api namun tak mampu menyembunyikan lukanya. "Anda bahkan tak mau meminta maaf", menggeleng samar, ia memalingkan wajah. Sejak awal, seharusnya ia menolak ajakan bodoh ini. Seharusnya ia mendengarkan apa kata ayahnya. Dan seharusnya ia tak perlu bertemu dengan pria brengsek ini!

Jimin termangu, semua ucapan Yoongi tak ada yang salah. Hanya saja, ia tak mau mengakui bahwa dirinya lah yang bersalah. Sekedar meminta maaf pun terasa sulit baginya karena ia tak terbiasa.

Percuma Yoongi mengharap apa yang ingin ia dengar. Sama seperti dirinya, Jimin sejatinya juga mendewakan apa yang namanya harga diri. Mereka sama-sama terlahir untuk menjadi pemenang. Jadi bukan hal mudah bagi mereka untuk saling mengalah, apalagi mengesampingkan ego.

Tanpa banyak basa-basi, Yoongi langsung angkat kaki dari tempat tersebut. Meninggalkan Jimin yang masih termenung entah karena apa. Bukan urusannya juga. Setelah ini, ia pastikan tak akan pernah berurusan dengan Jimin lagi. Cukup tahu saja.

.
.
.
.
.

Gimana-gimana?

Such a Mess || MinyoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang