.
.
.
.
.
Jimin melangkahkan kakinya kearah lift. Dengan dalih ada hal yang ingin dikerjakan, dirinya memilih lebih dulu kembali ke kamar dan meninggalkan Namjoon yang menggerutu jengkel karena harus membayar makan malam mereka berdua. Ia masih mengingat bagaimana Namjoon yang memakinya tak terima dan berakhir mendapat pelototan para pengunjung yang merasa terganggu.Malam ini, hujan tak absen mengguyur kota Busan dengan lebatnya. Dari dinding kaca, Jimin bisa melihat tetesan-tetesan hujan yang menabrakkan diri lalu berakhir mengalir jatuh.
Terkadang, hujan bisa memberikan efek yang mengerikan tanpa kita sadari. Seseorang akan melamun hanya karena memperhatikannya saja, termasuk Jimin sebagai contoh. Entah kenapa, dipikirannya terlintas sosok Yoongi dari sekian orang yang ada. Sejak rapat tadi, ia tidak melihat Yoongi lagi. Apakah Direktur itu sudah makan? Terus apa yang sedang dilakukan Direktur itu sekarang? Jimin mendengus tak percaya dengan apa yang baru saja terbersit di otaknya. Kenapa ia mendadak mengkhawatirkan Yoongi?
.
.
.
.
.Yoongi tak menyangka ia akan tertidur di ruang rapat. Begitu melihat jam, ia tertegun. Ternyata sudah malam, memangnya berapa lama ia tertidur? Ia reflek meringis kesakitan, karena pusing dikepalanya yang terasa berputar-putar. Haruskah ia sakit disaat dirinya tak ingin sakit? Astaga! Bisakah sakit datang dengan dijadwal?
Perlahan bergerak, Yoongi membereskan barang-barangnya. Disaat seperti ini, ia benar-benar butuh Yeonjun sekarang. Kemana bocah itu pergi?
Ketika mencoba berdiri, Yoongi dengan cepat kembali duduk lagi. Rasanya seperti vertigo. Apa yang ia pandang, semuanya berputar dan hal itu membuatnya mual seperti ingin muntah. Ia merintih menahan sakit seraya merutuk diri sendiri karena tak membawa ponsel.
Beruntung, meeting room ini masih satu lantai dengan kamarnya menginap. Setelah memijati kepalanya yang berdenyut, Yoongi kembali berusaha berdiri dengan sisa tenaganya. Ia harus segera menemukan tempat tidur agar dirinya bisa langsung istirahat. Mungkin dengan tidur dan minum obat bisa meredakan rasa sakitnya.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Baru sesaat Yoongi menutup pintu, ia merosot kemudian berjongkok. Rasa sakitnya benar-benar tak tertahankan. Dipijitnya lagi kepalanya yang terasa mau pecah, ia meringis dalam diam. "Yeonjun-ah...", lirihnya.
"Yoongi-ssi?"
.
.Jimin yang semula ingin kekamarnya, terhenyak mendapati Yoongi berjongkok didepan pintu sambil memegangi kepala. Bertanya-tanya apakah Direktur itu baru keluar dari ruang rapat sejak tadi? Kalau benar iya, Direktur itu pasti sudah gila! Bagaimana bisa seseorang bekerja tanpa kenal waktu?!
"Yoongi-ssi?"
Yoongi sangat berharap jika itu suara Yeonjun, tapi tidak. Ia cukup mengenali suara yang terdengar begitu dekat tersebut, saat kedua pundaknya dirangkul.
"Kau baik-baik saja?"
Yoongi membuka mata sekilas, sebelum menutupnya kembali. Karena sumpah demi apapun, pusing dikepalanya benar-benar membuatnya mual. "Bisa kau menolongku? Kepalaku pusing dan rasanya berputar-putar"
Jimin harus mendekat untuk mendengar ucapan Yoongi yang terdengar lemah. Ia juga melihat betapa pucat wajah sayu itu dihadapannya. "Kau bisa berjalan? Ku antar kau kekamar sekarang", setelah mendapat anggukan, ia tuntun Yoongi dalam dekapannya.
.
.
.
.
.Meski dengan perjuangan, akhirnya Yoongi berhasil berbaring di tempat tidurnya. Ia hanya bisa memejamkan mata sedari tadi, ia takut dirinya akan muntah sewaktu-waktu. Dan ia cukup sadar, saat tahu Jimin masih ada disana.
"Selamat malam, adakah layanan kesehatan hotel di jam segini? Bisakah kami meminta dokter untuk memeriksa salah seorang yang sedang sakit?"
...
"Kamar hotel nomor 91. Baik, terimakasih", setelah mematikan panggilannya, Jimin mendekat. Ia menyentuh dahi Yoongi dengan telapak tangannya.
Yoongi tidak tahu apa yang Jimin lakukan setelahnya, karena ia tidak mau tahu juga. Pusing dikepalanya tak cukup mampu membuatnya terjaga apalagi merecoki apa yang sedang pria Park tersebut lakukan.
.
.
.Jimin memperhatikan Yoongi dalam diam. Setelah dokter memeriksa dan mengatakan jika Yoongi mengalami tekanan darah rendah dan kelelahan, ia meminta Namjoon untuk menebus beberapa obat dan vitamin di apotek. Awalnya Namjoon panik, mengira bahwa Jimin yang sakit. Tapi setelah dijelaskan, ia yang terheran, berakhir menuruti bosnya saja.
Jimin tidak tahu apa yang sedang ia lakukan saat ini. Antara sadar dan tidak, ia usap lembut pipi Yoongi dengan punggung jemarinya. Yoongi dihadapannya, terlihat begitu pucat dicahaya yang remang. Ia bergeming lama dalam diam, memikirkan sesuatu yang sulit untuk ia jelaskan. Yoongi, sedikit mengingatkannya pada masa lalunya.
Lamunan Jimin terhenti begitu bel kamar berbunyi.
"Apa yang terjadi dengannya?", Namjoon sontak bertanya sesaat begitu pintu dibuka.
"Hanya kelelahan", Jimin kembali masuk, setelah menutup pintu.
"Kenapa tidak meminta tolong pada Yeonjun saja?"
"Dia sedang sibuk bekerja"
"Menurutmu aku tidak sedang sibuk?"
Jimin memutar maniknya. "Kalau begitu kembalilah bekerja. Susun ulang laporan rapat tadi dan pastikan besok pagi sudah ada ditanganku"
Namjoon menyipitkan mata sambil mendecih. "Jahatnya!", setengah bercanda, ia tak menganggap serius ucapan Jimin barusan. "Kenapa dia bisa bersamamu?", rasa ingin tahu benar-benar menggerogotinya. Ia penasaran bagaimana Jimin bisa bersama Yoongi? Bagaimana bisa Jimin menelponnya lalu memintanya mencari obat? Lalu bagaimana bisa...? Atau jangan-jangan... —Oke pikirannya mulai melantur.
"Aku menemukannya nyaris pingsan didepan ruang meeting tadi. Dan jangan berpikiran yang macam-macam padaku! Karena aku tahu kemana arah otakmu sekarang!", gertak Jimin, melihat betapa curiganya tatapan Namjoon yang ditujukan padanya.
Raut Namjoon penuh cibiran. "Padahal aku tidak mengatakan apa-apa", sambil mengendik bahu sekilas. Ia sempat memandangi Yoongi beberapa saat, kemudian kernyitan dikeningnya muncul. "Jimin...", ia menoleh pada Jimin yang juga tengah memperhatikan Yoongi. "Kau tidak sedang berusaha mendekatinya kan?"
Jimin melirik dalam diam.
Namjoon mendengus. "Well... Jika tebakanku benar—dan, kurasa memang benar", seringaiannya muncul. "Sedikit saran dariku, Jimin", ditepuknya pundak Jimin beberapa kali. "Kau perlu usaha ekstra untuk menaklukkannya. Dia bukan tipe yang mudah luluh meski diiming-imingi dengan sesuatu"
"Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi nanti, Namjoon. Kenapa kau bisa sangat yakin?", Jimin berucap datar.
.
.
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Such a Mess || Minyoon
Fanfiction(End) Ketika takdir mempermainkan hati mereka. Yoongi selalu menganggap pertemuannya dengan Jimin adalah malapetaka. Sementara itu, Jimin hanya menganggap pertemuan mereka adalah ketidaksengajaan yang bisa dimanfaatkan. Minyoon Jimsu BTS & TXT cast ...