.
.
.
.
.Yoongi membanting tubuhnya ditempat tidur. Melirik jam sekilas sebelum menutup matanya dengan sebelah lengan. Jika sekarang ia mengatakan tidak merasa tertekan, maka itu adalah sebuah kebohongan. Karena nyatanya, dirinya sedikit merasa frustasi dengan apa yang tengah ia jalani. Ayahnya, pekerjaannya dan impiannya yang kandas ditengah jalan.
"Apakah ini benar-benar pilihanku?", sekelebat ucapan Jimin saat mereka berada di pantai kembali terngiang-ngiang. Yoongi semakin mengerang frustasi. "Ck! Kenapa harus dia yang muncul?", ia sontak terduduk lalu melirik ponselnya yang berdering.
Presdir Brengsek is calling
"Cih! Panjang umur dia", tanpa menggubris panggilan Jimin, ia memilih melenggang pergi ke kamar mandi. Masih ada satu jam untuknya bersiap-siap sebelum ia pergi ke tempat dimana Jimin menunggunya.
.
.
.
.
."Sudah ibu katakan, temui saja dulu dia. Apa susahnya untukmu, Jimin?", mengekor Jimin yang berada di dapur, Nyonya Park bersungut-sungut kesal. "Tidakkah kau merasa terlalu jahat padanya, hah?", anaknya ini benar-benar susah diatur. Sebenarnya siapa yang Jimin tiru?
Jimin sedikit membanting pintu lemari es setelah ia mengambil sebotol air putih dari sana. Membuka tutupnya, menenggak setengah dari isinya. "Apa ibu tidak lelah seharian ini selalu menguntit ku?", suaranya terdengar jengah. Bahkan saat rapat tadi pun ibunya menerornya dengan rentetan panggilan dan pesan yang isinya hampir sama semua.
"Tidak!", sahut Nyonya Park cepat.
"Mau sampai kapan—?"
"—sampai kau mau menuruti apa kataku!", selanya dengan keras kepala.
"Ibu... Jimin lelah. Dan setelah ini pun Jimin ada janji temu dengan seseorang", jelas Jimin berusaha memberi pengertian pada ibunya. Ia tatap ibunya dengan lembut seraya memegangi kedua pundaknya. "Kita bahas hal ini lain kali. Hn?", secercah senyum ia berikan.
Bukannya luluh, Nyonya Park malah terlihat semakin murka. "Lain kali-lain kali! Memang sudah berapa kali kau mengatakan lain kali?! Jangan membuat alasan Jimin. Kau tidak kasihan pada ibumu yang mulai menua ini?!", ia telak merajuk. "Kau satu-satunya anak ayah dan ibu, Jimin. Kami hanya ingin kau segera menikah. Apa sulitnya bagimu?!"
Jimin sudah membuka mulut, hendak menjawab ketika ibunya lagi-lagi menyela.
"—Baiklah-baiklah! Jika alasanmu tidak ingin salah pilih, memangnya pilihan ibu kurang meyakinkan?", Nyonya Park melayangkan tatapan sengit pada anaknya. "Pokoknya ibu tidak mau tahu, kau harus menemuinya secepatnya!?"
Jimin meringis dalam hati. Ibunya sudah tidak bisa dibujuk. "Pilihannya hanya ada dua, Bu. Lain kali atau tidak sama sekali?!", tidak ada yang bisa mengatur hidupnya, termasuk sang ibu. Apalagi Jimin bukan seseorang yang mudah dibujuk. Apapun itu, ia tak ingin orang lain mencampuri keputusannya.
Nyonya Park sedikit menciut, tapi bukan berarti ia menyerah. "Kalau begitu segera luangkan waktumu untuk membicarakan hal ini", ia menyipitkan matanya. "Ingat Jimin! Kau harus!", ucapnya mencoba terdengar mengancam, namun hal itu tidak berlaku bagi Jimin. Mendengus keras, ia memilih melenggang pergi dan meninggalkan Jimin di dapur.
Sementara itu, Jimin hanya mencebik, terlihat acuh tak acuh. Ada hal yang lebih penting, selain urusannya dengan sang ibu.
.
.
.
.
.Yoongi turun dari mobil. Sontak mengedarkan pandang pada sebuah restoran berbintang lima yang letaknya tepat di pusat kota. Pukul 7 tepat ia sudah datang. "Aku akan membunuhnya jika membuatku menunggu", gumamnya sambil berlalu. Begitu masuk, ia disambut ramah oleh seorang pelayan.
"Reservasi atas nama Park Jimin", ucap Yoongi sesuai isi pesan Jimin tadi.
"Baik. Mari silahkan, saya antar"
Yoongi mengekori pelayan tersebut hingga mereka sampai di sebuah meja yang letaknya sedikit terpisah dengan yang lain. Dan Jimin ada disana, berdiri menyambutnya.
"Kupikir kau tidak akan datang", senyum Jimin menipis, terlihat seperti seringaian.
"Inginnya...", mendengus pelan, Yoongi memilih langsung duduk. "Jadi, apa yang perlu kita selesaikan disini?", ia reflek menoleh saat suara live ballad music terdengar dari sudut ruangan, lebih tepatnya suara permainan piano sang musisi yang sukses mencuri perhatiannya. "Itu, kau sengaja?", dengan dagu ia mengendik sekilas kearah para pemain live music tadi.
Jimin kembali mengulum senyum, kemudian menggeleng. Mulutnya terkunci, tatapnya telak mengagumi. Yoongi berhasil mengalihkan perhatiannya.
Memutar maniknya, Yoongi mencebik. Ia segera membuka buku menu yang diberikan oleh seorang pelayan yang datang. "Apa Anda punya rekomendasi menu disini, Presdir Park?"
"—Jimin"
"Huh?!", Yoongi mengerjap bingung, ia menatap Jimin dari balik bulu matanya.
"Panggil saja Jimin. Kita tidak perlu seformal itu jika diluar kantor", jelas Jimin setelah interupsinya tadi.
Tergugu, Yoongi biarkan beberapa detik berlalu dalam diam. "Dan seingat saya, kita tidak seakrab itu untuk saling memanggil nama, Presdir"
"Kalau begitu kita bisa memulainya dari sekarang", ucap Jimin mengalir begitu saja.
Tak habis pikir dengan sikap Jimin barusan, Yoongi memaksa seulas senyum kaku. Ia mengembalikan buku menu restoran kepada si pelayan yang terlihat serba salah karena terjebak diantara mereka. "Berikan satu menu special untukku", ucapnya pada si pelayan dengan tatapannya yang tak beralih dari Jimin. Rusak sudah suasana hatinya.
"Anda, Tuan?", tanya pelayan tadi pada Jimin. Nampak sekali tidak nyaman seolah-olah ia ingin cepat-cepat pergi dari sana.
"Samakan saja", ia tak ingin repot-repot memilih. Begitu pelayan tadi pergi, Jimin mengerjap penuh tanya balas menatap Yoongi. "Kenapa?—Apa kau merasa keberatan dengan tawaranku barusan? Apa hal itu terlalu menyulitkanmu"
Yoongi menyipitkan maniknya. Semua ucapan Jimin tidak bisa langsung dipercaya. "Sebenarnya apa tujuan Anda mengajak saya kesini?", bukannya menjawab, ia malah balik bertanya. Sikap Jimin yang aneh, jelas membuatnya curiga.
Beberapa pengunjung mulai berdatangan dan meramaikan restoran tersebut.
Jimin sempat melirik salah seorang pengunjung yang baru saja datang. Meskipun agak jauh, letak duduknya yang menghadap pintu masuk, cukup membuatnya bisa memantau keadaan sekitar. Ia kembali melarikan tatapnya pada Yoongi, kemudian tersenyum. "Bukan sebuah dosa jika kita saling mengenal, kan?"
Tak puas dengan penuturan Jimin, Yoongi mendengus pelan. "Sebaiknya kita perjelas semuanya, Presdir Park. Saya tidak ingin ada seseorang yang salah paham dengan hubungan yang terjadi diantara kita, terutama ayah saya", tuntut Yoongi meminta kejelasan. Ia benar-benar tidak tahu dengan jalan pikiran Jimin yang sulit dibaca. Secara naluri, hal itu menjadikannya was-was setiap saat.
Jimin menatap Yoongi lekat-lekat, mengatur kata yang tepat sebelum berucap. "Tidakkah kau ingat dengan ucapanku di pantai, dulu?"
.
.
.
.
.
![](https://img.wattpad.com/cover/209535279-288-k603178.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Such a Mess || Minyoon
Fiksi Penggemar(End) Ketika takdir mempermainkan hati mereka. Yoongi selalu menganggap pertemuannya dengan Jimin adalah malapetaka. Sementara itu, Jimin hanya menganggap pertemuan mereka adalah ketidaksengajaan yang bisa dimanfaatkan. Minyoon Jimsu BTS & TXT cast ...