23. Masa lalu

1.8K 245 15
                                    

.
.
.
.
.

Jungkook adalah sang mantan. Biarlah Jimin yang menganggapnya begitu.

Tak beda juga dengan orang-orang yang melihat keakraban mereka, pasti akan beranggapan bahwa keduanya sedang menjalin hubungan. Pada saat itu—tolong digaris bawahi.

Dan Jimin yang termakan pun, ikut menganggapnya begitu.

Tapi semua kembali pada Jimin sendiri. Karena nyatanya, hanya ia yang menganggapnya demikian.

Lantas, bagaimana dengan Jungkook?

"Anda dan Dokter Jeon dekat", tutur Yoongi disela kunyahannya. Ia lapar, agaknya emosi sukses menguras tenaganya.

Meski kesulitan menggenggam sendok karena tangannya diperban, Yoongi tetap bertekad untuk menyuap sendiri. Mau ditaruh mana wajahnya jika harus disuapi, apalagi yang menyuapi... Lirikan skeptis sontak ia layangkan pada Jimin yang terlihat menahan tawa setiap kali ia gagal menyendok.

Mereka berakhir disebuah restoran Italia setelah perdebatan nan panjang. Alhasil, Jimin lah yang menang. Ia mampu membujuk Yoongi untuk makan terlebih dulu dengan alibi, ingin menyelesaikan persoalan mereka.

"Tidak juga", jawab Jimin acuh tak acuh.

Yoongi mendecih sembari meletakkan sendoknya. Ia memilih menyerah pada spaghetti-nya yang tinggal seperempat. Menggeser minumannya mendekat, diseruputnya segelas orange jus dingin yang menyegarkan. Sejenak lupa dengan udara diluar sana yang membekukan. "Anda kira saya tidak bisa melihatnya"

Jimin mengernyit, mendongak menatapi Yoongi dengan raut bingung. Ternyata, ia setengah melamun sejak tadi.

Yoongi melambaikan tangan didepan wajah sambil meringis, "Itu sangat... terlihat jelas kalau Anda menyukainya", ia menerbitkan cengiran rasa bersalah setelah menyadari ucapan fatalnya barusan. "Maafkan saya", tambahnya cepat-cepat sembari memalingkan muka.

Jimin menghela nafas kasar. "Bukan hal itu yang akan kita bahas sekarang", ia ikut meletakkan sendoknya, tandas sudah makanannya. Mengusap mulut dengan tisu, ia lanjut menyeruput minumannya. "Tujuanku mengajakmu bertemu, sebenarnya hanyalah minta maaf"

Yoongi mendengarkan, sudah ia duga. Semua gelagat Jimin akhir-akhir ini memang mudah terbaca, hanya saja ia memang sengaja tak mempedulikannya sejak jauh-jauh hari. Ia terlalu malas berurusan dengan orang-orang seperti Jimin. Terlalu ruwet.

"Masalah di restoran dulu", Jimin bisa melihat semburat merah perlahan menjalar dipipi lawan bicaranya. Bukankah menggemaskan, saat melihat Yoongi yang biasa sengak, ketus dan galak, tiba-tiba tersipu malu? Atau mungkin marah? "Aku minta maaf", ucapnya berusaha jujur. "Dan soal ibuku..."

Sebelah alisnya terangkat, Yoongi mendadak merasa antisipasi dengan apa yang akan Jimin katakan setelahnya.

"Dia terlanjur salah paham dengan hubungan kita", ucap Jimin ragu-ragu, ia bergeming menilai, mengamati raut kaku yang Yoongi tunjukkan. Dan ya, bukan hal mengejutkan jika Direktur itu akan menolak.

"Maksud Anda?", intuisinya menunjukkan radar waspada. Yoongi menahan nafas.

"Kurasa, kita bisa bekerjasama sekali lagi", tawarannya lebih menjurus memaksa. Anggap saja Jimin putus asa. Terjebak dengan ulahnya sendiri, nyatanya sedikit membuatnya frustasi.

Yoongi nyaris mendengus kasar, menatap Jimin tak percaya. "Saya—", kalimatnya tertelan entah kemana. Bingung dan tak siap. Ia benar-benar tak ingin terlibat apapun lagi dengan Jimin. Bekerjasama dalam konteks pekerjaan sudah cukup merepotkan dirinya, apalagi harus ikut andil dalam kebusukan Jimin untuk mengelabui ibunya sendiri dengan cara yang busuk. Ia menggeleng cepat. "Tidak!—saya sama sekali tidak berminat dengan tawaran Anda, Presdir. Ibu Anda dan Anda, itu urusan Anda. Dan saya tidak mau repot-repot untuk melibatkan diri", cerocos Yoongi, menolak mentah-mentah.

Jimin terdiam sejenak. Namun ketika ia ingin memberi sanggahan, Yoongi menghentikan ucapannya dengan gestur tangan terangkat.

"—Sstt!! Apapun ancaman Anda, saya tidak peduli", potong Yoongi segera. Ia menarik nafas sejenak. "Soal Ayah saya, itu akan menjadi urusan saya, Anda tidak berhak ikut campur", ia sontak beranjak, berniat pergi. "Oh! Satu lagi, permintaan maaf diterima karena Anda sudah menolong saya tadi. Terimakasih", tambahnya langsung membuang wajah dan pergi. Ia tak ingin berlama-lama disana. Jimin benar-benar tak baik bagi kesehatan jantung, dalam artian, karena pria itu selalu membuatnya emosi.

Jimin mendengus jengah, ternyata memang tak mudah. Padahal sejak awal pun Namjoon sudah memperingatkannya. Dan karena pada dasarnya ia memang keras kepala, menjadikannya terlanjur membutakan diri.

Tapi mau bagaimana lagi, nasi telah menjadi bubur, ditambah suwiran ayam, potongan cakue, kuah santan, dan—oke, lupakan!

Masalah yang sebenarnya hanya satu, perjodohan yang dibuat Nyonya Park—ibunya. Akan tetapi pemecah masalahnya lah yang sulit. Dan semakin sulit karena Jimin telah memilih Yoongi sebagai senjatanya.

Menghela nafas pelan, Jimin meninggalkan beberapa lembar won diatas meja lalu mengejar Yoongi.

.
.
.

Dalam batin, Yoongi sudah memaki Jimin dengan variasi umpatan paling mengerikan yang pernah ada. Tidak perlu dibayangkan bagaimana tertekuknya wajahnya yang merah padam. Ia serta merta terdiam, begitu menyadari kenyataan, bahwa... ia tak membawa mobil, ia tak membawa uang, ponselnya mati dan sekarang hujan!!

Astaga! Kutukan apa yang membuatnya sesial ini?!!

"Ku antar kau pulang"

Yoongi tersentak kaget dari acara mari merutuki nasibnya yang menyedihkan. Ia menatap tajam ke arah Jimin yang sudah berdiri disampingnya. Antara enggan tapi butuh, ia memilih tak menjawab. Gengsinya masih lebih berharga daripada kelanjutan hidupnya sendiri.

Oh, ayolah. Hidup mengandalkan gengsi, bisa mati.

Mengendik bahu sekilas, "Aku tidak akan memaksamu", ucap Jimin tanpa menoleh. "Kau bisa melupakan soal tawaranku tadi. Aku yakin kau lebih butuh tumpangan untuk saat ini", setelahnya, ia langsung menerobos hujan dengan payung yang baru dipinjamnya dari pihak restoran.

Yoongi melongo dalam diam. "Sebenarnya, apa yang dia lakukan?", gumamnya pada diri sendiri, ia sama sekali tak yakin dengan tawaran Jimin barusan. Bukannya ingin berprasangka buruk. Hanya saja, setelah menilik kejadian yang sudah-sudah, memutuskan untuk tidak langsung percaya adalah pilihan terbaik.

Well, pengalaman telah berbicara. Dan Yoongi tak mau terjerumus dalam kesalahan yang sama.

.
.
.
.
.

Kalau ada yang berani bilang pendek lagi, bakal aku aduin ke Jimin. Huft!

Such a Mess || MinyoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang