21. Karena Yoongi

1.8K 253 35
                                    

.
.
.
.
.

"Tunggu apa lagi?"

Yoongi tersentak pelan, langsung tersadar dari lamunannya. Ia membuang wajah dan merutuki kelakuannya. "Sudah kubilang, aku akan menggunakan mobil kantor", ia ngotot ingin menyetir sendiri.

"Bukan kau", ucap Jimin, tanpa merubah posisi.

Menoleh kebingungan, Yoongi mengernyit saat mendapati Jimin menyipit skeptis kearah Namjoon yang memandangi mereka seolah sedang menunggu sesuatu.

Merasa dipergoki, objek yang dimaksud sontak gelagapan salah tingkah. Namjoon menggaruk kepalanya yang tidak gatal, kemudian menampilkan cengiran tanpa dosa. "Baiklah, aku tidak akan mengganggu kalian. Silahkan lanjutkan acaranya", ia menarik sebelah alisnya dan mengulas senyum jahil yang ditujukan kepada Jimin.

Tak ingin mendapat pelototan lebih lama, Namjoon langsung melengos seraya membungkuk dan menyapa sok akrab pada seorang satpam didepan gedung, kemudian lanjut melenggang pergi.

"Apa yang dia pikirkan?", lirih Yoongi terheran-heran.

Jimin kembali menoleh pada Yoongi yang mengernyit menatapi kepergian Namjoon. "Masuklah"

Yoongi reflek beralih kearah Jimin. "Sudah kubilang—"

"Masuk atau kita akan seperti ini terus", potong Jimin.

Yoongi meringis. Merasa tak punya pilihan lain, ia masuk dan duduk di kursi depan yang setelahnya pintu langsung ditutup oleh Jimin.

Memperhatikan Jimin yang berjalan memutari mobil, Yoongi mengerutkan keningnya. Ia masih tak habis pikir, kenapa keberadaan Jimin begitu mempengaruhi sikapnya akhir-akhir ini. Ia bahkan tanpa sadar telah melakukan hal-hal konyol hanya demi menghindari Jimin. Mengingat semuanya, kembali membuat dirinya semakin merutuki diri sendiri.

"Kau tidak sedang menungguku untuk memasangkan sabuk pengamanmu kan?"

Jimin sudah duduk disebelah Yoongi dan mulai menyalakan mobil.

Tanpa menoleh dan memberi jawaban, Yoongi segera memasang sabuknya dengan jengkel.

Harus berapa lama lagi, ia berada didekat Jimin?

.
.
.
.
.

Mereka telah sampai di gedung dimana Yoongi akan bertemu dengan pak Jang, kliennya. Sebuah gedung advertising 5 lantai yang sudah menunggak masa sewa selama 1 tahun terakhir.

Meeting kali ini akan membahas tentang masa kontrak sewa gedung dan beberapa persoalan. Sebenarnya sudah beberapa kali pihak kantor datang untuk menanyakan kelanjutan kerjasama mereka, dan beberapa kali itu pula mereka tak mendapatkan tanggapan.

Alhasil, Yoongi dan Taehyung lah yang diutus untuk yang terakhir kali. Berharap mereka berdua bisa menangani permasalahan tersebut.

Namun, berhubung Taehyung tidak jadi ikut, maka Yoongi yang harus mengurusnya sendiri. Ia meminta Jimin untuk menunggunya di ruang berbeda yang hanya terpisah oleh dinding kaca.

Tak berapa lama menunggu, Jimin melihat 2 orang datang dengan membawa berkas-berkas ditangan. Sepertinya mereka—pak Jang dan sang sekretaris, tebaknya tanpa kesulitan setelah melihat penampilan keduanya.

Pak Jang, pria paruh baya berkumis tipis yang berpenampilan kasual namun masih terlihat rapi. Dan ditemani seorang wanita muda yang berdandan feminim dengan blush on merona dipipi, yang mengekor dibelakang.

Jimin kembali mengamati tempat itu sekilas. Sedari datang tadi, sebenarnya dirinya merasa sedikit janggal dengan suasana kantor yang begitu lengang. Atau mungkin karena sudah jam pulang kerja, jadi tempatnya terlihat sepi. Meski begitu, masih ada satu-dua orang berlalu lalang yang tak segan memperhatikan dirinya penuh tanda tanya. Ia sendiri tak terlalu ambil pusing, toh tidak merugikannya sama sekali.

Jimin mengangguk sekilas pada seorang wanita yang mengantarkan segelas kopi yang masih mengepulkan uap panas padanya.

Tak berminat dengan kopinya, Jimin memilih melemparkan tatapannya pada ruang diseberang tempatnya duduk dari balik kaca. Tanpa bisa mendengar percakapan merekapun, Jimin tahu, Yoongi terlihat sedang meninggikan suara jika dilihat dari ekspresi yang sedang ditunjukkan. Pemilik raut manis itu nampak tegang saat lawan bicaranya juga membalas ucapannya.

Dalam diam Jimin masih memperhatikan, tampaknya diskusi mereka berjalan sedikit alot.

.
.
.

"Bagaimana bisa Anda ingin menuntut perusahaan kami, sementara yang salah disini jelas Anda!", Yoongi tak bisa menahan nadanya agar tidak tinggi. Ia nyaris berteriak karena pak Jang terus saja berkelit untuk tetap meminta masa tenggang pembayaran. "Jika memang Anda tidak bisa membayar tunggakan berikut bunga denda yang ada, sebaiknya Anda berinisiatif untuk mencari tempat lain, pak Jang. Perusahaan kami sudah cukup berbesar hati memberi Anda masa tenggang lebih lama dari kontrak Anda selama ini!", ucapnya panjang lebar.

"Direktur Min, kami berjanji akan membayarnya secepat mungkin. Saya hanya butuh beberapa waktu lagi. Harusnya Anda mengerti dengan posisi kami yang saat ini sedang dalam masa sulit", pak Jang tak kalah bersikeras meminta dispensasi. "Saya juga tidak mungkin menahan gaji karyawan apalagi mem-PHK mereka hanya karena saya mengalihkan dana untuk membayar uang muka gedung perkantoran yang lain", pak Jang yang menyadari ucapannya, tiba-tiba terdiam. Wajahnya berubah pucat.

"Oh! Jadi sedari awal, Anda memang tidak berniat untuk membayar tunggakan dengan dalih klien Anda belum membayar jasa pengiklanan Anda?! Padahal Anda sudah menyewa tempat lain untuk perkantoran Anda, begitu?!", cerca Yoongi berapi-api. Sulit dipercaya! Ternyata memang benar dugaannya selama ini. Hilang sudah kesabarannya. "Anda tahu, Pak? Perusahaan kami lah yang seharusnya menuntut Anda dengan pasal penipuan karena Anda mangkir dari tanggungjawab"

"Sudah saya bilang, saya akan membayarnya sesuai kontrak! Bukankah pada diskusi yang terakhir, kita sudah sepakat untuk memberi saya masa tenggang?!"

"—itu karena Anda mengatakan ingin melanjutkan kontrak dengan perusahaan kami!", menghembus nafas kasar, Yoongi menggeleng samar. "Saya rasa jalur hukum adalah cara yang paling tepat untuk..."

"—Cukup, Direktur! Anda tidak bisa mengancam saya lagi!!"

.
.

Jimin sontak berdiri, membelalak tak percaya saat seseorang yang ia kira adalah pak Jang tadi, melemparkan gelas kaca kearah Yoongi. Ia bergegas masuk, menerobos pintu dengan kesetanan.

Tanpa berpikir panjang, Jimin langsung melayangkan kepalan tangannya pada pria paruh baya yang bahkan tidak siap dengan kehadirannya hingga tersungkur di lantai.

Beruntung Yoongi sempat melindungi kepalanya dengan punggung tangan, sehingga yang terluka hanya tangan bukan kepala. Kembali menyadari apa yang terjadi, ia sangat terkejut melihat Jimin yang memukuli pak Jang tanpa ampun. "Presdir!"

Sementara itu, sekretaris pak Jang sudah berlari keluar ruangan mencari bantuan.

"Presdir!—Presdir hentikan!", Yoongi mencoba melerai mereka dengan menarik Jimin menjauh. "Cukup Presdir! Hentikan!—Jimin!?", bentaknya, setengah sadar meneriakkan nama Jimin tanpa embel-embel jabatan. Tepat setelahnya, ia berhasil menarik Jimin menjauh saat pukulan yang terakhir sukses mengenai pelipis kliennya.

Jimin bukan tipe seseorang yang mudah tersulut amarah jika memang lawannya tidak keterlaluan. Ini pertama kali sejak bertahun-tahun terakhir ia tidak terlibat perkelahian dengan orang lain. Orang tuanya selalu mewanti-wanti agar ia menjaga sikap disaat banyak media pasti akan menyorot kearahnya setelah dirinya menjabat sebagai Presdir.

Akankah ini menjadi pengecualian, ketika Jimin hilang kendali karena membela Yoongi?

Yoongi masih berusaha menyeret Jimin keluar, meninggalkan pak Jang yang  babak belur akibat ulah bar-bar Jimin. Ia bahkan melupakan rasa perih ditangannya yang ternyata berdarah.

Amarahnya belum sepenuhnya hilang begitu Jimin beralih pada Yoongi yang menatapinya antara marah yang bercampur takut. "Kita ke rumah sakit sekarang?", ajaknya, ia sadar jika Yoongi terluka. Rautnya seketika berubah khawatir mendapati goresan luka juga ia temukan di pipi pucat Direktur galak dihadapannya.

Masih terkejut dengan apa yang terjadi, Yoongi hanya menurut saat Jimin balik menariknya pergi dari tempat tersebut.

.
.
.
.
.

Keutt~

Ada yang nungguin kah?

Such a Mess || MinyoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang