#4

544 19 0
                                    

'Tadi mau cerita apa?' tanya Kafka setelah sampai di coffee shop yang biasa ia singgahi bila ingin menjajal nikmatnya kopi. Dira tak menggubris. Ia sibuk dengan mencopot kaitan helmnya.
' Susah banget, ' gerutu Dira masih mencoba membuka kaitan helmnya. Kafka melihat tingkah Dira dengan wajah tak heran. Dira memang seperti itu, hingga Dira tidak suka mengkaitkan kaitan helmnya karena menurut Dira susah. Kafka menarik Dira untuk mendekat. Ditatapnya mata Dira sambil tangannya membuka kaitan helm. Dira mengerjapkan mata. Menahan malu, dan tentunya gugup. Untungnya, kaitan helm lepas dengan cepat sehingga Dira bisa langsung minggir dari hadapan lelakinya itu. Kafka tersenyum tipis melihat tingkah Dira. Dira melihat papan nama coffee shop tersebut. Kopi Lawe. Salah satu destinasi yang masuk list wajib Dira untuk ngopi dan menghabiskan waktu, terutama dengan Kafka.
Aroma khas kopi tercium saat langkah pertama memasuki ruangan yang bertemakan minimalis. Segera Kafka memesan dua latte dingin, favorit mereka.
Dira menatap ornamen-ornamen yang ada di dinding tempat kopi tersebut. Aestetik, menurut Dira. Dira suka dengan hal fotografi, editing, dan tentunya yang berbau aestetik. Namun, jelas Kafka jagonya menurut Dira. Dira pun terkadang meminta foto dan bahkan meminta Kafka untuk memfotokan agar terlihat aestetik, dan meng-klaim itu hasil jepretan Dira. Dasar Dira.
Kafka menatap Dira saat Dira menatapi ornamen di dinding, hingga tatapan Kafka menghilang ketika nama Kafka dipanggil oleh kasir.
'Dimana?' tanya Kafka. Dira melihat keseliling.
' Diluar aja,ya? kayanya udah ga gerimis.' ucap Dira sambil memantau cuaca diluar. Kafka mengangguk mengikuti apa kata Dira.
' Bagus ya lampunya. Dira nanti pengen buka tempat kopi biar bisa nongkrong di tempat sendiri aja. Jadi kalo bosen, nggak di kos. Temen-temen yang lain juga pasti nongkrongnya di tempat Dira. Nanti ditembok banyak foto-foto aestetik gitu, terus banyak lampu tumblr. Kaya lawe gini! ' ucap Dira antusias. Matanya melihat sana-sini. Menjelajahi setiap sudut coffee shop itu. Dira sangat suka kopi, terutama Americano. Cukup membutuhkan waktu 3 menit bagi Dira meneguk habis Americano tanpa gula. Kafka pun begitu. Dira dan Kafka sama-sama penggila kopi, atau bisa dibilang coffeeaddict. Namun, tak setiap waktu atau setiap hari ia ngopi, dan pastinya tak mengalahkan rasa cintanya dengan es kampul, ditambah nasi bandeng wedangan.
' Iya, nanti kita buka coffeeshop.' balas Kafka singkat sesambi mengeluarkan handphonenya.
'Kita?' timpal Dira dengan menusukan sedotan ke dalam cup kopi nya.
' Ya. Aku dan kamu. Nanti, kalo udah sukses, kita buka coffeeshop.' balas Kafka kembali. Dira kembali salah tingkah dengan jawaban Kafka.
' Aamiin. ' kembali Dira membalas ucapan Kafka, namun dengan lirih dan tulus.
Ckrek!
Kafka memfoto Dira yang sedang menunduk mengamini ucapan nya tadi. Dira menoleh ke arah Kafka.
' Pasti jelek ' ucap Dira meraih hp Kafka. Kafka mengernyitkan dahi.
' Mana ada jelek. Kalo jelek, ya berarti kamunya. bukan kameranya.' balas kilat Kafka yang dibalas jua tatapan tajam Dira.
' Emang jelek. gini aja suka!'
Dira melihat hasil jepretan Kafka. Bagus, dalam hati Dira.
' Nanti kirim ya! ' ucap ceria Dira. Kafka mengangguk meng-iyakan.
' Tadi mau cerita apa? ' tanya Kafka kepada Dira yang sibuk melihat hasil jepretan Kafka dengan seksama. Dira mendongak menatap Kafka.
' Yang mana? aku lupa ' balas dira lugu. Kafka menghela nafas.
' Bangun tidur tadi kamu bilang mau cerita aku, to. Cerita tentang apa?' perjelas Kafka. Dira berfikir.
' oooooooooo ' jawab Dira kilat.
' O apa? ' timpal Kafka.
' Gatau, lupa. ' ucap lugu nan polos Dira. Kafka berdecak. Kebiasaan, batin Kafka.
' Kafka... ' panggil Dira tiba-tiba dengan tatapan sayunya. Kafka menoleh, menatap mata Dira.
' Hm? ' lembut balasan Kafka. Dira menahan tangisnya. Kenapa ini? Tiba-tiba? Menangis?
Kafka paling benci tangisan. Terutama ketika Dira menangis. Ia sangat membencinya.
Dira menggigiti sedotan kopi dan terus menatap lekat nan sayu Kafka.
' Pengen pulang, ' rengek Dira. Kafka menghela nafas lega. Ia fikir telah terjadi sesuatu walau Kafka tak terlalu panik. Memang akhir-akhir ini Dira sering merengek ingin pulang. Ia bilang, ia sangat rindu mamanya. Tak kali ini saja, sering Dira menangis didepan Kafka secara tiba-tiba karena rindu dengan mama nya yang jauh disana. Dan kebetulan, Dira anak tunggal. Papa nya pun kerja di luar pulau.
' Iya, nanti pulang. sama aku, ya? Jangan nangis. ' usap Kafka lembut menghapus air mata Dira yang perlahan membasahi pipi.
Dira menyukai Kafka saat Kafka menyeka air matanya. Kafka lembut. Sangat penyanyang. Dira bisa merasakan betapa tulusnya Kafka walaupun raut wajah Kafka selalu jutek dan cuek juga tatapannya tajam.
Dira mengangguk. Dira memang sangat ingin pulang. Tapi disisi lain, ia tak mau jauh dari Kafka walaupun sekadar pulang ke tempat ia di besarkan.
' Kafka jadi ikut emang? ' tanya Dira masih dengan tatapan sayunya. Kafka mengangguk mantap.
' Kalo gitu.. besok pulang ya? Naik travel, kan lusa mama ulang tahun, jadi kita kasih surprise gitu. ' pinta Dira tiba-tiba.
' Terserah, aku ikut aja. ' balas santai Kafka seperti biasanya.
' Emang dibolehin mama papa Kafka?' tanya Dira penuh keraguan. Kafka menatap Dira.
' Boleh. emang siapa yang boleh larang aku?' tegas Kafka. Ya, Kafka memang tidak bisa dilarang. semakin dilarang, semakin ia nekat.

Berjam-jam dua sejoli menghabiskan waktu di tempat kopi dibumbui cerita dan tawa. Baik cerita suka, maupun duka. Bahkan... membahas tentang masa depan.
Masa depan?
Tentu. Kafka dan Dira kerap membahas masa depan. Merangkai indahnya tujuan yang akan dicapai bersama nantinya. Mulai dari dimana,kapan, apa, bagaimana. Segala macam hal yang berkaitan dengan masa depan mereka bahas berdua.
Bahagia? tentunya. Kafka dan Dira sudah dewasa, dan itu perlu difikir sejak dini. Apalagi, Kafka sudah mulai memasuki semester 6. Waktunya fokus untuk masa depan. Kafka siap? Sangat. Namun, yang kadang terlintas dibenak Dira,
Apakah itu pasti semua akan terjadi?
Jika mengingat itu, Dira secara langsung menjadi sedih dan berfikiran tidak-tidak. Kafka benci pemikiran Dira yang seperti itu. Kafka segera mengingatkan Dira dan selalu menyemangati Dira bahwa takdir Tuhan yang buruk bisa di ubah, yang baik pasti terlaksana. Namun tentunya, juga tergantung pada dua insannya.

Jika memang memiliki tuju dan rasa yang searah,
Takdir Tuhan mengikuti kemanapun arah langkah.
Dengan catatan,
'Jika.'

KAFKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang