Setelah kejadian gila kemarin, tak ada perubahan yang signifikan pada kehidupan Kafka. Berhari-hari ia mencoba membiasakan diri dengan suasana yang memang 'agak' berbeda dari sebelumnya. Tak jarang kerabatnya bertanya akan kronologi serta kebenaran unggahan di akun sosial media beberapa waktu lalu. Namun, Kafka enggan menjelaskan. Mengingat saja tak sudi, apalagi menjelaskan.
Untung seribu untung, kerabatnya pun tak langsung memercayai kejadian gila nya. Mereka mengerti Kafka betul bahwa ia tak mungkin melakukan seperti itu. Tapi, tak tahu akan apa yang ada di pikiran Dira sekarang. Dira terang-terangan menyaksikan unggahan Kafka yang tentu nembuat Dira shock. Kafka sudah menduga itu dan ia sudah melakukan ancang-ancang untuk menghadapi hal selanjutnya.
Maka dari itu, ia berniat untuk memulai obrolan kembali dengan Dira dan berusaha mengajaknya bertemu walau sebentar, sama seperti apa yang Dira lakukan dahulu. Kafka berusaha mencari tahu Dira dimana, dan bagaimana kondisinya.
Tak ada hasil. Dua Minggu setelah Dira membalas pesan Kafka, ia tak lagi muncul. Dalam kasus ini, Kafka tak mungkin menanyai lewat Mama Dira. Ia tak mau membuat Mama Dira berpikiran yang tidak-tidak walaupun kemungkinannya sangat kecil.
Kafka hanya mengantisipasinya saja.
Kafka kian menunggu kehadiran Dira dengan sabar, pintanya kepada Tuhan agar segera ada kabar.
Kedai kopi, wedangan, bahkan mall Kafka itari , berharap ada sosok Dira yang tak sengaja ia temukan.Kafka seperti biasa, menghabiskan waktu nya di WW yang pukul 19.00 hari itu belum terlalu ramai seperti biasa. Kafka hanya diam sedari tadi. Mas Deri melirik Kafka dari mejanya, berusaha mencari tahu apa penyebab Kafka seperti itu. Mas Deri bangkit dari duduk, dan menghampiri Kafka yang kini menatap layar hitam ponselnya.
' Cah, ' ucap Mas Deri yang dibalas dengan senyuman tipis Kafka.
' Tumben diem aja, kenapa to? ' tanya Mas Deri menatap Kafka yang kembali menatap layar ponselnya. Kafka hanya menghela nafas berat, bak ia tak sanggup untuk menceritakan. Mas Deri paham, ia menatap lembut Kafka.
' Sebentar lagi ada hal yang ga disangka-sangka dan jangan berani menyangka-nyangka.' ujar Mas Deri. Kafka mendongak menatap Mas Deri.
' Maksudnya?' tanya Kafka yang menunjukan ekspresi bingung. Mas Deri membalas tatapan Kafka santai namun serius.
' Entahlah, tunggu aja.' jawabnya santai. Kafka berusaha mendengar dan menyimpan dengan baik wejangan yang Mas Deri katakan barusan.
' Yo tangi yo. Los hor rak rewel, semangat le. ( Yo bangun yo. Los hor nggak rewel. Semangat dek.) ' Mas Deri bangkit dan menepuk bahu Kafka yang menandakan bahwa Kafka harus bangkit. Kafka mengangguk dan menatap punggung Mas Deri yang berjalan kembali ke arah meja karena ada pelanggan yang ingin membayar.
Kafka menatap lurus arah dinding yang bertuliskan Warung Wijaya dengan model gambar graffiti. Seketika, ia merasa gejolak untuk bangkit dari dalam dirinya kian menjalar keseluruh tubuh, hingga membuatnya kembali semangat.
Benar kata Mas Deri, ada hal indah yang menunggu Kafka. Kini, saatnya Kafka untuk bangkit. Toh, perlahan akan kembali seperti semula dan bahkan jika Tuhan meridhoi, akan ada hal yang lebih indah ketimbang kemarin.
Segera, Kafka membuka ponselnya. Menemukan beberapa chat yang belum sempat ia balas dari kemarin.
Matanya tertuju pesan masuk dari Giri, kawan Kafka yang kebetulan mengerti tentang Dira.
' Kaf, Dira di Stasiun Balapan. Baru turun dari kereta, pake kaos putih. Aku tau kamu cari Dira.'
' Ga sengaja kemarin aku nguping, haha'
isi pesan Giri. Kafka merasakan senang akan info dari kawannya yang sebenarnya tak terlalu dekat. Kafka membalas pesan Giri dan segera menancap gas menuju kos biru jelek, tempat pasti Dira beristirahat.
Kafka tak henti-hentinya mengembangkan senyum saat perjalanan menuju kos Dira. Ia merangkai segenap kata-kata agar ia tak kaku saat bertemu Dira kembali untuk pertama kalinya.
Kafka tak langsung berhenti didepan kos Dira. Ia membuat jarak antara kendaraan yang baru saja Dira tumpangi.
Tak lama, sosok yang telah lama ia nantikan kabarnya turun dari mobil.
Ia tertegun. Matanya membelalak kaget. Lidahnya seketika kelu. Ia tak bisa berucap apapun.
' D-dira..? ' gumamnya lirih menatap Dira dari kejauhan.
Ivana Nadira yang baru saja turun jauh berbeda dengan yang terakhir kali ia lihat. Dira yang dahulu tampak segar berisi, ceria, mata sipit kecil yang dengan bulu mata lentik, serta rambut indah panjang bergelombang. Namun, yang dihadapan sangat bertolak belakang walau tak semuanya. Badan yang kian kurus kecil, rambut hitam legam, mata sayu kian tampak hanya segaris dari kejauhan, dan.. kulitnya memucat.
Kafka tak berkedip sedikit pun.Apakah ini Dira? batin Kafka.
Segera Kafka menyalakan kembali motornya dan berniat melewati Dira yang kini sedang menunggu si sopir menurunkan barang bawaannya. Kafka menancap gas dengan kecepatan rendah, matanya perlahan melirik kearah Dira berdiri.
Ya, itu Dira. Gadis yang ia tunggu selama beberapa pekan terakhir. Dira mungkin tak menyadari kehadiran Kafka karena mengenakan hoodie dan masker, serta kaca helmet yang kian menutupi wajah Kafka, terlebih, Kafka hanya lewat sepintas.
Diperjalanan menuju kembali ke WW Kafka tak seceria dan semangat saat menuju kos Dira. Ia hilang fokus. Matanya perlahan menyayu. Otaknya terus berfikir tentang Dira. Ia tak menyangka perubahan sangat terjadi pada Dira.
Memang, sudah sejauh itu jarak yang ada pada Kafka dan Dira.
Kafka kembali sampai di WW dengan pandangan serta pikiran kalut. Arif melihat Kafka yang begitu gontai langsung menghampiri Kafka yang duduk di sofa.
' Kenapa lagi?' tanya Arif menatap Kafka. Kafka terdiam, ia benar-benar hilang akal.
' Kaf?' tanya Arif untuk yang kedua kali. Masih tak ada respon.
Arif melambaikan tangan didepan Kafka yang kemudian hanya dibalas lirikan oleh Kafka.
' Dira?' ucap Arif. Kafka menoleh, 'Ya.' ia mengangguk.
' Kenapa?'
Sebelum pertanyaan Arif terjawab, Giri yang baru saja datang dan sebelumnya mengabari Kafka akan kehadiran Dira langsung merangkul Kafka.
' Baru ketemu Dira dia,bro!' ujar Giri kegirangan. Mas Deri yang mendengar ujaran Giri mendongakan kepala, memastikan keadaan Kafka yang masih duduk termenung. Arif menatap Giri heran.
' Yakin? Terus dia kenapa gini?' tanya Arif kearah Giri yang kini tengah membenarkan tali sepatu, lalu Giri memposisikan duduknya senyaman mungkin.
' Lah mungkin dia...'
' Ya. aku ketemu Dira.' ujar Kafka tiba-tiba yang memotong ucapan Giri. Giri mengangguk bangga meng-iyakan ucapan Kafka.
' Aku loh yang kasih tau,' ucapnya bangga dengan menepukan dada.
Mas Deri mempertajam pendengaran atas percakapan ketiga pengunjung setianya sedari tadi di meja kasir. Kafka mengepalkan tangan, yang membuat Giri memberhentikan aksinya. Giri melirik Arif yang dibalas dengan gelengan.
' Dira beda.' kembali ucap Kafka menatap kedua temannya bergantian. Tatapan Kafka kosong. Tak pernah Giri dan Arif melihat Kafka seperti ini.
' Beda nya? Dia sama cowo baru?' tanya Giri. Kafka menggeleng.
' Terus?' timpal Arif.
Kafka melirik Mas Deri saat Arif melempar pertanyaan nya.
' Gapapa.' Kafka melempar senyum pahit kearah Mas Deri. Mas Deri seakan paham kode Kafka hanya mengangguk. Arif dan Giri yang tak paham apa maksudnya hanya menatap bingung kearah dua orang yang berjarak.
Bunyi ponsel berdering, yang ternyata itu ponsel Arif. Arif segera bangkit dan meminta izin untuk keluar sebentar. Kafka dan Giri mengangguk mengiyakan.
' Dira kenapa?' kembali tanya Giri dengan nada lirih.
' Sakit.' jawab Kafka singkat. Giri mengernyitkan dahi.
' Sakit? sakit apa?' kembali tanyanya.
' Entah. aku belum tanya dan belum berani tanya. Toh, keadaan ga memungkinkan.' jawab Kafka. Giri mengangguk dan menepuk pundak Kafka.
' Bro, remember. Beautiful plan's are waitin' for you.' ucap Giri yang kemudian bangkit dan segera berpamitan kepadanya dan juga Mas Deri. Kafka tersenyum sebisa mungkin.Malam kian terasa panjang, membuat benak Kafka sebenarnya muak mengapa disaat ia jatu waktu terasa lama, dan ketika ia bahagia, berlaku sebaliknya. Kafka menatap langit malam kala itu dengan penuh tanya.
Ada rencana apa?
Akan ada apa?
Siapa?
Bagaimana alurnya?
Sungguh, Tuhan begitu sempurna menyiapkan segala alur untuk umat-Nya.
Tak ada yang bisa mengira,
Menyangkal,
...dan menyangka.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAFKA
Romance" Tak perlu meminta untuk menetap. yang sekadar singgah akan pergi, yang tersesat segera mencari jalan, yang dalam perjalanan akan segera datang. Aku, sedang dalam perjalanan pulang, singgah, hingga menujumu, rumah. ''