#23

110 3 0
                                    

Kafka mendudukan dirinya di kursi dekat jendela kedai kopi sembari menikmati bau khas kopi aceh yang menjadi favoritnya dikala hujan membasahi bumi. Bau aroma khasnya menggelitik indera penciuman Kafka yang agak terganggu akibat serangan flu dadakan pagi tadi. Tak ada alasan mendasar mengapa kali ini ia memesan kopi panas. Hanya saja ia ingin kembali merasakan hangatnya seduhan kopi alami.
Kafka tak bersama Yayak seperti biasanya, atau Nando dan Cika, pun tak bersama Lucy atau kawan lainnya. Ia ingin menikmati waktu nya sendiri. Berusaha berdamai serta bercengkrama dengan dirinya sendiri.
Bagaimana dengan kabar Dira? Oh, Kafka hampir belakangan tak menanyakan kabarnya walau mereka masih berkomunikasi dengan baik. Dipastikannya Dira sehat, dan tak ada apa-apa. Hanya saja, beberapa dari sikap dan sifatnya mulai tak seperti biasa. Mungkin karena Dira sudah mulai terbiasa akan respon Kafka dan atau karena Dira sudah mulai bisa asik dengan dunianya, sama seperti Kafka. Walau terkadang, masih saja Dira mengatakan rindu atau bahkan mengajak untuk bertemu.
Kafka mengadukan kopi dengan sendok yang telah sedari tadi berdiam di dalam gelas, berharap kopi yang ia pesan tadi semakin larut dalam air.
' Kafka! ' suara gadis menggelegar di seluruh penjuru ruangan hingga manusia yang merasa terpanggil namanya pun terbuyar pikirannya. Kafka menoleh, melihat sosok yang ia kenal baik selama 10 tahun belakangan.
' Ey,' jawabnya santai sembari mengeluarkan senyuman seramah mungkin. Dina, nama kawan baiknya. Kawan sedari masih duduk di sekolah dasar.
' Ih apa kabar, kangen tau! Sombong nih ya!' ucap Dina sesambi duduk didepannya. Dina memang seperti itu, selalu heboh. Kafka masih tersenyum akan kelakuan sahabatnya tersebut.
' Oh iya kenalin nih, Naya namanya. Dulu dia satu sekolah loh sama kita. Aku aja kenal Naya baru kemarin-kemarin,' ucap Dina kembali sambil mengenalkan teman yang ia bawa. Kafka menatap dan menyalami teman yang barusan Dina kenalkan.
Naya? batin Kafka. Kafka serasa tak asing dengan nama tersebut. Naya menatap Kafka dalam, bahkan bisa dibilang penuh makna.
' Masih inget aku ga?' ucapnya. Kafka masih berfikir, mencari tahu nama sesosok yang kini berada di depannya.
Serasa di sambar petir di siang bolong, Kafka merasa dirinya seperti dikutuk. Darahnya berdesir dan telinganya merasakan panas.
Naya, orang yang pernah ia sukai semasa masa dulu. Pun orang yang pernah membuat hatinya patah untuk pertama kali.
' Apa kabar?' ucapnya kembali sembari tersenyum manis. Senyuman yang Kafka benci. Kafka tertegun melihat Naya. Cantik, dan tangannya lembut seperti tangan Dira.
Kafka membuyarkan fikirannya dan segera melepaskan tangan mereka yang sedari tadi saling berjabatan.
' Duduk.' ucap Kafka mempersilahkan.
' Gimana kabarmu,kaf?' ucap Naya sembari memainkan tali tasnya.
' Baik, kamu?' balas Kafka. Kafka meminum kopi nya agar ia tak terlalu larut dalam suasana yang seketika canggung. Dina berdehem, seperti paham akan situasi yang terjadi.
' Emmm. Kaf, cewemu mana? Perasaan kamu kemarin update sama cewe kan?' ucap Dina asal demi memecah kecanggungan.
' Cewe yang mana nih?' ucap Kafka dengan nada candaan. Dina terkekeh mendengar ucapan Kafka, memang benar adanya Kafka belakangan sering mengunggah video atau foto bersama kawan wanitanya. Ingat, hanya sebatas teman.
' Lho, Kafka udah punya cewe to? Dikira Kafka masih sama kaya Kafka yang dulu. Huuu.' timpal Naya dengan tiba-tiba.
Kafka yang dulu? kembali batinnya menggumam.
' Iyalah. Secara gitu kan Kafka banyak yang suka, apalagi Kafka yang sekarang tuh berubah banget, Nay. Tau ga si? SMA dia sempet gendut loh! Pas SMP juga, tapi masih aja ada yang suka. Heran.' panjang lebar ucapan Dina diikuti dengan gelengan kepala. Tak terasa, Naya diam tertegun mendengar perkataan Dina.
' Hahaha namanya aja Kafka. Ya jelas lah.' ucap Kafka dengan penuh rasa bangga. Kafka melirik sekilas Naya. Naya yang merasa dilirikpun membalas lirikan Kafka, dan tersenyum simpul.
' Cewe yang ituloh, Mmm..' kembali Dina membahas perihal wanita yang dekat dengan Kafka.
' Yang kemarin ulang tahun?' tebak Kafka. Dina menggeleng.
'Bukan, yang ituloooh..' kembali Dina menggantungkan ucapan dengan gelagat berfikirnya.
' Yang di bar?' kembali Kafka menebak. Dina pun memberi respon yang sama.
' Yang rambut panjang apa ya, rambut coklat. Yang senja senja gitu.' ucap Dina.
Kafka paham akan maksud Dina. Dira yang ia maksud. Kafka tersenyum simpul atas clue yang Dina berikan.
' Oh,' balasnya singkat.
' Oh, apa?' kembali Dina bertanya. Naya diam diam menatap Kafka, seakan mencari tahu siapa gadis yang Dina dan Kafka bicarakan.
' Dira namanya.' balas Kafka kembali.
Ia tiba-tiba teringat akan wajah Dira. Wajah yang beberapa hari lalu bertemu dengannya. Kafka memalingkan wajah kearah jendela dan kembali memainkan sendok, berusaha mengingat setidaknya secuil akan sosok yang baru saja ia katakan.
' Anak mana?' tanya Dina yang semakin penasaran akan Dira. Kafka menatap Dina, tanpa menatap Naya.
' Anak Fakultas Hukum, maba dia.' balas nya kembali.
' Wih, Kafka suka bocah ternyata, parah!' ucap Dina dengan gelengan serta decakan mulut seakan ia terheran dengan jawaban Kafka. Entah mengapa, Naya merasa sedih mendengar ucapan Kafka.
' Pacarmu?' tanya Naya tiba-tiba. Kafka melihat Naya. Kafka menggeleng.
' Lalu?' kembali tanyanya.
' Teman.' balas Kafka enteng.
' Yakin?' timpal Naya. Dina mengernyitkan dahi kearah Kafka, seakan tak percaya atas jawaban Kafka.
' Tanya aja anaknya sendiri. Toh, jika ia pacarku, aku bawa dia kesini dan kenapa aku harus sendiri.' balas Kafka.
' Iya juga sih ya,' Dina mengangguk, seakan paham akan apa yang Kafka ucapkan. Naya menatap Kafka dalam, entah apa yang ia fikirkan.
Naya lantas mengangguk, seakan ia percaya atas apa yang Kafka katakan. Toh, memang sedari dulu Kafka jujur, saat bersama Naya pun Kafka memang seperti itu. Selalu mengatakan yang sebenarnya.
Entah mengapa, Kafka merasakan atmosfer di kedai kopi malam itu berubah perlahan. Awal yang mereka canggung, kian lama kian mencair. Bahkan, Kafka tak segan memberi nomor nya saat Dina meminta tadi sebelum pulang. Kini, tinggal Kafka dan Naya yang duduk berhadapan. Tawa dan canda menyelimuti dua insan yang dulu memiliki rasa yang sama.
' Pulang sama siapa?' tanya Kafka disela pembahasan asik mereka.
' Naik ojol, lagian deket juga.' balas Naya.
' Bareng aja, deket kan katamu.' ujar nya.
' Boleh aja, tapi cewemu ga marah nih? Hahaha' ucap Naya kembali. Kafka mengernyitkan dahi.
' Cewe? dibilang cuma temen.' balasnya enteng.
' Semua kan berawal dari temen.' timpal Naya. Kafka terdiam, tak berniat membalas perkataan Naya.
' Ayo pulang, udah malem.' balasnya sembari memasukan barang-barang yang sempat ia keluarkan dari tasnya. Naya mengangguk mengiyakan ajakan Kafka. Tanpa sadar, Naya memfoto Kafka dari arah belakang, entah untuk apa. Kafka merasa Naya yang dulu hilang, kembali muncul dan memberi secercah ingatan atas apa yang pernah ia buat kandas.
Disepanjang arah pulang pun di isi dengan canda tawa, rintik hujan menemani perjalanan menuju rumah Naya. Kafka tak mengambil gas cepat, karena ia tak mau penumpang yang ia boncengi sekarang kebasahan. Naya tanpa sadar memeluk Kafka, dan Kafka pun tak risih akan hal itu. Ia seakan larut dalam suasana.

Suasana dimana sepuluh tahun lamanya hilang dan kini muncul disaat Kafka dalam keadaaan dilema.
Sosok gadis yang pernah memberi dan diberi hati yang kembali hadir dikala rintik hujan jatuh membasahi.
Tak bisa ia pungkiri jika terkadang ia rindu akan Naya walau tak ada rasa lebih seperti dahulu, terlebih makin kuat rasa rindunya saat ia berusaha menjelajah dan mencoba tenggelam dalam pikirannya akan masa dahulu sebelum ia bertemu dengan yang lain.
Kafka dan Naya menikmati segala pembahasan, sampai dimana Naya harus pulang untuk merehatkan badan. Tak lama, Kafka langsung pergi pamit dan segera pergi ke wedangan karena sebelumnya ia dikabari Nando yang kebetulan berada di daerah dekat rumah Naya.
Kafka menancap gas dengan kecepatan biasa, tak terlalu lambat dan tak terlalu cepat. Ia menikmati segala rintik yang jatuh mengenai tubuhnya, membasahi dirinya dengan segala rasa dan tanya.
Ia tak tahu apa yang ia rasa dan pikirkan.

Apakah ia orangnya?
Apakah ia yang selama ini kutunggu?
Mengapa sekarang?
Mengapa harus ia?
Mengapa?
Bertubi-tubi pertanyaan muncul diotaknya. Tak karuan. Kafka menggelengkan kepala, mencoba memfokuskan diri agar ia tak larut dalam pemikiran tak penting.
Kafka segera menancap gas lebih cepat agar ia segera sampai menemui Nando, dan menghapus pikirannya tentang apa yang barusan ia pikirkan.

KAFKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang