#21

105 3 0
                                    

Adzan berkumandang tepat setelah Kafka memasukan motornya ke dalam garasi. Orang-orang dirumah pun telah terbangun dari tidurnya dan bersiap untuk beribadah. Kafka menyelonong masuk tanpa mengucap sepatah kata. Pun orang-orang yang melihat Kafka hanya diam, seolah tak melihat atau menyadari kedatangan Kafka. Kafka merebahkan diri di ranjangnya yang luas, mencoba menenangkan diri dan pikiran atas apa yang telah ia lalui.
Kafka menendang bantal di sebelah kaki kanan dan menggerakkan kakinya gusar.
' Ya Allah,' ucapnya frustasi. Ia mengambil ponsel di dalam saku, menampilkan nama seseorang yang barusan ia ceramahi.
' Udah sampe rumah?' pesan dari manusia diseberang sana yang tentunya meng-khawatirkan manusia di sebrang lainnya yang sedang frustasi.
' Udah, lagi tiduran ini.' balasnya. Kafka kembali menaruh ponsel di atas ranjang, berdampingan dengan dirinya.
Ia memejamkan matanya dan larut dalam suasana. Ia sangat lelah. Matanya tak kuasa menahan kantuk dan sesegera mungkin Tuhan Yang Maha Baik menidurkan salah satu makhluknya yang kini tengah dilanda gundah.
***********************************************
Malam ini, mungkin malam bersejarah bagi Kafka, juga Dira. Kafka akhirnya mengiyakan ajakan Dira yang sebelumnya terus menerus mengajaknya bertemu. Sebelum bertemu Dira, ia sempatkan bertemu dengan teman-temannya. Kebetulan, ia diajak Lucy yang sedang berulang tahun. Lucy merupakan salah satu teman Kafka yang kebetulan juga dikenal Dira. Kafka mengunggah foto Lucy di media sosial, seperti biasa. Tak ada maksud apapun, hanya sebatas ingin mengucapkan.
Setelah bertemu lucy pun Kafka bertemu dengan teman-teman nya yang lain di Beranda Kopi. Membahas segala hal dengan canda tawa, bernyanyi riang dengan petikan gitar, dan hal lumrah  sebagaimana umur seusianya saat berkumpul dengan kawan.
Pukul 23.00 , Kafka beranjak dari Beranda dan menemui Dira yang telah ia janjikan sebelumnya akan bertemu di Wargitos, tempat dimana ia biasa menghabiskan waktu dulu bersama Dira. Entah apa yang membuat Kafka mengiyakan ajakan Dira kali ini. Mungkin Tuhan mencoba meng-akurkan perasaan dan realita Kafka.
Terlihat, Dira duduk sendiri, menepi dari gerombolan lain. Kafka menatap Dira dari jauh, berusaha sebiasa mungkin. Mau tak mau, Kafka juga tak tega membuat Dira 'mengemis' perhatiannya.
Wajah Dira terlihat gugup saat Kafka menghampiri. Kafka menatap sedatar mungkin, sama seperti apa yang ia rasakan. Kafka
' Gimana?' ucap Kafka sambil menarik kursi di hadapan Dira. Dira mencoba tersenyum.
' Apa kabar?' balasnya.
' Cuma mau tanya itu aja?' ucapnya dengan membenarkan posisi duduk senyaman mungkin.
' Enggak, banyak yang mau Dira omongin.' balasnya lirih. Kafka menatap Dira.
' Apa?' cueknya.
' Kangen,'
' Hah?' tatapnya.
' Gapapa, gajadi.' balasnya. Kafka menatap lawan bicaranya menunduk. Kafka mengambil sebungkus rokok di waistbag nya. Membakar dengan menghisapnya santai.
' Kafka..' ucap Dira masih dengan menunduk. Kafka masih menatap Dira.
' Kenapa kita jadi gini ya..' ucapnya kembali namun kini ia telah mendongakkan kepala.
' Gini gimana?' balas Kafka santai.
' Ya gini, berubah semua.' Kafka kembali menyesap putung rokoknya, menghembuskan asap kearah lain agar tak terkena Dira.
Kafka membenarkan posisi senyaman mungkin.
' Entah. wajar,'kan? tanyanya yang disambut gelengan.
' Tapi kenapa sampe segininya..' kembali tanyanya.
' Jadi aku disuruh kesini buat denger keluhanmu?' tatap Kafka malas.
' Semua berproses, dir. Kalo kamu mau sesuatu yang indah, usaha. Dikira aku suka gini? engga. Aku berusaha sebisa mungkin untuk ga larut dalam suasana gini, cuma ya mau gimana. Rencana tuhan memang gini, kita di haruskan berproses untuk sesuatu yang indah nantinya. Gapaham juga omonganku kemarin?' balas Kafka.
Dira terdiam mendengar jawaban Kafka. Sangat tak tega hati Kafka sebetulnya melihat Dira yang seperti sekarang. Terlihat sangat kacau.
Hening. Tak ada percakapan diantara mereka. Hanya gelak tawa dari ruang lain yang mengisi pergantian hari. Sesekali, Kafka meng-check ponselnya demi menghilangkan rasa bosan dan tak betahnya.
' Pulangmu ini kemana?' tanya Kafka memecah keheningan.
' Kos bila, tadi ada bila disini, tapi dia pergi sama Aldi.' jawabnya dengan suara serak. Kafka mengangguk.
' Kafka udah makan?' tanya Dira.
' Bukan urusanmu.'
' Masih ada yang diomongin lagi?' sambungnya dengan nada senetral mungkin. Dira mengangguk pelan.
' Ya apa? omongin. Waktuku ga banyak.' balas Kafka.
' Bingung mau ngomong apa dulu..' ucap Dira masih dengan nada lirih.
' Ya apa aja, bebas. Aku dengerin.' kembali balasnya.
Kafka menatap Dira yang menatapnya. Kafka terdiam, tak lama ia melihat Dira yang begitu ia rindukan sebenarnya.
' Abis berantem?' tanyanya tiba-tiba. Kafka tertegun.
' Haha, keliatan ya?' balasnya enteng. Dira mendekatkan wajahnya kearah Kafka. Dira mengamati wajah Kafka yang memang ada sedikit lebam di wajahnya karena beberapa hari lalu.
' Kenapa berantem? Dimana? Kok bisa?' tanya nya bertubi-tubi masih dengan mengamati wajah Kafka.
' Ya suka-suka. Gausah kepo.' jawab Kafka secuek mungkin. Lagipula, untuk apa Dira tahu hal itu. Toh, tak ada kaitan dengan dirinya.
Dira menghela nafas, ia tahu Dira lelah mendengar jawaban Kafka yang itu-itu saja.
Waktu kian berjalan, tak jarang Kafka menciptakan tawa diantara mereka yang dibalas gelak tawa renyah dari seorang Dira. Semburat merah merona pun terlihat jelas di pipi Dira tatkala Kafka mengucapkan sepatah dua kata yang mungkin membuat Dira rindu akan sesosok Kafka.
Malam kian larut, namun tak membuat Kafka dan Dira ingin cepat beranjak pergi. Pembahasan mereka pun acak. Terkadang sedih, lucu, menakutkan. Apapun itu, yang secara perlahan membayar semua kenangan yang terlewatkan.
' Ayo pulang, mau subuh ini.' ajak Kafka. Dira mengiyakan. Kafka segera beranjak dari tempat duduknya namun ia berhenti seketika Dira memanggil namanya. Dira mendekat, memperhatikan wajah Kafka. Dira menyalakan senter di ponselnya mengarah ke wajah Kafka yang terlihat beda dari sebelumnya.
' Sakit? ' tanya Dira lembut.
' Enggak lah, gitu aja sakit. Emang kamu.' jawab Kafka dengan nada mengejek. Dira mengelus rambut Kafka dan tak sadar Kafka hanyut akan momen tersebut dalam beberapa detik.
' Rambut bebek,' ucap Dira lirih. Kafka mendiamkan kegiatan Dira, membiarkan Dira membayar rasa rindu terhadap dirinya.
Sebisa mungkin Kafka menahan rasa rindu yang sebenarnya bergejolak. Ia tak ingin memeluk Dira, entah mengapa.
Tapi sayang, pertahanan nya runtuh seketika saat Dira menatap nya lembut. Kafka memeluk Dira hangat dan penuh kasih sayang. Pelukan yang mencoba menjelaskan bahwa rasa sayang Kafka tak bisa dikatakan dengan kata-kata. Dira membalas pelukan Kafka erat, bahkan sangat.
' Dira kangen, tapi jadi pengen nangis.' ucap Dira ditengah hangat pelukan Kafka. Kafka tak mau makin sulit menahan rindunya, yang penting, ia telah memerdekakan hatinya dan hati Dira dengan pelukan walau sekejap. Kafka melepas pelukan Dira dengan tawaan.
' Hahaha cengeng.' ucapnya tulus. Dira tak bisa menahan tangisnya. Tangisnya pecah yang diiringi tawaan jua. Tawaan yang menandakan bahwa Dira senang  sekaligus sedih.
Kafka mengelus rambut Dira lembut.
' Kamu pasti bisa.' ucap Kafka tepat dibola mata Dira. Dira mengangguk. Kafka yakin suatu saat nanti ada hal indah yang akan terjadi diantara mereka, bahkan lebih dari ini.

Singkat, namun penuh makna. Rindu pun perlahan terbayar. Bersabarlah, pasti kita akan bertemu lagi. Berdoalah, agar Tuhan segera membalikkan suasana dan kembali berpeluk mesra seperti sedia kala.

KAFKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang