#22

118 3 0
                                    

Hari demi hari ia lewati sesuai rencana Tuhan walaupun ia tak tahu persis apa saja yang tertera di skenario-Nya. Yang jelas, ia diminta menjadi daun yang diharuskan bebas terbawa angin, lalu jatuh di aliran air.
Kafka menjalani hari-hari nya dengan perasaan yang sama. Biasa saja, dan tak ada yang berubah. Hanya saja tak ada lagi Dira disampingnya.
Kafka tak mau larut dan ambil pusing atas apa yang telah terjadi, ia telah pasrahkan semuanya kepada 'Dia'.
Yang Kafka tahu dan mau, Kafka ingin memerdekakan dulu dirinya yang sempat ia kubur dan hampir hilang. Kafka tak mau menjadi Kafka yang dahulu, yang hanya bisa memendam. Kafka ingin mencoba bangkit kembali dan menjadi sosok yang bisa menginspirasi. Kafka ingin menjadi manusia yang bisa memanusiakan manusia nantinya. Saat ini, ia lebih mementingkan dirinya sendiri daripada orang lain. Jika ia telah menemukan apa yang ia inginkan, dengan otomatis ia pasti akan pulang dan mencari apa yang telah ia sampingkan. Ia akan kembali dengan segenap harapan juga segudang prestasi.
Perihal rasa, sudah ia katakan bahwa ia kembalikan kepada pemilik-Nya. Ia berserah atas apa yang akan terjadi. Bukan berarti Kafka menyerah, hanya saja ia tak mau memaksakan keadaan, pun bukan berarti Kafka tak berusaha, ia selalu mengusahakan apapun, termasuk rasa, walau secara tersirat dan hanya dalam diam dan Do'anya.
Perasaan Kafka masih sama, hanya saja, ia kini tengah menggunakan topeng agar orang lain tak menghancurkan apa yang akan ia kejar. Jika ia yang Kafka tuju masih mau dan bisa bersabar, itu bagus. Berarti Tuhan meng-iyakan mereka bersama dan sesuai dengan permintaan Kafka. Jika tidak? Ya sudah, setidaknya ia pernah berusaha dan Tuhan menjawab nya dengan waktu.
Komunikasi Kafka dan Dira kian membaik, walaupun terkadang Kafka masih bersikap tak enak terhadap Dira. Tak ada yang berubah dari Dira. Masih saja cerewet. Masih dengan segudang rasa hangatnya. Dira yang ia kenal perlahan berubah menjadi lebih baik, menurutnya dibandingkan beberapa hari lalu. Walau terkadang masih saja menye, namun Kafka memaklumi itu. Dira juga manusia, yang sejatinya perlu waktu untuk menemukan pencapaian.
Tak bisa dipungkiri bahwa terkadang dibenak Kafka terlintas tentang Dira. Sedang apa, dimana, dan bagaimana keadaanya. Itu yang membuat Kafka gusar. Namun, ia tak berniat sedikitpun menanyakan hal 'menye' yang sengaja ia jauhi. Ia pun yakin bahwa Dira baik-baik saja, terlebih banyak yang menyayangi dan menjaga Dira.
Jelas, seperti beberapa jam lalu. Ia melihat unggahan video singkat Dira di sosial medianya sedang berada di toko buku daerah Slamet Riyadi bersama Ardi, teman sekelasnya yang juga dekat dengannya. Tak ada rasa cemburu, hanya saja ia merasa aneh. Dira yang dulu tak mau pergi dengan lelaki lain selain dirinya, dan Nando. Pun jika pergi, ia pasti memberitahunya. Namun kini tak lagi.
Ah, lagipula Kafka tak perduli. Toh hak nya begitu. Kafka pun tak melakukan hal yang serupa, mengapa ia memikirkan hal tak penting tadi? Aneh.

Perasaan Kafka terhadap Dira bisa dibilang masih sama, tapi tak bisa dipungkiri juga jika memang sedikit berubah. Berubahnya pun tak drastis. Dira masih Dira. Kafka pun masih Kafka. Tak mudah melupakan perasaan. Munafik jika ia mengatakan atau menyangkal hal tersebut.
Dira? entahlah. Mungkin saja masih sama, atau bahkan sudah berubah karena adanya sosok Ardi sebagai sosok pengganti dirinya untuk 'sementara.' Kafka tak mau memikirkan hal yang tak penting. Ia mengalihkan pemikirannya dengan berkumpul bersama kawan-kawannya. Bar, kedai kopi, angkringan, ia singgahi. Kafka pun perlahan semakin dekat dengan Lucy, walau ia tak menyimpan perasaan apapun. Mungkin, karena intensitas mereka yang cukup sering bertemu. Jika bertanya bagaimana dengan sesosok Lucy, Lucy adalah kaka tingkat Kafka mulai saat ia sekolah duduk dibangku SMA. Lucy cantik, secantik namanya. Rambut hitam sebahu dengan tahi lalat yang manis dibagian dagu. Mata belo dengan bulu mata khas eyelash yang kian mempercantik diri, lekuk tubuh yang proporsional, ditambah kaki yang indah nan semampai. Tentunya membuat lawan jenis terpikat dengan mudah atas tampilannya, dan poin plus lainnya, ia sangat modis. Tak jarang juga Lucy mengunggah video saat Kafka bernyanyi di Kafe atau Bar yang mereka kunjungi bersama teman-teman. Tak segan jua Lucy memberi emotikon hati pada unggahan nya yang menandakan bahwa Lucy menyayangi sahabat nya tersebut. Kafka pun tak merasa berat akan hal itu. Lagipula, ia juga menyayangi Lucy seperti kawan yang lain.
Pun jika nantinya Lucy memberi hati lebih terhadap Kafka, ia tak perduli.
Dira tak lagi mengunggah sajak yang menandakan ia sedih, belakangan malah Dira mengunggah sajak dan bahkan musikalisasi puisi yang menandakan bahwa ia harus bangkit dan memulai untuk berjuang. Kafka menikmati tiap sajak dan karya yang Dira buat.
Dira yang pernah ia kasari, kini perlahan paham dan mulai bangkit. Tak lagi Kafka melihat ia mengeluh atau menyalahkan diri walau ia tak terlalu yakin akan hal itu. Kini yang ia tahu, Dira sedang berjuang melawan dirinya sendiri.
Karya demi karya Dira keluarkan berkala dan tak sedikit orang yang mengapresiasi karyanya. Bisa dibuktikan dengan karya Dira yang mencapai Top #1 Tangga Lagu di salah satu media sosial yang ia jadikan ladang karya nya.
Kafka kian bangga akan perubahan Dira yang bisa dibilang cepat dalam beberapa hari. Ia bisa menghasilkan karya dengan menjadikan diri sebagai lakon, dijadikan hidupnya sebagai latar juga inti karya.

Kafka semakin yakin atas perasaanya.

Mungkin ia atau Dira kini sedang saling tersesat atau berlawanan arah, tapi yakinlah, segera akan menuju 'rumah'. Sebab siapapun, pasti merindukan pulang.

KAFKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang