#12

164 4 0
                                    

Merelaksasikan diri memang sesuatu yang menjadi favorit banyak orang, terutama bagi Kafka. Akhirnya setelah sekalian lama menempuh perjalanan, Kafka bisa merebahkan diri di kasur empuk bersprei barbie warna pink menyala. Jelas kesukaan Dira.
Dira? jelas sudah sedari tadi mengurungkan diri di kamarnya. Bergelut dengan dunia mimpi yang sedari perjalanan menemaninya.
Nyaman, itu yang Kafka rasakan.
Betapa bahagia hati Kafka saat ini pun tak bisa dijabarkan dengan kata-kata. Kafka memeluk guling yang terbaring jua di sebelahnya. Mencoba memejamkan mata agar bisa mengistirahatkan otak juga raga, agar menghasilkan pasokan energi yang lebih banyak untuk mengukir serta merekam segala kisah yang siap ia jalani.
10, 20, 30, dan akhirnya ia terlelap menuju dunia bawah alam sadarnya.

Sang Fajar terbit menghantarkan kehangatan di pagi yang dingin. Menunjukkan cahaya nya yang indah untuk menyambut semua makhluk agar selalu ingat akan Tuhan melalui ciptaan-Nya.
Kafka terbangun tepat pukul 07.00 . Sangat jarang sekali Kafka terbangun sepagi ini, padahal tak ada bunyi berisik yang tiap hari ada dirumahnya ataupun bunyi alarm. Kafka mengerjapkan mata, dan mendudukan diri. Tubuhnya sangat segar. Kafka mengerjapkan matanya pelan, mencoba menerima cahaya yang berusaha menyambut tatapan mata.
Kafka melongok sebentar kearah luar kamar. Sepi. Dira tentu saja belum bangun. Papa Mama Dira? entah. Tak ada suara sama sekali.
Mungkin masih menjelajahi dunia masing-masing. Kafka kembali menutup pintu dan kembali duduk dipinggiran ranjang. Melihat foto Mama Dira saat masih muda. Berkacamata, rambut panjang dan keriting, sungguh tren pada zaman nya.
Kafka membuka ponselnya. Tak ada notif sama sekali. Membuka sosial media dan melihat chat terakhir nya dengan Dira, yang tak sadar membuat Kafka tersenyum simpul.
' Masak apa ya Pah?'
' Keluar aja. Kan nanti katanya mau kondangan di Tegal.'
' Oh iya,'
Terdengar percakapan antara Mama dan Papa Dira yang membuyarkan aktifitas Kafka. Kafka merapikan diri dan keluar dari kamar yang disambut senyuman hangat.
' Lho udah bangun, cepet sekali bangunnya. Dilanjut tidur aja mas, capek juga semalem habis perjalanan jauh kan.' ucap Papa Dira.
' Istirahat mawon mas. Dek Dira tuh masih tidur, bangunnya siang.' timpal Mama Dira yang sedang sibuk di dapur.
' Inggih,om tante. Mau mandi dulu, nggak enak dari semalem belum mandi.' balas Kafka. Kafka kembali ke kamar dan menyiapkan peralatan mandi.
Diam-diam, Mama dan Papa Dira mencuri pandang terhadap Kafka. Mama Dira sangat suka dengan Kafka bahkan saat pertama kali bertemu. Pun Papa Dira begitu, pernah suatu ketika Kafka langsung diajak pergi berwisata di daerah Tawangmangu bersama Bita dan Mbak Lifia. Dan itu menjadi kesan pertama orangtua Dira terhadap Kafka. Sopan, santun, dan lembut terhadap Dira.

Setelah Kafka bebenah diri dan menyegarkan badan, Kafka memulai semua ceritanya dengan menuliskan di buku kecil yang selalu ia bawa. Menuliskan segala yang ia lihat dan rasa. Dari awal persiapan, perjalanan, hingga singgah. Kafka menulis dengan sederhana. Kafka cinta untuk menulis. Bagi kafka, tujuannya menulis bukan untuk menghasilkan karya, namun menuangkan segala rasa juga cerita atas apa yang terjadi.
' Mama.. '
Terdengar suara rengekan dari kamar bernuansa serba pink yang tepat disebelah kiri Kafka. Dira terbangun dari tidurnya dan merengek. Kafka hanya berdiam, sengaja tak ingin menghampiri.
' Mamaaa.. ' kembali rengekan Dira terdengar. Kali ini agak lama dan berbeda, seperti bocah yang terbangun karena ditinggal atau meminta susu. Kafka kembali hanya mendengarkan saja tanpa melongok melihatnya. Pun tak ada respon dari orangtua Dira, mungkin karena tidak mendengar.
' Mamaaaaaa-' rengekan yang ketiga. Kafka memutuskan bangkit dari duduknya dan melihat kondisi Dira. Pintu kamar Dira yang terbuka membuat mudah Kafka menjelajahi tiap sudut kamar Dira walau tak detail. Dira mengerjapkan mata dan menggeliat serta membenamkan wajah di bantal gulingnya bak bocah berumur lima tahun.
Kafka tersenyum tipis melihat tingkah Dira. Dira yang merasa diperhatikan mendongakan wajahnya. Menatap Kafka yang sudah rapi dan merasakan aroma tubuh Kafka dari jarak yang dekat.
' Apa?' ketus Dira tiba-tiba. Kafka langsung menarik senyumnya. Sedetik kemudian, Kafka terbengong melihat tingkah dan ucapan Dira barusan. Menggemaskan, dasar bocah. batin Kafka.
' Gapapa. bangun, mandi.' ucap Kafka datar dan segera memasuki kamar yang ia singgahi. Kafka kembali merebahkan diri. Mengulang ingatan tentang kejadian yang baru saja di saksikannya.
Terdengar suara langkah yang melintas didepan kamar Kafka yang di ikuti rengekan seperti sebelumnya. Dira telah bangun.
' Mama.. masak apa? ' tanya Dira dengan suara seraknya.
' Kata Papa makan diluar aja, kan nanti juga kita mau pergi. Tuh, mas Kafka aja udah bangun. Udah mandi udah wangi,masa yang cewe kalah. Sana mandi.' ucap Mama.
' Dira laper,' tambah Dira.
' Iya nanti makan, makanya cepet siap-siap. Kita bertiga udah siap pergi. Mau ditinggal?' balas Mama sambil membersihkan meja makan. Papa hanya mendengarkan saja sesambi menyesap batang rokok kesukaan papa.
Kafka mendengar semua percakapan hangat mereka dari dinding kamar. Jiwa dan rasa nya terhenyak.
Sudah lama Kafka tak mendengarkan suara rengekan ataupun ajakan untuk pergi bersama.
Kafka tak tahu harus iri atau senang atas yang ia dengar dan alami semenjak di rumah Dira. Mama Papa yang hangat, selalu di lingkupi oleh suka cita. Sedangkan ia? Makan bersamapun mungkin sudah sekitar 11 tahun lalu terjadi. Kafka selalu sendiri.
Namun, baru kali ini rasanya Kafka mengenal arti keluarga. Kafka merasa memiliki keluarga baru, terutama orangtua.
Tak mau terhanyut emosionalnya, Kafka membuyarkan fikiran dan berniat menyusul keluarga manis tersebut yang tengah berkumpul di ruang makan. Tak enak juga rasanya tamu berada di kamar tanpa berbincang dengan sang pemilik.
Kafka melangkahkan kaki dengan hela nafas panjang, pertanda ia akan dan pasti baik-baik saja, mengapa?
Agar ia tak menangis. Ia benci tangisan.
Kafka melihat sesosok wanita paruh baya mengenakan daster warna terang dan sesosok lelaki pendamping yang kian menua. Kafka rindu akan pemandangan ini. Disambut di pagi hari dengan secangkir teh hangat buatan ibu, lalu berbincang mengenai hal apapun. Lalu, sarapan yang di iringi gelak tawa.
Kafka memandang Dira. Betapa beruntungnya ia.
Dira tersenyum manis kearah Kafka, dan dibalas senyuman tipis khasnya.
' Sini mas, duduk. Udah Mama buatin teh.' ucap Tante Tuti, begitu sepantasnya Kafka memanggil Mama Dira. Tapi ini...Mama? Beliau memanggilkan diri terhadap Kafka dengan 'Mama?' .
Darah Kafka terasa berdesir cepat. Nafasnya memburu. Terasa badannya melemas mendengar ucapan Mama Dira.
Ya, Kafka menahan tangis. Kafka sangat rindu suasana ini.
Kafka mengangguk dan duduk disebelah Papa Dira.
' Diminum tu loh. panas tapiii. Kafka kan ga suka panas.' ucap Dira dengan lugunya.
' Oh mas kafka ndak suka hangat? Biar diganti es aja, mau? nanti biar Dira beli es batu di warung Bu Nurdadi. Soalnya emang nggak terbiasa minum es disini, cuma Dira sama Papa dan udah Mama batasin. Kan nggak baik. Jangan sering-sering.'
' Maturnuwun tante, Saya suka teh hangat kok. Maaf merepotkan ya tante.' balas Kafka.
' Halah nggak merepotkan. Apanya yang merepotkan. Malah Mama sama Papa minta maaf banget sampe jauh-jauh mas Kafka demi nganterin Dek Dira. Emang Dira ya,' kembali ucap mama sesambi melirik Dira. Dira yang merasa namanya dibawa dalam topik mengerucutkan bibir.
' Dira kan dira, dibawa terus namanya.' Ia mendengus kesal. Papa dan Mama juga Kafka terkekeh geli melihat respon Dira. Kafka menatap Dira hangat. Ternyata, ada sosok lain yang belum Kafka ketahui dari Ivana Nadira.

Mulai hari ini, aku bisa menemui sosoknya yang belum ku temui bahkan belum ku mengerti, batinnya.

KAFKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang