#29

92 3 0
                                    

Enam bulan terlewati sudah, dihiasi dengan suka dan duka yang Kafka alami di negeri orang. Terkadang, Kafka makan seadanya, bahkan ia lebih memilih untuk meminum air putih. Bukan karena tak punya uang lebih atau malas, ia sedang mengendalikan diri agar ia bisa membeli apa yang ia dambakan kelak. Berat memang, namun Kafka mau melakukan demi impiannya. Ia lebih memilih bersusah terlebih dahulu, lalu bahagia kemudian.
Ungkapan rindu dari sanak saudara pun membanjiri kolom percakapan di sosial media Kafka, terutama dari Naya. Ya, Naya mengaku sangat merindukan Kafka. Naya pun berkata jika Kafka pulang nanti, ia ingin menghabiskan banyak waktu dengan Kafka.
Kafka pun terkekeh geli mendengar pengakuan Naya beberapa hari lalu, menurutnya, Naya sangat menggemaskan saat mengatakan rindu dan meminta Kafka untuk segera pulang ke tanah air.
Tak hanya Naya, Nando dan Cika pun tak segan mengatakan ingin cepat-cepat bertemu agar bisa berkumpul seperti dahulu lagi.
Dira?
Ia juga mengatakan jika dirinya sangat rindu, dan masih dengan cara yang sama seperti dahulu. Respon Kafka pun juga sama halnya seperti beberapa pekan awal saat ia dan Dira masih 'panas-panasnya.' Kafka hanya merespon dengan 'Haha' atau 'Wkwkwk' .
Tapi, tidak kali ini. Sedetik barusan Dira kembali mengabarinya, bertanya kapan Kafka pulang. Terlihat jelas disetiap kalimat yang ia kirimkan bahwa Dira merindukan akan sosok Kafka, terlebih Kafka yang dahulu.
Jari Kafka terlihat memencet kesana sini papan tombol di layarnya, hanya beberapa kata yang Kafka sampaikan untuk membalas pesan Dira.

' Tunggu saya jadi pemimpin.'

Hanya kalimat itu yang Kafka kirimkan untuk menanggapi pertanyaan Dira. Kafka tak tahu apa respon Dira disana, yang jelas, Kafka bersungguh-sungguh atas apa yang ia kirimkan barusan.
Kafka bersiap, membawa semua koper dan belanjaan nya kemarin yang ia beli sebagai buah tangan untuk keluarga dan kawannya.
Pulang ke negera Kafka dibesarkan membuat jantung Kafka berdegup tak beraturan sebenarnya. Ia sangat menantikan waktu untuk kembali, bukan karena ingin bertemu seseorang, namun perihal impiannya. Ia siap bertarung oleh jutaan wisudawan dan pekerja lain yang ingin segera menjadi orang sukses. Ia siap menyerbu jutaan tantangan dihadapannya dengan segala ilmu yang telah ia pelajari dengan sangat di negeri orang.
Masa bodoh dianggap ambisius, toh ia menjadikan itu sebagai kebutuhan yang harus terpenuhi.

Kafka duduk bersebelahan dengan Maul, yang nama panggilan sebenarnya Lana. Maul teman sekelas Kafka yang lumayan dekat dengan Kafka dikampus. Lana memiliki kecenderungan yang hampir sama dengan Kafka, dan menurut Kafka, Lana lah yang cocok untuk diajak tukar pikiran dengannya, baik hal serius maupun tidak. Lana memiliki tampilan yang biasa, bisa dibilang sebelas dua belas dengan kunto aji tapi dengan versi mudanya.
' Lan, wes maem koe? (Lan, udah makan kamu?) ' tanya Kafka yang dibalas Lana dengan gelengan.
' Meh maem nendi? (mau makan dimana?)' kembali Kafka menanyakan perihal perut nya yang kini keroncongan. Lana menaikan kedua bahunya, karena ia pun memang benar tak tahu ingin mengisi perut dimana.
' Bandara wae piye? (bandara aja gimana?)' tanya Kafka. Lana menatap Kafka, melihat keanehan Kafka sedari hari belakangan.
' Kaf, koe ngopo to?' ucap Lana untuk yang pertama kalinya. Kafka membalas tatapan Lana.
' Lah aku ngopo emang?' balik tanya Kafka. Kafka tak merasakan keanehan di dirinya, tapi mengapa Lana mengatakan hal tersebut.
' Aneh ngono. Jek wingi koe tuku akeh bianget barang wedok. Terus njaluk tulung aku ngaterke koe neng toko Klambi wedok karo toko korea korea ngono. Ngopo to? (Aneh gitu, kemarin kamu beli banyak banget barang cewe. Terus minta tolong aku nganterin kamu ke toko baju cewe juga toko ke korea-an gitu. Kenapa to?)' jelas Lana. Kafka mencoba mengingat apa yang Lana jelaskan barusan, mencoba mencerna satu per satu.

FLASHBACK
' Lan, apik? (Lan,bagus?)' ucap Kafka sembari menunjuk kaos v-neck polos hitam dengan merk yang cukup terkenal. Lana mengangguk meng-iyakan pertanyaan Kafka. Kafka mengunjungi store terkenal di Thailand dengan merk yang belakangan menjadi bahan perbincangan di dunia. Kafka mondar mandir membeli bermacam-macam barang, hingga ia menyempatkan diri mampir ke toko yang berbau aneka macam barang khas negeri gingseng. Tentunya toko yang dipenuhi banyak aksesoris para fangirl k-pop. Entah mengapa ia menjajakan kakinya ke tempat yang notabenenya jauh dari selera Kafka.
' Any NCT's lightstick here?' tanya Kafka ke salah satu pramuniaga toko yang mengenakan pakaian pink lucunya itu.
' Yes, sir. Follow me.' ucap Pramuniaga tersebut dan mengarahkan Kafka menuju rak berisikan bermacam benda menyala yang menjadi atribut penting saat diadakannya konser. Pramuniaga tersebut mengambil barang yang Kafka tanyakan tadi. Kafka menerima barang tersebut dan beberapa kali membolak-balikan kardusnya.
' Anjir ginian doang padahal, heran.' gumam Kafka. Lana melirik beberapa album di samping rak lightstick dan mengambil salah dua album girlband yang cukup terkenal saat kini, Blackpink dan Red Velvet. Kafka melihat Lana dari kejauhan, kemudian mengernyitkan dahi keheranan.
' Mau beli juga?' tanya Kafka sembari mendekat kearah Lana. Lana terdiam sesaat.
' Yoi, mayan tuku kene murah (Yoi, lumayan beli disini murah)' jawab Lana santai dengan cengiran sebagai penutup. Kafka memutar bola matanya malas dan menaruh barang yang diambil Lana kembali ke raknya.
' Rasah tuku, banci. (gausah beli, banci)' jawab Kafka  hampir setengah emosi melihat kawannya. Lana tak perduli akan ucapan Kafka dan kembali mengambil kedua album tadi dan segera menuju kasir.
Kafka berdiam dan masih memegang box lightstick. Ia bimbang, ingin membelinya atau tidak.
Kafka menghembuskan nafas berat, ia terus menerus berfikir ulang.
' Hah gausah lah, buat apa juga.' ucap Kafka dan meninggalkan box tadi di sembarang rak. Kafka langsung keluar toko dengan wajah yang tak bisa diartikan. Bimbang tepatnya. Lana mengikuti Kafka dengan membawa bingkisan berisikan album girlband tadi dengan raut wajah senang.
' Lho, Ndi barangmu? (Lho, mana barangmu?) tanya Lana berusaha menjajarkan posisi dengan Kafka. Kafka menoleh Lana sekilas dan kembali menatap arah kemana ia akan berjalan.
' Ndelengmu ono gak? (Liatmu ada gak?)' balas Kafka setengah kesal.
' Lah, terus ngopo koe rono, babi? (Lah, terus kenapa kamu kesana,babi?) ' timpal Lana dengan penekanan di kata 'babi' . Kafka melayangkan tatapan bingung tepat diarah mata Lana. Lana kembali mengernyitkan dahi atas respon tatapan Kafka.
' Aku khilaf,' ucapnya. Lana menahan tawa setengah mati atas jawaban teman kelasnya tersebut. Lana menepuk-nepuk pundak Kafka.
' Tuku wae, nek nyesel koe angel meneh. Ayo, masalah di tompo atau gak urusan mburi. Ndang. (Beli aja, kalo nyesel kamu susah lagi. Ayo, masalah diterima atau nggak urusan belakangan. Cepet.)' ujar Lana. Kafka seketika berhenti. Menatap Lana sesaat, berusaha mengumpulkan niat dan keyakinan yang sempat hilang. Kafka mengangguk dan langsung berlari kembali ke arah toko tadi secepat mungkin. Lana tersenyum melihat punggung Kafka yang kian lama menjauh dari posisinya berdiri.
' Emang kalo gengsi susah,ya.' gumam Lana melihat tingkah Kafka dengan gelengan.
************************************************
Langit tanah air ternyata dihiasi dengan bunyi gemuruh dan awan yang kian gelap, pertanda hujan akan segera turun. Mereka kembali dengan selamat di Bandara Adi Sumarmo tepat pukul 20.00 wib , yang diakhiri dengan foto bersama serta pelukan hangat sebagai tanda perpisahan.
Kafka disambut oleh Nando, Cika, Kedua orangtua dan adiknya, serta Naya. Kafka memeluk satu per satu orang yang senantiasa mengantar dan menjemputnya seperti enam bulan lalu, dengan keadaan sehat. Kafka kembali merasakan perasaan yang sempat ia rasakan enam bulan lalu sebelum ia berangkat, seperti ada sosok yang mengikuti bahkan hingga mengamati. Kafka menebar tatapannya ke seluruh sudut bandara, memastikan siapa yang mengikutinya.
' Jalan dulu, aku disini bentar.' ucap Kafka kepada kerabat dan keluarga yang telah menantinya. Mereka mengangguk dan segera meninggalkan Kafka ditempat. Kafka berdiam dan membuka ponsel, seakan ia sedang sibuk dengan dunianya.
Kafka mencium bau aroma parfume yang ia kenal dari arah belakang. Ia mendongakan kepala, dan membalikkan badan. Ia kaget setengah mati akan apa yang ia lihat.
Ivana Nadira berdiri tepat didepan matanya dengan keadaan yang berbeda dari sebelumnya.
Dira mendekat kearah Kafka, menyerahkan bucket bunga dan melempar senyum manis hingga lesung pipinya kembali terlihat. Kafka mematung akan apa yang barusan ia lihat.
' Selamat. Aku bangga, hehe. Sehat ternyata ya. Semoga sehat selalu. Maaf aku ngikutin terus, aku takut soalnya hehe. Mmm.. Aku gabisa lama. Kamu juga ditunggu kan? Aku duluan kalo gitu. Hati-hati, ya?' ujar Dira panjang lebar sembari menepuk bahu Kafka pelan. Tepukan yang menandakan bahwa Kafka harus mengingat segala perkataan Dira.
Belum sempat membalas ucapan Dira, Ia langsung meninggalkan Kafka yang masih saja nyaman dengan posisi diam. Kafka melihat punggung Dira yang kian lama menghilang dari pandangannya.

Mengapa?
Tiba-tiba?
Ia kenapa?
Mengapa berbeda?
Mengapa aku hanya berdiam saja?
Bodoh. Sangat bodoh.
Brengsek.
ujar batinya sendiri. Kafka segera mengikuti kearah mana Dira berjalan tadi.
Nihil.
Ia telah pergi. Entah kemana, bersama siapa, dan dengan apa.
Kafka menggenggam erat bucket yang diberi Dira barusan.

Kau bodoh, Kafka.

KAFKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang