#39

138 3 0
                                    

' Mas, gimana pun kamu tetep anak Papa. Kalo kamu emang ngerasa ga ngelakuin, papa bisa tuntut Naya.' ucap Papa hampir dengan emosi. Kafka hanya bisa terdiam mendengar celotehan Papa sedari tadi yang sebenarnya membuat Kafka tertegun. Papa yang ia kenal tak seperti ini dulu. Mama melirik Kafka, lalu mendekat. Tanpa suara, Mama mendekap Kafka. Membawa Kafka kepelukan hangat yang sangat Kafka rindu dan nantikan.
Pun, Kafka hanya terdiam walaupun ia kembali merasakan hangatnya keluarga.
Kafka mendongakan kepala, menatap wajah Mama yang kian menua.
' Aku tanggung jawab.' ucap Kafka yang membuat kedua orang tuanya terdiam.
' Rumah tangga nggak seindah yang kamu pikirkan.' balas Mama. Kafka menatap lembut Mama, mencoba meyakinkan.
' Aku tahu. Maka dari itu aku mencoba bertanggung jawab. Aku bisa keluar kuliah dan ngelamar kerja walaupun itu sulit.' tambahnya. Mama terdiam sejenak. tertegun mendengar pernyataan Kafka. Papa melirik Mama, yang kemudian dibalas anggukan pasrah dari sang Papa.
' Itu keputusanmu. Mama gamau memaksakan.' kembali ucap Mama. Kafka mengangguk, dan segera bangkit menuju kamarnya.
Papa mengelus punggung Mama, berusaha menenangkan ibu dari tiga buah hatinya.
' Anak kita udah dewasa,Ma. Papa yakin dia bisa menyelesaikan dan jadi orang besar nantinya.' ujar Papa yang kemudian mencium kening Mama.
                                  ********
Tiga hari setelah pupusnya harapan besar di hidup Kafka tak membuat Dira menjauh atau menghilang. Ia masih sama, walau mungkin dengan perasaan yang berbeda. Kafka tak berani menanyakan, membahas, atau sekadar menjelaskan kejadian malam itu, ia tak mau membuat Dira makin terluka.

Dira masih sama.

Membangunkannya, menemani begadang hingga dini hari, menatap senja pada langkit yang sama walaupun tak lagi ada tawa.
Kafka sangat ingin menemui Dira, namun ia tak bisa menatap mata Dira. Dadanya terasa sesak jika menatap mata indahnya, hatinya makin sakit jika melihat senyum manisnya. Kafka tak mau itu luntur dan hilang saat setelah Dira bertemu Kafka.
Terlebih, ia tak mau apa yang sudah ia tetapkan hancur begitu saja.
Ya, menikahi Naya.
Kafka akan menikahi Naya sesuai tuntutan serta adab juga adat yang ada. Ia tak mau dianggap lelaki tak bertanggung jawab walau ia menyadari bahwa ia brengsek. Kafka tak tega jika janin yang ada di perut Naya mengetahui asal mula dirinya kelak nanti.
Ia tak mau ada manusia yang kembali merasakan apa yang ia alami dahulu. Apalagi, hingga menganggap bahwa omong kosong terbesar adalah perihal keluarga.
Namun,
Ia mau tak mau melakukan ini karena ucapan Dira beberapa waktu lalu yang membuatnya semakin yakin atas keputusannya;

' Kamu udah jadi pemimpin. Kamu calon ayah, dan udah masuk tahap awal menjadi ayah. Harus bertanggung jawab, apapun itu.'

Dira tak pernah mengatakan ia mundur, menyerah, atau mengalah. Ia bukan tipe wanita yang seperti itu, faham betul Kafka akan sifat batu Dira.

Beberapa hari belakangan pun Kafka mengikuti Dira kemanapun Dira pergi. Sama seperti sore ini, ia mendapat informasi dari Bita bahwa Dira akan pergi ke Solo Square, entah untuk apa dan bersama siapa.
Sedari tadi Kafka telah duduk manis di dekat area pusat kosmetik yang lumayan dekat dengan pertokoan pernak-pernik wanita. Dan benar dugaannya, ia menemukan sosok Dira disana. Berjalan menyusuri toko-toko dengan ceria. Namun, matanya menangkap sosok lelaki berbadan tegap berjalan disamping Dira.
Ardi, sahabat Dira yang juga teman Kafka.
Kafka tak berfikir negatif atau hal aneh lain, toh ia mengerti Ardi dan Dira bagaimana. Terlebih, Kafka yakin bahwa Dira menepati janji dan ia tau betul apa perasaan Dira.
Langkah demi langkah Kafka ikut Dira, menguntit seperti pencuri. Dira dan Ardi masuk ke salah satu toko fashion lelaki, yang membuat Kafka sempat mengernyitkan dahi.
Kafka berjalan kesana-kemari mencari posisi yang tepat untuk melihat segala pergerakan dari Dira.

Deg!

Jantungnya terasa terhenti sesaat kala Dira mencoba mengepas kan kemeja berwarna biru dongker ke tubuh Ardi. Kafka terasa terhempas. Entah mengapa ia merasa hancur.
Dugaannya salah, dan jauh dari pemikiran yang selama ini banggakan.
Kafka tak tahu harus berbuat apa. Menghampiri? Oh, itu hal tergila selain kejadian lalu.
Kafka memutuskan untuk meninggalkan tempat  serta membuang jauh-jauh pandangannya.
Sesaat, ia terhenti. Membuka kunci layar ponselnya, dan menatap wallpaper yang terpajang foto senja yang didalamnya ada sesosok dua insan, dimana itu Kafka dan Dira. Ia menghela nafas, mencoba menerima apa yang barusan ia lihat.
' Karma, kaf.' gumamnya. Kafka mendongakan kepala, lalu kembali melanjutkan langkahnya menuju basement dan menuju Beranda seperti biasa.

                                  **********
' Mas, perutku sakit.' ucap Naya yang kini dudukdi sebelah Kafka. Kafka diam dan hanya melirik Naya. Hari ini, Kafka akan melangsungkan pernikahan di KUA, tanpa resepsi. Hanya orangtua dan sanak saudara dari kedua belah pihak yang mengetahui acara sakral ini. Beberapa kerabat Kafka seperti Nando, Cika, Lana dan Ariq pun tahu. Bagaimana dengan Dira? ia juga. Namun, Kafka tak menyarankan untuk datang. Kafka bilang, bahwa itu akan membuang waktu Dira saja.
Kafka tak tega jika harus melihat Dira kembali hancur.
Kafka melihat perut Naya yang kian membuncit. Ia tak tega.
Bukan pada Naya, tentu pada anaknya. Tangan Kafka mengelus perut Naya pelan dan lembut, sentuhan seorang ayah, walaupun tak melihat kearah Naya. Naya yang melihat perlakuan Kafka tampak menahan tangis, namun masih sanggup di tahan olehnya.
' Si kakak gerak, kerasa nggak?' ucap lirih Naya yang ikut mengelus perutnya sendiri. Kafka mengangguk, memang ia merasakan adanya hentakan dari dalam perut Naya.
Tak lama, penghulu datang dengan pakaian khasnya. Dibacakan secara gamblang dan detail mengenai pernikahan dan segala macam, hingga tiba Kafka dengan berat hati harus mengucap janji suci.
Rangkaian kata yang harusnya ia katakan untuk Ivana Nadira, tak bisa ia tepati.

Pria paruh baya didepan Kafka kini mengulurkan tangan, yang dimana Kafka harus menjabat tangannya.
' Saudara Kafka Fadilla bin Haryanto Putra, Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan saudari Denaya Talitha dengan maskawinnya berupa uang seperangka alat shalat, serta emas senilai 100gram Tunai.'

Kafka menghela nafas berat, lalu menatap si penghulu agar terlihat yakin sepenuh hati.

' Saya terima nikahnya dan kawinnya m Denaya Talitha binti Dewanegara dengan maskawinnya yang tersebut, tunai.''

Kafka mengucapkan hanya dengan sekali nafas, tak terputus atau tersendat sama sekali. Para hadirin yang menyaksikan kemudian meng-sahkan ajuan pertanyaan yang dilontarkan si penghulu dilanjutkan dengan aamiin paling serius menurut mereka. Kafka berhadapan dengan Naya, yang kemudian Naya mencium punggung tangan Kafka sebagai bukti bhakti seorang istri terhadap suami. Lalu, ditanda tanganinya buku nikah, yang menandakan bahwa mereka telah resmi menjadi sepasang suami istri yang sah, baik dimata agama maupun negara.
Ia membalikan badan kearah hadirin yang datang, berusaha tersenyum seramah mungkin. Orangtua, sanak saudara, kerabat, dan.. Dira.
Dira hadir dalam pembacaan ijab qobul Kafka. Sedari tadi ia melihat Kafka dengan mata sayu di kursi bagian belakang. Ia hanya mengangguk, dan tersenyum. Kemudian, mengatakan dengan bahasa bibir;

' semangat, dan selamat, ayah Kafka.'

KAFKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang