#40

201 6 0
                                    

Banyak orang yang datang ke kediaman dimana Kafka dan Naya tinggal hanya untuk mengucapkan selamat atau membawa hadiah atas pernikahan mereka. Mereka tak tinggal bersama orang tua, lantaran Kafka tak suka hidup di lingkungan yang ramai. Mereka menjalani aktivitas seperti biasa. Naya adalah Naya, Kafka adalah Kafka. Tak ada rasa harmonis dalam keluarga kecil ini. Kafka masih saja berkumpul dengan teman-temannya di WW atau Beranda Kopi, dan bahkan pergi ke wedangan seperti biasa dengan Nando, Cika atau hanya dirinya sendiri. Intensitas komunikasi Kafka dan Dira kembali menipis, terlebih Dira mengatakan bahwa ia tak enak dengan Naya.
Sebenarnya, Kafka membenci itu. Dira melihatnya bukan lagi seorang Kafka, namun seorang lelaki yang sudah beristri.
Lama kelamaan Kafka tak betah akan sikap Dira yang selalu menghindar darinya. Maka dari itu, ia memutuskan untuk pindah ke Surabaya. Merealisasikan apa yang Mama dan Papa Kafka inginkan sedari dulu.
Tanpa butuh waktu lama, Kafka mengemasi segenap barang-barang yang ada di rumah. Terlebih, umur kandungan Naya sudah mulai memasuki bulan ke-delapan. Memang tak terasa. Naya sering mengeluh perutnya mulas, bahkan ia mengatakan seperti di pelintir rasanya. Kafka tetaplah Kafka yang tak tega akan kaum hawa. Dengan penuh sabar, ia mengurus segala urusan dirumah. Memasak, membersihkan rumah, bahkan menuruti permintaan aneh-aneh Naya atau biasa disebut mengidam.
Tak lelah, hanya saja ia begah. Tak nyaman sebenarnya. Namun, Kafka tak bisa berbuat banyak.

Sekali lagi, ini demi anaknya, bukan Naya.

                              ************

Kafka bersiap mengantar Naya bertemu dengan temannya. Naya bilang ada urusan mendadak. Kafka meng-iyakan dan tak ingin tahu lebih jauh apa urusannya. Toh, itu tak penting sama sekali baginya.
Kafka hanya mengantar saja, lalu pergi ke tongkrongannya. Mobil terparkir rapi diluar, sedari tadi Kafka menunggu di dalam mobil sembari mendengarkan lagu dari Pamungkas. Berulang kali tanpa henti ia mendengarkan lagu yang berjudul Monolog.
Ingatannya kembali melayang pada sosok Dira yang kini jauh disana. Entah sedang apa, bagaimana, dengan siapa, serta apa perasaanya. Kafka memejamkan mata, berusaha menyelami ingatannya  tentang Dira.

Tok tok tok!

' Mas, bukain.' ucap Naya sembari mengetuk kaca mobil yang membuat Kafka membuka matanya perlahan. Kafka membuka kunci pintu dari dalam.
' Sakit?' ucap Naya menatap Kafka yang terlihat lelah. Kafka menggeleng.
' Aman, gamasalah. Kemana ini?' tanyanya. Naya membuka ponsel, mencari sesuatu di salah satu obrolannya.
' Saudagar.' ujar Naya. Kafka mengangguk dan segera menuju ke tempat.
Tak ada obrolan apapun selama di perjalanan. Naya terlihat berkutat dengan ponselnya. Kafka? tentu saja tak perduli. Ia hanya fokus dengan jalanan dan alunan lagu yang merdu terdengar di telinganya.
Sampai didepan saudagar, Kafka langsung menurunkan Naya. Tanpa sepatah katapun, Kafka meninggalkan Naya dan menuju WW yang kebetulan tak terlalu jauh dari Saudagar Kopi.

' Weits, pengantin baru!' ujar Redi dengan penuh antusias. Kafka hanya melempar senyum tipis dan menyalami teman-temannya.
' Istrimu mana?' tanya Raihan yang baru muncul sejak lama Kafka tak melihat kehadirannya di WW.
' Ada urusan' balas Kafka. Mas Deri menatap Kafka, lalu merangkul Kafka.
' Udah, santai bro.' ucap Mas Deri menenangkan Kafka. Kafka menepuk bahu Mas Deri sebagai ungkapan terimakasih. Seperti biasa, ia memesan es kampul. Tenggorokannya terasa kering.

Sekitar tiga jam Naya tak mengabari Kafka, kemudian tepat pukul 22.30 ponsel nya berdering.
Ardi.
Kafka mengernyitkan dahi.
' Tumben.' gumamnya sembari melihat nama Ardi yang terus menerus muncul pada layar ponselnya.
Entah mengapa, Kafka tak berniat mengangkat. Malas. Lagipula, Kafka juga tak mendapat notifikasi pesan dari Ardi. Mungkin saja itu tak sengaja terpencet.
Selang lima menit, Naya mengabari Kafka bahwa ia telah selesai. Kafka segera menjemput Naya, dan pulang kerumah. Kafka tak ada mood berkeliaran malam itu, tak tahu mengapa. Dijemputnya Naya dan segera meng-gas kendaraan menuju kediaman.
                               **********
Kafka mengernyitkan dahi kala pesan aneh yang Ardi kirimkan pagi itu.
Ia tiba-tiba meminta Kafka untuk bertemu. Ia bilang, ini sangat penting. Awalnya Kafka malas, namun tak bisa dipungkiri bahwa ia sedikit kepo akan hal yang akan Ardi bahas.
Kafka mengiyakan, dan berencana menemui Ardi pukul 9.00 pagi nanti di WW. Kini, tak bisa Kafka terlalu pulang malam, Naya belakangan sering mengeluh bahwa perutnya makin sakit. Membuat Kafka sedikit khawatir akan kondisinya. Ia harus siaga 24 jam non-stop demi kebaikan Naya dan si jabang bayi.
Kafka telah tiba di WW. Terlihat sosok Ardi muncul dari halaman parkir dengan raut wajah yang serius.
' Mas, harus liat ini.' ujar Ardi sembari menunjukan foto Naya dan Arif yang terlihat tengah berdiskusi.
' Lalu?' ucap Kafka dengan tatapan tak perduli.
' Bukan urusanku.' tambahnya.
' Yakin? ini berkaitan sama Dira.' balas Ardi. Kafka menatap Ardi tajam, terlebih saat ia mengatakan nama Dira.
' Aku sama Dira nggak ada apa-apa. Jangan berfikiran lain. Aku tau kamu ngikutin Dira, mas. Aku sempet liat kamu.' tambahnya. Kafka terdiam.
Ardi menyodorkan sebuah rekaman suara yang terdengar jelas suara Arif dan Naya.

' Sekarang udah seneng kan?'
' Udah dong. Dia percaya kalo ini anaknya. Jelas lah ini anak orang lain. '
' Oh iya, Jangan sampe siapapun tau. Oke, rif?'
' Kamu gimana? Jadi ngincer Dira?'
' Jadilah. Dia juga udah ga ada rasa kali sama Kafka. Hahaha.'
' Bagus. kalo bisa jauhin dia dari Kafka. Muak.'
' Siap bosku'

Emosi Kafka seketika memuncak. Arif dan Naya sekongkol selama ini. Ia baru paham semua atas apa yang telah terjadi. Ia dibantu Arif, sahabat karib Kafka.
' Makasih, di. Bantu aku temuin sama Dira malem ini.' ujar Kafka sembari meninggalkan Ardi dan menuju ke suatu tempat.

Kafka melajukan kendaraannya begitu cepat, bak orang kesetanan. Ia tak perduli apa yang ada didepannya. Ia sampai di kediamannya dengan tatapan penuh amarah. Naya yang melihat Kafka menatap nya tajam memasang ekspresi bingung.
' K-kena..'
' Udah sejauh mana sekongkol sama Arif?' ujarnya yang sontak membuat Naya gugup.
' A-aku ga sekongkol. Maksud kamu apa sih?!' jawabnya seolah tak tahu apa-apa. Kafka berusaha mengontrol emosinya agar tak meluap.
' Aku gamau marah-marah. Aku cuma mau kita cerai. Hari ini.' ucap Kafka dengan nada yang agak diturunkan. Naya memegang tangan Kafka, berharap Kafka tak melakukan itu.
' Nggak! Kamu gila? Anak kita mau dikemanain?'
Kafka menatap perut Naya. Lantas, ia tertawa.
' Anak? Kita? Mungkin sama arif, atau sama orang lain. Mau ngeles sampe kapan? Aku ada bukti, Naya.' jawab Kafka santai. Naya tampak panik. Wajahnya memerah.

Ia terisak.
Ia tak tahu harus berkata apa. Kafka menatap tanpa iba.
' Munafik.' ucap Kafka sembari meninggalkan Naya yang makin terisak.
' Oke! Aku ngaku aku salah. Aku gini karena aku sayang kamu, kaf. Aku gamau kehilangan kamu. Aku hancur. Aku dihamilin orang! Aku stress! Aku gatau harus kemana dan gimana. Aku hancur! Aku butuh kamu, kaf.'

Langkah Kafka seketika terhenti mendengar pernyataan Naya. Kafka menoleh.
' Lalu, aku perduli?'
' Nggak, sama sekali.' lalu ia memasuki kamar.
Naya mengikuti Kafka, lalu menatap Kafka yang tengah merapikan kopernya.

'Oke, kita cerai. Tapi, setelah anak ini lahir.'
' ..Aku mohon.' pintanya. Kafka kembali menoleh, menatapnya dan diam.
' Aku mohon,kaf.' pinta Naya untuk yang kedua kali.
Kafka menatap perut Naya.
' Kaf..'
' Aku mohon.'
' ...abis itu kamu boleh maki aku, benci aku, ataupun itu, tapi jangan anaku.' timpalnya.
' Oke.' jawabnya singkat dan segera menuju keluar rumah, berusaha mencari ketenangan ditengah teriknya mentari yang kian membuat Kafka dengan sepenuh hati menahan segala emosi.
Kafka kembali masuk kedalam mobilnya, menyandarkan diri pada kursi sopir. Kafka membuka ponselnya, membaca pesan yang tertera pada layar notifikasi dari Dela.
' Mas, otw viral nih di twitter! ' Kafka mengernyitkan dahi membaca pesan tersebut. Ia segera membuka, dan melihat gambar tangkapan layar yang menemukan Dira membawa-bawa namanya serta gambar obrolan mereka saat Kafka menanyakan apakah Dira rindu dirinya atau tidak.
Kafka makin naik pitam. Ia tak suka siapapun membawa namanya dalam obrolan.
Kafka tak membalas pesan Dela. Malah, ia mengirim sebuah pesan berentet pada Dira, yang entah sebenarnya apa maksud dari Dira mengirim itu semua.

' Tolong banget jelasin sekarang'
' Mau mu gimana bawa bawa namaku juga obrolan kita di sosial media? Aku gapernah ganggu hidupmu dari awal dan kenapa kamu bawa-bawa aku?'
' Kalo kamu ada masalah sama aku, kamu bilang. Urusanku ya urusanku, urusanmu ya urusanmu. Udah beda,dir!'
' Inget'
' Kamu kaya gitu, malah memperkeruh suasana. Risih? jangan ditanya.'
' Aku mau kita ketemu, dan jelasin semuanya.'
belum ada balasan dari Dira. Nafasnya memburu, menandakan ia tak lagi bisa menahan emosinya saat ini.
Tepat pukul 16.00, Dira akhirnya menjawab pesan Kafka. Seperti biasa, Dira membalas dengan panjang kali lebar dengan perkataan maaf. Kafka menganggap semua hanya omong kosong dan akhirnya mereka memutuskan untuk bertemu, sekadar menjelaskan.

KAFKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang