' Kafka, Dira ke bar ya?' pesan yang Dira kirimkan beberapa menit lalu. Kafka telah membacanya melalui notifikasi yang tertera dilayar ponsel.
' Ya sana. Ga peduli dan bukan urusanku juga.' balasnya seperti biasa.
Tak ada balasan dari Dira. Jam dinding menujukan pukul 21.00 dan tentunya Dira pasti sudah diluar area kos.
Ponsel Kafka kembali berdering, namun bukan dari Dira. Pesan dari Adifia. Tumben sekali,batin Kafka.
' Kafka, Dira ke bar tuh ngajakin aku. Kenapa ga sama kamu?' Kafka mengernyitkan dahi. Untuk apa Dira mengajak temannya? Bukankah ia bilang ia pergi bersama Tasya?
' Nggak, aku pergi, mbak.' balasnya singkat.
Sedetik kemudian pun ada pesan lain. Kali ini dari Anggi, teman Kafka sekaligus Adifia.
' Kaafff, dira ga ngajakin kamu minum?'
' Nggak, gabisa mbak. Pergi aku.' balasnya sama.
Untuk apa Dira mengajak teman-temannya? Untuk apa? Sudah berusaha payah menjaga teman-temannya dan kini ia 'rusak' dengan mudah demi mengikuti keinginan bodohnya?
Kafka naik pitam membaca pesan dari teman-temannya. Tak habis fikir akan kelakuan Dira kali ini.
' Ngapain ngajak temen-temenku?'
' Toh kamu punya temen sendiri,kan?'
' Ajak aja. Temen cowokmu juga banyak. Ajaklah buat nemenin hahaha.'
Selang beberapa menit, Dira membalas.
' aku gapunya temen dan bingung mau ajak siapa, jadi aku ajak mereka. toh kemarin kan juga kamu minum sama mereka. Dan mereka juga ini gabisa keluar ternyata.'
' Aku ajak temen cowok? haha nggak, makasih. lagian gabutuh cowok lain juga.' balas Dira.
' Lah kenapa? lagian temen dan jagain doang.' kembali Kafka membalas.
' nggak, makasih.' singkatnya.
' Kalo mau nakal, ya nakal aja sendiri. Jangan bawa temen-temenku. Tugasku ya buat jagain temen-temenku, bukan kamu. Toh kamu juga sama tasya kan? Ajak cowo nya tasya lah, kenapa harus aku?' Kafka makin naik pitam. Masih tak habis fikir dengan apa yang difikirkan Dira sekarang.
' Karena aku cuma butuh kamu, bukan orang lain.' balasnya yang membuat hati Kafka terhenyak.Sebegitukah kau memerlukan aku? pikir Kafka.
' Tapi aku gabisa dibutuhin.' jawabnya ketus. Entah mengapa kata-kata itu terlontar dengan mudah.
' Okey, maaf ya.' kembali kata maaf yang Dira kirimkan.
' Sok ide.'
' Gausah sok ide, kalo cupu ya cupu aja.'
' Sok sokan mau mabuk padahal lemah.'
' Palingan disana mati, atau nggak ya 'dibungkus' orang. hahaha'
Balas Kafka bertubi-tubi tanpa memikirkan perasaan si penerima.
Tak ada jawaban dari Dira. Hanya dua centang biru yang menghiasi kolom percakapannya dengan Dira.
Satu jam, dua jam, ia tunggu kabar Dira. Terus terang, ia resah.
Ia mengalihkan rasa resahnya dengan membuka sosial medianya. Dira mengunggah video singkat yang memperlihatkan live akustik di sebuah Bar daerah Manahan. Kembali, tak ada balasan atau pesan apapun dari Dira. Kafka semakin khawatir akan keberadaan Dira. Pikiran Kafka kalut.
Pukul 01.54 , kembali Dira mengunggah video singkat. Namun, bukan dari tempat yang sama. Unggahan yang menampilkan seorang dj sedang mengalunkan lagu khas dunia malam. Singkat, namun itu cukup untuk Kafka tahu dimana Dira berada.
Segera Kafka menghubungi sang dj yang kebetulan temannya.
' Chintya, aman di southgate?'
' Aman,kaf. Kenapa?'
' Ceweku disitu sama temennya. Mereka berdua cewe. Kalo ada yang rusuh, chat aku ya.' balas Kafka dan dibalas iya-an dari temannya.
Tak ada kabar sama sekali dari Dira hingga pukul 02.30, nama Diraku muncul dilayar ponsel Kafka.
' Kamu dimana?'
' Beranda ini.' jawabnya segera.
' Kepalaku sakit..' balas Dira.
Tentu saja, terlalu banyak minum, bodoh. batin Kafka.
' Mampus hahaha' hanya itu yang Kafka kirim.
Kembali tak ada jawaban, hingga tiba-tiba ponselnya pun berbunyi.
' Gimana?' jawab Kafka. Hanya terdengar suara bising lagu dan nyanyian disebrang sana.
' Halo?'
' Gimana?'
Kafka hening, hanya mendengarkan lantunan lagu dan riuhan suara.
Sedetik kemudian, telpon pun terputus. Kembali Kafka menelpon Dira namun tak ada jawaban.
Sekitar 15menit Kafka menunggu jawaban Dira dan akhirnya Dira pun berbalik menelpon Kafka.
'Aku dijalan pulang, tapi gatau sama siapa.' ucap Dira dengan suara seraknya.
Kafka makin naik pitam namun dengan segala usaha dan cara ia tahan emosi yang kian memuncak.
' Turun.'
'Pap dimana'
' Bodoh.'
Dira mengirim pesan berupa foto dimana ia berada. Dan tanpa babibu, Kafka menancap gas menemui Dira.
Dari jauh, terlihat seorang wanita yang terkulai lemas di halte bus Stasiun Balapan. Ia melihat Dira dalam keadaan kacau, bau alkoholpun tercium jelas.
' Bodoh. Tasya mana? Jangan sok ide makanya. Udah tau lemah masih aja nekat.' ucap Kafka melihat keadaan Dira. Dira yang masih dibawah pengaruh alkohol, menatap Kafka lekat.
' Kalo kesini mau marah, mending gausah. Aku gini karena aku capek. Aku pengen nyerah.' balas Dira dengan nada tinggi.
Kafka tak bisa menahan emosinya mendengar perkataan Dira.
' Gila ya. Jauh-jauh aku dari beranda buat nemuin kamu. Seenaknya kamu ngomong gitu?'
' Kalo aku marah, gabakal aku kesini.'
' Kalo aku tega, gabakal aku jemput kamu.'
' Kalo aku kesel, gabakal aku nungguin kamu sampe jam segini padahal aku bisa aja pulang dan ninggalin kamu.' balas Kafka dengan nada tak kalah tinggi. Dira terisak mendengar jawaban Kafka. Tatapan Kafka menajam, dan Kafka segera beranjak meninggalkan Dira namun ternyata Dira mengikuti dari belakang.
' Maaf..' kembali ia didengarkan kaya tersebut.
Kafka menatap Dira tajam.
' Maaf nyelesein masalah? semakin kamu gini, semakin muak aku sama kamu, Dir.' tegas Kafka. Dira tak bisa menahan tangis.
Selama perjalanan pulang menuju kos Bila yang sebelumnya telah ia hubungi, Kafka dan Dira berdebat begitu hebatnya. Kafka sama sekali tak marah.Hanya saja ia tak habis fikir apa yang ada di isi kepala Dira.
20 menit perjalanan yang penuh perdebatan akhirnya usai dengan sampainya mereka di depan kos Bila. Kafka sebenarnya tak tega akan apa yang ia barusan ucapkan dan berikut perlakuan kasar yang hampir Kafka keluarkan. Dira masih menangis. Kafka sangat benci melihat Dira menangis, apalagi menangisi kebodohannya sendiri.
' Turun, aku mau pulang. Capek.' ucap Kafka senetral mungkin. Dira diam, tetap pada posisinya.
' Turun.' ucapnya agak dengan penekanan. Dira mendongakkan wajahnya. Kafka bisa melihat mata Dira yang memerah dan wajah yang sembab.
' Jangan nangis, stop. Istirahat.' ucap Kafka berusaha lembut.
' Maafin dira.. Dira mau baikan sama Kafka..' hanya itu yang terlontar dari mulut Dira. Kafka menghela nafas.
' Iya, oke? Udah. Istirahat. Gaenak diliat orang. Udah ditunggu Bita Bila juga kan.' ucapnya masih berusaha dengan nada tenang.
Dira masih terdiam di posisi semula. Kafka masih dengan segala cara menahan sabar agar emosi nya tak meluap. Kafka melihat Dira yang terisak dan sesekali sesenggukan.
' Dira gamau kita gini terus. Capek, kadang Dira pengen nyerah cuma gabisa..' ucapnya menduduk sesambi terisak.
' Capek? nyerah? ya silahkan. Hakmu. Toh, kita bukan apa-apa. Kamu bukan siapa siapaku dan aku bukan siapa siapamu. Repot.'
Dira mendongak, menatap Kafka yang membalas tatapan Dira lekat.
Kafka tak salah mengatakan itu. Memang benar adanya bahwa mereka bukan siapa-siapa.
Persetan dengan perasaan konyol, batin Kafka. Kafka kian menatap Dira seakan ia muak. Dira menggigit bibir bawahnya, berusaha menyerap segala perih perkataan Kafka. Dira perlahan turun dari posisi, ia tersenyum. Senyum kecut yang sangat Kafka hafal dari gelagat Dira yang sok kuat.
' Hehe iya lupa, kan emang bukan siapa-siapa ya.' ucapnya lirih. Matanya yang sendu berusaha menahan segala rasa agar tak meluncur dan terjun bebas, hatinya? mungkin kini remuk tak beraturan.
' Terserah, aku mau pulang.' jawab Kafka yang mulai melembutkan tatapannya. Dira menatap Kafka.
' Kenapa?' kembali Kafka menatap Dira. Kafka malas akan suasana seperti ini.
' Mau peluk' jawabnya enteng. Kafka memutar bola matanya malas.
Masih aja bisa gini.
' Gah.' ucap Kafka ketus. Dira memanyunkan bibirnya.
' Bentar lagi subuhan, aku capek, mau pulang.' ucap Kafka untuk yang kesekian kalinya. Dira menggelengkan kepala pertanda ia tak membolehkan Kafka pergi.
' Sebegitu kecewanya? ' tanya Dira sambil meremas ujung bajunya.
' Dibahas mulu ga capek?' balas Kafka dengan sedikit nada tinggi.
' Kecewa sih engga. aku cuma capek. Aku ga paham sama pemikiranmu belakangan ini. Bukan, bukan gapaham, lebih tepatnya ga nyaman. Aku yang salah atau kamu yang salah aku gatau. Intinya, aku ga nyaman sama kamu terlebih setelah kamu pulang dari Pemalang dan aku sama kamu gak ada apa apa. Kamu ya kamu, aku ya aku. Ngerti? '
' Oh iya, dan lagi, mau sampe kapan kamu menyalahkan dan terus menjatuhkan diri sendiri? Nggak ada untungnya. Toh, gak ada yang bisa dan gamau nyemangatin kamu kalo kamu selalu nyaman dengan pemikiranmu sendiri. Saran orang jelas cuma omong kosong aja buatmu.' jelas Kafka panjang lebar.
' Kafka..' ucap lirih gadis didepan Kafka yang menatap Kafka makin sayu.
' Terserah kamu mau gimana. Toh, yang nyesel dan mengalami juga kamu. Tapi inget, semua cobaan pasti ada imbalannya. Aku percaya kamu kuat dan kamu bisa. Nantinya, pasti ada hal yang lebih indah dari ini dan aku yakin. Tapi, tunggu waktu yang tepat. Nggak harus sekarang,kan? Sekarang waktunya untuk berubah dan berproses. Seperti kamu, akupun harus berubah dan menjalan prosesku. Nggak cuma kamu, dir. Inget, kalo kamu sukses nanti, aku jadi orang pertama yang bangga banget sama kamu dan aku juga yang bakal berdiri paling depan atas keberhasilanmu. Bawa bucket bunga favoritmu, dan aku bakal peluk kamu seerat mungkin. Tagih aku kalo aku lupa, dan aku yakin aku ga bakal lupa. So, let's see.' ucap Kafka panjang lebar. Dira hanya bisa menahan air matanya yang kian menumpuk di pelupuk matanya. Kafka menyalakan motornya, bersiap untuk pergi. Kafka menatap Dira lembut seakan amarahnya telah mereda setelah apa yang ia katakan barusan. Kafka tersenyum sebisa mungkin, menandakan bahwa ia sudah tak mengapa. Dira membalas senyuman Kafka selebar mungkin yang memperlihatkan dua lesung indahnya. Kafka menyodorkan tangan, memberi isyarat bahwa ia harus segera beranjak. Dira menggeleng.
' Gamau nih?' ucap Kafka masih dengan menyodorkan tangan.
' Nggak, nanti nangis lagi,' ucap Dira dengan lirikan kearah tangan Kafka.
' Yakin? nanti nyesel.' ucap Kafka setengah mengejek dan perlahan memundurkan sodoran tangannya. Dira pun segera meraih tangan Kafka dan menyalami seperti biasa. Kafka terdiam, sebisa mungkin berlagak biasa saja atas tingkah Dira.
' Aku pulang.' ucap Kafka. Dira mengangguk.
' Hati-hati..' ucap Dira. Kafka membalas hanya dengan anggukan kecil dan langsung menancap gas.
Kafka menghela nafas dan melirik Dira melalui spion. Ia masih terdiam di posisi sedari beberapa detik lalu.
Kafka menghela nafas berat.
Kadang, ia merasa bersalah atas apa yang ia katakan. Namun, tak jarang jua ia merasa benar atas apa yang ia lakukan akibat perbuatan Dira. Kafka pun tak mengerti atas apa yang terjadi.
Yang Kafka tahu,
Ia sedang dilanda dilema.
Dilema atas apa yang terjadi, juga rasa yang ia miliki.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAFKA
Romance" Tak perlu meminta untuk menetap. yang sekadar singgah akan pergi, yang tersesat segera mencari jalan, yang dalam perjalanan akan segera datang. Aku, sedang dalam perjalanan pulang, singgah, hingga menujumu, rumah. ''