#15

125 3 0
                                    

Tadi malam, Kafka tak mendapat firasat apapun tentang Dira. Namun, pagi ini Kafka mendapat kabar bahwa Dira terjatuh dari tangga dan dilarikan ke rumah sakit. Kafka tak habis fikir mengapa sebegitu cerobohnya Dira. Kafka menunggu di sebelah Dira yang terbujur lemas dan sudah ditangani oleh perawat. Kafka menatap iba Dira. Untung saja tak ada luka serius.
Kafka menggengam tangan Dira. Dira masih memejamkan matanya dan nafasnya mulai teratur, tak seperti beberapa waktu sebelumnya. Kafka mulai berani dan terbiasa dengan rumah sakit, terlebih akhir-akhir ini. Ia terpaksa menginjakkan kaki dan berkelana kesana kemarin menyusuri tiap lorong rumah sakit demi Dira. Kafka memiliki trauma akan rumah sakit.
' Kafka..' ucap Dira lirik. Kafka menoleh, menatap wajah Dira yang pucat. Kafka mengelus rambut Dira.
' Hm?' balasnya lembut.
' Sakit, dada Dira sesek.' ucapnya masih dengan nada yang sama. Kafka menggenggam erat tangan Dira, berusaha menenangkan.
' Gapapa, kata dokter cuma shock aja. Kenapa bisa sampai jatuh?'
' Tadi dira laper, akhirnya Dira beli lauk di depan dan kaki Dira ternyata belum naik satu anak tangga, jatuh deh. Dadanya juga lumayan keras kena anak tangga..' jelasnya. Dira menggerakan kakinya pelan dan mengernyit ngilu. Kafka mengelus kaki Dira pelan.
' Jangan digerakin dulu, buat istirahat. Kakinya juga capek kan dari kemarin jalan terus. Pulang ini, istirahat dikos ya. Selama beberapa hari jangan kemana-mana. Nurut.' tegas Kafka. Kafka memang tegas perihal kesehatan Dira, apalagi Mama Dira sudah meminta tolong agar menjaga Dira.
Dira hanya menghela nafas menandakan bahwa ia hanya bisa pasrah. Mau tak mau, harus ia lakukan.
' Mbak, udah boleh pulang ya. Obatnya bisa diambil didepan. Semoga lekas sembuh, petunjuk konsumsi obat sudah tertera ya.' ucap perawat muda yang tiba-tiba menghampiri mereka.
' Terimakasih, sus.' balasnya ramah.
' Tunggu sini, aku ambil obatnya. Jangan kemana-mana.' tegasnya kembali. Dira mengangguk lemah.

Kafka membantu Dira berjalan, hingga ia mengantar sampai depan pintu kamar kosnya. Baru pertama kali ia melihat kamar kos Dira. Bercat kuning cerah dengan sprei bercorak kartun dan tak lupa disamping bantal ada Noya, kesayangan Dira selain Kafka yang Kafka beri saat ulang tahun kemarin.
Kafka segera menidurkan Dira. Membenarkan posisi Dira senyaman mungkin.
' Kapok?' tanya Kafka dengan tatapan datarnya seperti biasa.
Dira mengangguk. Dira tak banyak berkata apabila merasa ceroboh atau bersalah, dengan ujung menangis.
' Yaudah, lain kali hati-hati. Aku pergi dulu, gaenak juga sama bu kosmu kan. Nanti kalo kenapa-kenapa atau butuh apa, kabarin aku.' ucap Kafka. Dira menatap Kafka. Kafka tersenyum, menandakan bahwa ia tak marah akan perilaku ceroboh Dira.

Kafka mencium kening Dira lembut. Seketika, Dira meneteskan air mata, entah mengapa. Kafka segera mengusap air mata Dira, hal yang paling Kafka benci. Dira memeluk Kafka. Kafka bisa merasakan hangatnya peluk Dira.
' Hati-hati, nanti janji kita ketemu juga main lagi ya.' ucapnya sesambi menahan tangis.
' Ya jelas, masa iya nggak. Gamungkin juga gabakal ketemu. Toh, takdir Tuhan gabisa dipisahkan.' balas Kafka.
Dira mengusap air mata nya sendiri dan tersenyum.
' Aku pulang dulu, jaga kesehatan. I love you.' ucap Kafka. Lantas, Kafka pergi meninggalkan kamar Dira dan berniat untuk bersinggah ke WW.

Selama di WW, Kafka tak sesemangat biasanya. Entah apa yang terjadi padanya hari ini. Kafka tak banyak bicara, niat membuka ponselnya pun tak ada.
Dira, Apakah ia benar tak apa? Ah, alay. Cuma jatuh saja. batinnya. Kafka menepis jauh pemikiran negatif tentang dira.
Disaat Kafka sibuk menjauhkan pemikiran yang tidak-tidak, ia mencium bau parfum yang tak asing. Aroma yang menenangkan saat ia kesepian, juga aroma yang menjatuhkan.

Aca.
Gadis yang pernah ia beri hati melintas dihadapannya dan kini duduk bersebrangan dengan Kafka. Ingatan Kafka melayang saat dua minggu sebelum bertemu Dira. Kafka yang kecewa akan hati yang ia beri, dengan terpaksa harus menyudahi. Sebegitu besar rasa kecewa Kafka hingga merelakan hatinya patah untuk yang kesekian kali. Namun, Kafka tetaplah Kafka. Tak ada perubahan pada sikap atau raut wajah, masih tetap sama dengan sebelumnya.
Kafka merasa diperhatikan dari arah sebrang dengan alunan lagu yang semula tak ada 'makna', kini berubah menjadi 'makna'. Kafka benci suasana seperti ini. Kafka berdiri, mengambil dompet dan lebih memilih pergi.
' Lho, mau kemana? tumbenan cepet. Padahal baru aja dateng.'
Kafka tersenyum tipis kearah Mas Deri yang sibuk menghitung uang di meja kasir.
' Beranda, mas. Ditunggu yayak.' jawab Kafka.
' Pulang to dia?'
'  Udah lama mas, tapi baru sempet ketemu ini.' balasnya sesambi menyodorkan uang.
Aca menatap Kafka dari kursinya. Banyak yang membicarakan dan sering pula Kafka dengar bahwa Aca masih menaruh hati dengan Kafka.
Kafka segera menginjakkan kaki dari WW dan beranjak menuju Beranda Kopi, berharap ia bisa menenangkan hati dan pikiran nya yang kalut disana.

Perjalanan sore ini tanpa adanya suara dan sosok Dira. Aneh memang. Biasanya  ia tak apa menghabiskan waktu sendiri, namun semenjak ada Dira, seperti ada hal yang mengganjal. Kafka berusaha menetralkan segala yang ia rasakan hari itu. Ia sampai di Beranda Kopi dengan sambutan hangat dari kawan-kawan lamanya. Ya, benar adanya Yayak disana. Kafka segera memesan kopi latte dingin agar membantu mempercepat 'penetralannya'.
' Lho, Dira mana?' tanya Yayak yang duduk di kursi kayu depan kasir.
' Di kos, abis jatuh.' jawabnya sembari duduk disebelah Yayak.
' Dimana? Kok bisa?' balasnya. Yayak mengenal Dira baik, dan itu sengaja Kafka kenalkan agar Dira bisa berbaur dengan teman-temannya jika sedang kumpul bersama.
' Di kos, biasa lah ceroboh. Dari tangga dia jatuh.'
Kafka mengeluarkan ponsel dan belum ada notifikasi pesan dari Dira.
Kafka menghela nafas, ia sedang bingung akan dirinya sendiri. Tak biasanya ia seperti ini.
Kafka memejamkan mata sejenak, berusaha mencari tahu apa yang akan terjadi. Yang jelas, hanya keresahan yang bisa ia rasakan.
' Yak,' panggil Kafka kepada Yayak yang sibuk memainkan ponsel.
' Piye? (gimana?) ' jawab Yayak yang masih terfokus ponselnya.
' Gakpopo. (gakpapa)' balas Kafka. Yayak menoleh kearah Kafka diikuti Kafka yang juga menoleh ke arahnya. Kafka terdiam menatap sejenak kawan lamanya itu. Dengan segera, ia mengalihkan pandangan dan meminum kopi yang sedari tadi sudah ada dihadapannya.
Ddrrrtttt!
Ponsel Kafka bergetar di atas meja. Segera Kafka cek. Nama Diraku terpampang nyata di layar ponselnya.

' Kafka, besok Dira pulang ke Pemalang, disuruh mama check kesehatan disana, juga biar istirahat dirumah dulu. Mungkin sampai tahun baru. Tapi sebelum pulang, Dira mau jalan-jalan sama Kafka dulu, ya?'

Entah mengapa, Kafka merasa terhenyak membaca pesan tersebut. Padahal biasa saja. Ia pun mengerti bahwa Dira sangat rindu dengan rumah. Beberapa menit ia mematung, tak membalas pesan Dira. Bahkan, ia sama sekali tak berniat membalas. Namun, ia tak bisa. Ia tak mau hanya dengan hal yang ia fikirkan malah memperkeruh suasana.
' Iya, pulang aja. Dirumah juga bisa check kesehatan secara maksimal. Iya nanti sebelum pulang aku temenin. Kemanapun.' balasnya.
Tak membutuhkan waktu lama, Dira pun kembali membalas.
' Bener ya jalan-jalaan!' kembali muncul notifikasi dari Dira.
Kafka membalas mengiyakan dan pada akhirnya tak ada balasan lagi dari Dira. Dira bilang bahwa ia mengantuk, mungkin karena efek obat yang diminumnya.

Kafka menghela nafas. Tahun baru 2020 harus ia lewati sendiri, tanpa Dira. Walaupun sebenarnya tak masalah, namun Kafka juga manusia. Kafka ingin menghabiskan pergantian tahun dengan membuat kenangan indah dipenghujung tahun.

KAFKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang