Ada yang bilang menunggu itu sulit, dan memang Kafka mengakui itu. Apalagi menunggu waktu, lebih sulit dari apapun. Kemanapun ia cari, tunggu dan berharap semua kembali seperti semula. Bahkan jika Tuhkan mengizinkan, buatlah lebih baik dan indah.
Lama sudah Kafka tak berhubungan dengan Dira baik secara verbal maupun non-verbal. Ia tak lagi melihat foto Dira terbaru, atau hanya berbentuk sajak indah yang biasa ia rangkai serta musikalisasi puisi yang indah.
Kafka berusaha menjalani hari-harinya dengan selalu menyibukkan diri walau dengan skema yang sama, malam untuk pagi , pagi untuk malam. Ia bercengkrama dengan kawan di Beranda Kopi atau WW, melihat indahnya senja di Waduk Cengklik, atau menikmati segarnya Fanta Float di restoran cepat saji Slamet Riyadi.
Seperti waktu sekarang, ia duduk disalah satu restoran cepat saji menunggu Naya yang ingin bertemu dengannya. Naya bilang menyusul karena ada urusan terlebih dahulu dengan kawannya.
20 Menit sudah Kafka menunggu Naya, namun tak muncul jua tanda-tanda kehadirannya.
Kafka kembali memesan Fanta Float untuk yang kedua kalinya ketimbang ia bosan menunggu dan tak tahu harus apa.
Tak lama, Naya tiba dengan dress hitam selutut yang menurut Kafka mmmm- sedikit ketat dan seksi. Kafka mengalihkan pandangan sesaat, mencoba menetralkan pikiran.
' Boleh duduk? ' tanya Naya dengan nada manis. Kafka mengangguk, dan membenarkan posisi duduknya. Naya duduk dihadapan Kafka, dan menaruh tas selempangnya di meja. Lalu ia bangkit, berniat untuk memesan makanan dan minuman didalam.
' Udah abis dua?' ucap Naya melihat dua cup besar Float milik Kafka.
' Udahlah, lama sih kamu.' jawabnya dengan nada bercanda. Naya terkekeh mendengar jawaban Kafka.
' Mau pesen lagi? Biar sekalian,' ujar Naya. Kafka menggeleng.
' Gausah, kembung aku.' Naya mengangguk dan segera masuk.
Kafka membuka ponsel, mencoba meng-check sosial media nya barangkali ada tanda-tanda ke-aktifan Dira. Nihil, masih tak ada.
' Abis ini kemana?' tanya Naya sembari membenarkan dressnya.
' Loh? katanya kamu mau ngomong sama aku?' ujar Kafka keheranan.
Aneh, batin Kafka. Naya terlihat santai mendengar pertanyaan Kafka dan tersenyum kearahnya.
' Ya ngobrol, aku bosen di sekre. Nanti malem aku diajak temen ke bar, temenin aku mau?' ajaknya tiba-tiba. Kafka terdiam.
' Gamau ya? Aku nggak ada temen cowok.. tapi kalo gamau, gapapa. Aku sendiri aja.' balas Naya sembari menunjukan ekspresi agak kecewa. Kafka tak tega, pun ia tak mungkin meninggalkan temannya sendirian di bar. Terlebih, Naya perempuan.
' Yaudah ayo. Pulangnya gimana? Jam 10 kamu harus dirumah. Udah bilang Mama?' tanya Kafka.
' Aku udah pesen kamar di penginapan belakang Alila. Temen-temenku biasa disitu. Aku udah bilang Mama, aku bilang nginep dirumah temen.' jawab Naya. Kafka mengangguk, mengiyakan pernyataan Naya.
' Sekarang aja gimana? Aku tadi udah ditelfon temenku didalem. Udah jam setengah dua belas juga ini.' ajaknya. Kafka melirik jam yang melingkar di tangannya. Kafka kembali mengangguk dan segera meninggalkan tempat tadi bersama Naya menuju ke tempat yang telah Naya ucap tadi.
Selama diperjalanan pun hening. Tak ada percakapan. Naya terlihat sibuk dengan ponselnya, sedangkan Kafka hanya diam. Tak memikirkan apapun. Toh, niatnya untuk menemani Naya.
Sesampai disana, Naya dan Kafka langsung masuk ke Bar. Memang benar adanya teman-teman Naya yang tak Kafka kenal. Selama di Bar pun Kafka hanya diam, menikmati alunan disko dan sibuk membakar serta putung rokok. Ia pun meminum alkohol yang tadi Naya beri padanya. Kafka kuat akan alkohol, namun.. ada yang berbeda dalam minumannya. Badannya terasa panas dan pandangannya agak kabur.
Malam kini berganti dini hari, alunan musik khas dunia malam makin ganas, menyerukan lagu-lagu yang membuat makin 'panas' area Bar. Naya pun terlihat sempoyongan, juga pada Kafka. Namun, Kafka masih bisa menahan. Melihat Naya yang sudah tak karuan, Kafka segera berpamitan kepada teman-teman Naya dan membawa Naya ke penginapan yang sebelumnya Naya beritahu.
Sebisa mungkin selama dijalan Kafka memegangi tangan Naya agar ia tak terjatuh. Ucapan Naya sudah melantur, seperti bukan Naya yang biasanya. Tak jarang ia mengatakan hal-hal 'nakal' , terutama tentang Kafka. Kafka risih sebenarnya, tapi ia tak bisa berbuat banyak. Toh, wajar saja menurutnya, karena ia sedang dialam bawah sadar.
Sesampai di penginapan, Kafka langsung merebahkan Naya diranjang. Membenarkan posisi badannya yang menyamping kesana sini.
' Kaf..' ucap Naya dengan setengah desah. Naya mengalungkan kedua tangannya di leher Kafka, membawa bibir Kafka agar mendarat di bibirnya.
Kafka dengan sigap menjauhkan kepala. Kafka menatap Naya lekat.
' Aku pulang, nay.' ucap Kafka setengah menahan emosi. Ia tak mau Naya menjadi sasaran emosinya.
Naya menarik belakang kemeja Kafka, alhasil Kafka mendaratkan badannya di ranjang yang kemudian Naya bangkit dan mendudukan dirinya di paha Kafka. Kafka menahan nafas sekejap melihat keliaran Naya.
' Pergi.' ucap Kafka melihat Naya yang perlahan menggerakan badannya erotis. Kafka dengan perlahan tapi pasti mendorong badan Naya.
Naya tak menyerah, secepat kilat ia kembali menggerayangi tubuh Kafka.
Layaknya manusia pada umumnya dan lelaki normal, ia tak bisa menahan hasrat yang kian memuncak. Perlahan, Kafka mengikuti alur permainan Naya yang kian memanas hingga matahari terbit mulai menunjukkan eksistensinya.
*************************************************
Kafka terbangun dari tidurnya. Ia membelalakan matanya hingga mungkin bola matanya hampir keluar. Ruangan yang berbeda, bercak darah,dan.. kemana pakaiannya? Ia tertidur hanya berbalut selimut putih agak tebal. Kafka mengacak rambut nya kasar.
' Brengsek.' ujar Kafka yang tak kuasa menahan emosinya.
Drttrttrrrr!
Ponselnya berdering. Ia segera mengambil ponselnya yang tergeletak di meja. Terlihat banyak sekali notifikasi dari berbagai sosial medianya.
Ia membaca satu per satu pesan dari teman-teman yang rerata menyatakan keheranan akan apa yang Kafka unggah di sosial medianya.
Kafka makin membelalakan matanya.
Terlihat jelas unggahan foto dirinya bertelanjang dada dan berpose memeluk erat seorang wanita yang terbalutkan selimut. Kafka menggenggam ponselnya erat. Ia makin naik pitam.
' Bajingan.' ujarnya.
Ia melihat satu per satu siapa saja yang telah melihat unggahannya.
Bak disambar petir, Ia melihat nama yang sekian lama tunggu muncul di layar ponselnya. Dira telah melihat unggahannya.
Kafka dengan buru-buru membuka sosial media yang lain, dan matanya tertuju dari kontak bernama Dira. 3 pesan tertulis untuk Kafka.
' Hey,'
' Be happy, Kafka.'
'U really did well'
Kafka tak tahu akan membalas apa. Pun banyak sekali pesan yang menyatakan kebenaran unggahan nya semalam.
Kafka tak membalas pesan Dira dan yang lainnya. Matanya kini tertuju pada kontak bernama Naya. Ia menelfon Naya.
Panggilan nya berdering, namun tak terjawab. Ia lakukan berulang kali hingga akhirnya Naya mengangkat telfon Kafka.
' Bajingan.' hanya itu yang Kafka ucapkan. Tak ada balasan dari Naya. Hanya suara isak tangis yang terdengar.
' Ngapain nangis? Ancur semuanya, brengsek.' ujar Kafka untuk yang kedua kali.
Masih tak ada balasan dan Kafka segera memutus panggilan. Kafka tak bisa membendung emosinya, ia segera bebenah diri dan bangkit menuju kediamannta. Ia tak mau berlama-lama ditempat menjijikan yang menjadi saksi bisu mereka semalam.
*************************************************
' Mas..' ucap Papa saat Kafka baru saja tiba dirumah. Tatapan Kafka terlihat sangat emosi, yang mengakibatkan Papa Kafka mengurungkan pertanyaan.
' ..istirahat.' sambung ucapan Papa yang sempat terpenggal. Kafka melengos masuk dan menuju kamarnya. Tak tanggung tanggung, Kafka membanting pintu membuat seisi rumah kaget.
Papa hanya menghela nafas, berusaha memahami keadaan Kafka. Papa tahu apa yang sedang terjadi, mama juga begitu. Apakah mereka marah? tidak. Sama sekali tidak. Papa hanya merasa tak tega atas apa yang menimpa Kafka. Pun Papa paham betul anak bungsu nya tak mungkin berbuat hal gila diluar nalar.
' Bajingan!' teriak Kafka dari dalam kamar yang disusul dengan bunyi pecahan kaca.
Kafka menonjok cermin yang ada di lemarinya. Membuat punggung tangan Kafka berlumuran darah dan pecahan kaca berserakan. Kafka menatap penuh amarah pantulan dirinya di cermin.
Kafka mendudukan dirinya di pinggiran ranjang, mencoba menenangkan diri. Kafka memejamkan mata, mencoba mengingat apa yang terjadi semalam. Tapi nihil, sama sekali ia tak ingat apapun.
' Maaf...'
'...dir.' ucapnya lirih dan sempat terpotong. Diluar sadar seorang Kafka, ia mengeluarkan air matanya perlahan. Dadanya begitu sesak, seakan ia tak lagi kuat menahan semua.
Ia muak, bahkan sangat.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAFKA
Romance" Tak perlu meminta untuk menetap. yang sekadar singgah akan pergi, yang tersesat segera mencari jalan, yang dalam perjalanan akan segera datang. Aku, sedang dalam perjalanan pulang, singgah, hingga menujumu, rumah. ''