#36

101 3 0
                                    

Keadaan kian membaik pasca Bita bertemu Dira, dikatakan oleh Bita bahwa Dira menceritakan segudang kejadian setelah Kafka berubah. Kafka yang diceritakan oleh Bita hanya bisa mendengarkan dan melempar ingatan pada setiap kejadian lalu.
Yang menarik, Dira mengatakan bahwa Dira sangat ingin bertemu Kafka tapi ia tak bisa. Ia tak mau Kafka kecewa akan keadaannya sekarang walaupun Dira tahu itu mungkin bukan urusan Kafka dan malah tak pernah terfikirkan dibenak atau pikiran Kafka.
Kafka hanya tersenyum mendengar pernyataan Dira.
Masih belum berubah juga ya, dir. batin Kafka.
Esok, ia akan mengajak Dira bertemu yang tentunya hanya empat mata saja.
Kafka telah memulai kembali obrolan mereka di sosial media sore tadi. Ia menanyakan keadaan Dira dan bagaimana kabarnya.
Dira pun masih sama seperti dahulu. Menjawab sepersekian detik setelah Kafka membalas.
Awalnya, memang Dira tak mau bertemu Kafka. Banyak sekali alasan yang tentunya tak membuat Kafka berserah diri atau pasrah. Kali ini, Kafka tetaplah Kafka yang egois. Ia harus mewujudkan keinginannya bertemu dengan Dira daripada ia mati kaku terbawa rindu.

Hari yang ditunggu Kafka pun datang. Hari Rabu, pukul 7 malam di Thamrin Coffee, tempat dimana ia bercengkrama dahulu. Dira bilang tak ingin dijemput, dan Kafka meng-iyakan. Kafka datang sepuluh menit lebih cepat tanpa memesan apapun. Ia ingin memesan bebarengan dengan Dira. Ia berpakaian rapi seperti biasa, hanya saja kini tak ada rambut bebek secara fisik, karena sudah mulai gondrong, seperti keinginan Kafka. Tak lama, mobil hitam ber-plat AD tiba di depan kedai kopi. Sosok Dira pun muncul dengan senyuman ramah ditujukan kearah sang supir yang ternyata ojek online. Dira menghampiri Kafka dengan senyum hangat, berujung cengiran khasnya.
' Hehe,' kata pertama yang Kafka dengar dari mulut Dira. Kafka tersenyum melihat Dira. Ingin rasanya ia segera membawa Dira kepelukannya, bahkan tak berniat untuk melepas.
Dira duduk didepan Kafka, lalu menunduk. Menyebabkan poni panjang hitamnya hampir menutupi wajah Dira.
' Karetin, ga keliatan' ujar Kafka membenarkan rambut Dira. Dira mengangguk dan segera mengeluarkan karet kain kecil.
' Kafka sehat?' tanya Dira. Kafka mengangguk dan seperti biasa ia membanggakan diri didepan Dira dengan menepuk dadanya bangga.
' Sehatlah, jagoan.' ucapnya. Dira terkekeh melihat tingkah Kafka.
' Kafka..' ucap Dira dengan suara rengekan. Kafka menatap lembut Dira.
' Hm?' balasnya. Mata Dira tiba-tiba seperti menahan sesuatu yang ingin meluncur dari penglihatannya.
' Mau nangis,' lirihnya dengan cengiran. Kafka mengacak rambut Dira pelan, menandakan ia sangat merindukan Dira.
' Nangis terus.' balasnya seperti dahulu.
' Biarin, aku kan emang cengeng.' ujar Dira. Kafka melebarkan kedua tangannya, seperti menawarkan Dira untuk kepelukannya.
Dira menggeleng.
' Nanti nyesel,' ucap Kafka masih dengan posisi
sebelumnya.
' Nantiiiiiii-!' balas Dira. Terlihat semburat merah menghiasi pipi Dira, merupakan salah satu hal yang Kafka rindukan.
' Hilih, abing raimu le' balas Kafka melihat tingkah Dira.
Selama di thamrin, mereka tak membahas sesuatu yang pahit. Dira pun tak menanyakan perihal kejadian lalu Kafka dengan Naya.
' Kafka, mau Dira ceritain sesuatu?' tawar Dira. Kafka mengangguk.
' Dira bipolar affective.' ujar Dira yang membuat Kafka sebenarnya agak kaget, namun sebisa mungkin ia tak menunjukan itu.
' Lalu?' balas Kafka. Dira menghela nafas.
' Capek juga ya terapi, padahal cuma ngobrol sama ngisi tes gitu.' kembali ucapnya. Kafka menggengam tangan Dira hangat.
' Gapapa, nanti kalo terapi lagi bilang ya. Aku temenin.' ucap Kafka. Dira mengangguk, mengiyakan tawaran Kafka.

Kembali, hangatnya malam Kamis terasa dibenak Kafka dan Dira yang telah lama terhalang oleh pembatas yang bernama jarak. Kafka sebisa mungkin membayar perlahan perlakuan kasarnya dahulu, pun Dira semampu mungkin menyiram rindu dengan renyah tawa dan senyum Kafka. Mereka ukir malam pertama pertemuan mereka hingga dini hari, bahkan setelah adzan subuh berkumandang. Lelah? Bosan? Sama sekali tidak. Seperti dahulu atas apa yang sering mereka lakukan.
Kafka bisa merasakan hangatnya peluk Dira melingkar di pinggangnya. Bahkan, bahu Kafka terasa ada sandaran dari kepala Dira yang melepas helmnya tadi.
Kafka mengelus punggung tangan Dira yang kian erat melingkar. Tak jarang jua ia menepuk lutut Dira.
Kafka dan Dira mengitari seluk beluk Kota Surakarta di malam hari yang membuat Dira terisak di punggung Kafka. Ia tahu begitu berat dan banyak nya kejadian yang menimpa Dira, dan sebenarnya tak hanya ia saja.
Kafka mengantar Dira pulang tepat setelah adzan subuh berkumandang pertanda kos Biru telah dibuka. Kafka mengantar Dira dengan rentetan cerita disepanjang perjalanan. Dira pun tak kalah banyak menimpali cerita yang ia kumpulkan. Persetan dengan masa lalu,
Kini Kafka akan memulai, lagi, sesuatu yang baru dengan Dira. Berusaha sebisa mungkin ia melupakan bahkan meninggalkan hal konyolnya dulu.
Apa yang jadi pintanya telah kembali, dan ia yakin, Tuhan meridhoi.

KAFKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang