#30

99 3 0
                                    

Kafka tak lagi mendapat kabar dari Dira setelah pertemuan terakhirnya di bandara beberapa hari lalu. Hingga sekarang pun ia tak ada komunikasi lanjut dengan Dira. Sosial media Dira pun tak menunjukan tanda-tanda bahwa ia aktif.
Bucket bunga pemberian Dira, Kafka simpan sebaik mungkin. Ia letakkan di meja dekat ranjangnya, bersebelahan dengan bingkai foto yang berisi foto mereka, yang dahulu Dira cetak sendiri.
Kafka menatap foto mereka, terutama ke wajah sosok gadis disebelahnya.
Kafka memejamkan mata, menghembuskan nafasnya berat. Berharap tak terjadi sesuatu kepada Dira.
Berhari-hari, minggu, hingga hampir satu bulan tak ada kabar mengenai Dira. Nando, Cika, Bita dan Bila pun tak mengerti kabar Dira. Bahkan Kafka sempat bertanya dengan Ardi, Beks, dan Rian, sahabat Dira dikelas yang kerap menemani hari Dira saat tak bersama Kafka. Mereka pun tak mengetahui kabar Dira. Dira sudah tak terlihat masuk kelas setelah kejadian beberapa minggu lalu, bertepatan dengan pertemuan Kafka dan Dira di bandara.
Kafka memiliki kontak Mama Dira, namun ia  tak menghubungi Mama Dira. Tak tahu mengapa alasannya.
Berkali-kali ia tepis pemikiran jelek yang kerap hinggap di otaknya. Kafka harap, Dira hanya sakit biasa jika memang ia sakit, dan jangan sampai ia terkena sesuatu hal aneh atau bahkan hingga tak masuk akal.
' Dir.'
' Dira.'
' Tumbenan off, sibuk?'
Hampir sebulan Kafka tak menghubungi Dira langsung, dan baru kini Kafka menghubungi Dira. Kafka menunggu balasan dari Dira disetiap menit,jam bahkan harinya. Masih tak ada tanda-tanda aktif dari sosial media. Ia mencoba menelfon pun ponselnya tak aktif.
Akankah ponselnya hilang? atau rusak? pikirnya.
Namun sepertinya tak mungkin. Dira tergolong mampu dan ia tak mungkin kuat selama ini tak bermain ponselnya.
Kafka mengacak rambutnya kasar, berharap ia mengerti kabar Dira. Perasaannya tak karuan.
Ponsel Kafka berdering, menandakan adanya notikasi. Segera ia membuka ponsel dan notifikasi.
Naya. Ia menghembuskan nafas.
' Kamu dimana?'
' Ayo keluarrrr. Nando sama Cika ngajakin nih.'
Kafka terdiam membaca pesan Naya. Kafka melihat pantulan dirinya sendiri pada cermin yang melekat di lemari besarnya.
Aku kenapa? batinnya. Dada bidang nya yang tegap menghiasi cermin ditambah rambut yang acak acakan terlihat menandakan bahwa ia sedang frustasi.
Kafka kembali membuka ponselnya.
' Dirumah. kemana?' balas Kafka.
' Kayanya ke cafe, gimana? ' kembali Naya membalas. Kafka kembali menatap pantulan dirinya sejenak di cermin dan segera bersiap ke tempat yang telah dikatakan Naya.
************************************************
Kafka langsung menuju ke tempat yang telah ditentukan, ia tak menjemput Naya. Kafka malas, entah mengapa.
Sampai ditempat pun Kafka tak banyak bicara, hanya beberapa saja ia menimpali perbincangan teman-temannya. Kafka lebih fokus meminum kopi latte dingin dan mendengarkan musik yang diperdengarkan.
Pamungkas - One Only.
Lagu yang makin membuat pikiran Kafka kacau. Lagu yang sering Kafka dengar dan melantunkan dengan indah bersama Dira. Entah mengapa ia menjadi kacau, padahal dulu ia sangat tak perduli akan Dira.
Kafka menopang kepalanya dengan kedua tangannya, berusaha mengontrol perasaan yang bergejolak di benaknya.

Start countin' all the days
forever i will stay with you
with you and only you

Lirik yang makin membuat Kafka geram akan dirinya sendiri. Nando dan Cika tak berani mengganggu Kafka yang terlihat sedang tak baik keadaanya. Naya menatap Kafka dari tempat duduknya. Otot wajah Kafka terlihat menegang, yang makin memperlihatkan bahwa ia sungguh memikirkan sesuatu yang berat.
Naya menepuk bahu Kafka,berusaha menenangkanna. Nando memberikan isyarat pada Naya bahwa Kafka tak apa.
Kafka bangkit dari kursinya dan segera meninggalkan mereka tanpa sepatah kata. Naya melihat Kafka dari kejauhan, diikuti Nando dan Cak. Terlihat jelas bahwa Kafka memikirkan Dira. Naya tahu itu. Naya bisa melihat dengan jelas di raut wajah Kafka, dan tak jarang juga Naya memergoki Kafka sedang membuka galeri dan melihat foto juga video mereka dahulu.
Naya menghembuskan nafas pelan. Ternyata, ia harus merasakan apa yang Kafka rasakan dahulu.
Ya, bisa dibilang ini karma bagi Naya.
Naya menyesal? jelas.
Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Toh, bahagia Kafka bukan bersama Naya, tapi Dira.
*************************************************
Dengan sabar Kafka menanti tanda-tanda munculnya Dira di media sosial. Masih tetap tak ada jawaban. Hanya satu centang abu-abu yang setia menghiasi kolom percakapan mereka. Kafka kerap melewati area depan kos biru jelek, bahkan mangkir di depan angkringan kos Dira, berharap ia bisa menemukan sosok Dira keluar dari kos dengan cengiran khasnya.
Kafka tak bisa menahan segala yang ia rasakan. Rindu? mungkin..tidak. Ia hanya tak bisa menahan rasa penasaran perihal sosok Dira yang entah kemana. Ia khawatir? sedikit.
Kafka terus menerus menepis pernyataan dirinya sendiri bahwa ia merindukan, khawatir ataupun itu yang berkaitan dengan Dira.
Tapi,
Tidak.
Ini tak masuk akal.
Mengapa sampai seperti ini?
Menjijikan. Ini bukan Kafka.
Kafka masih menunggu akan sosok Ivana Nadira muncul di hadapannya, atau sekadar tahu bagaimana kabarnya. Ia hanya ingin tahu itu saja, tak lebih.

Mungkin, ini yang Dira rasakan dulu.
Menelan rasa yang terpendam,
Menarik paksa asa yang ada.
Hampa.
Kebisingan sekitar tak membuat kita terhibur sedikitpun.
Aku.. hanya ingin memastikan jika dikabulkan.
Tapi jika diberi kesempatan,
aku ingin mengejar dan menahan, lalu ku rengkuh dalam pelukan.

KAFKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang