Waktu kian cepat berganti hingga malam menunjukkan pukul 19.20 wib. Kafka sudah berada di kos Dira dan kini Dira tengah membawa barang-barang yang telah disiapkan sedari siang tadi. Kafka terlihat membawa satu backpack saja dan waist bag kesayangannya. Sedangkan Dira? Jangan tanyakan itu.
'Capek.' keluh Dira sambil menghampiri dan duduk disebelah Kafka yang sedang asik merokok. Kafka menoleh, menyesap batang rokok dan menghembuskan asapnya.
' Bawanya kebanyakan itu. Bawa yang penting-penting aja.' ucapnya santai.
' Itu penting semua,'
' Sebanyak itu?' ucapnya kembali. Dira mengangguk.
Ponsel Dira berdering. Travel yang Dira pesan telah menjemput mereka. Kafka segera membuang puntung rokok dan membawa barang-barang berat Dira dan miliknya. Segera mereka menaiki Travel yang sudah bersedia menjadi jasa pengantaran pulang.Dira dan Kafka pulang dengan tiba-tiba. Dira bilang, agar menjadi kejutan untuk Mama. Disepanjang jalan, Kafka dan Dira berbincang dengan metode bisikan, mereka takut mengganggu penumpang yang lain. Kafka menggenggam tangan Dira yang dingin akibat pendingin kendaraan tersebut. Dira terlihat mengantuk, Kafka pun membenarkan posisi dan membawa kepala Dira kebahunya agar ia bisa tidur dengan nyaman. Dan benar, tak berapa lama Dira tertidur lelap. Wajahnya samar terlihat akibat bantuan cahaya dari penerangan jalan yang dilintasi. Kafka membenarkan rambut Dira yang menutupi sebagian wajahnya dengan lembut. Lelah, tergambar jelas diwajahnya. Wajah yang selalu menujukkan ekspresi ceria namun menyimpan seribu dusta.
Kafka memalingkan wajahnya kearah jalanan. Terkadang menatap indahnya langit malam yang dihiasi bintang dan terangnya bulan. Entah mengapa, perasaan Kafka senang. Antara berkesempatan pergi ke luar kota dan mencari suasan baru, atau.. bertemu dengan keluarga inti Dira. Entahlah, yang jelas, Kafka senang.Malam semakin larut dan perjalanan pun terhenti di rest area kota Weleri. Dira masih tertidur lelap, namun mau tak mau, ia harus membangunkan Dira.
' Bangun, mau pipis nggak? atau makan? ' ucap lembut Kafka pas ditelinga Dira. Kafka menepukkan pipi Dira pelan agar Dira terbangun.
Dira menggeliat dan perlahan membuka matanya.
' Sampe dimana?' tanyanya lirih. Matanya masih sempat memejam kembali dan berniat untuk meneruskan mimpi, namun segera Kafka tepuk kembali pipinya.
' Weleri. Ayo maem atau pipis. Atau turun aja, mau ngerokok.' bisik Kafka. Dira akhirnya membuka matanya dan menggeliat pelan. Kafka yang sudah melihat Dira bangun, segera turun dan membantu Dira yang masih sempoyongan. Kafka mendudukan Dira dibangku luar rest area. Kafka duduk disebrang Dira dan mengamati gerak geriknya. Kafka membakar dan kembali menyesap rokok, melihat sekitarnya. Ramai. Banyak sekali pengunjung yang merehatkan diri.
' Kafka, aku mimpi'
' Tentang?'
' Kamu,'
' Gimana?'
' Jadi tadi aku mimpi tentang kehidupan gitu, lupa aku. Tapi ada Kafka nya juga. Yang aku inget, Kafka elus rambut Dira, dan yagitu deh,' tuturnya.
Kafka menahan tawanya. Bodoh, batinnya.
Entah ada dan fikiran apa, semburat merah terlihat jelas di muka Dira seketika. Dira menatap Kafka. Kafka membalas menatap dan segera Dira memalingkan wajah, berusaha mengalihkan pandangannya dari lelaki 21 tahun yang ia jatuhi hati.' Mukamu merah.' ucap Kafka seketika melihat perubahan yang terjadi. Dira gugup. Ia berusaha berani menatap Kafka.
' Kan ngantuk,' jawabnya asal.
' Muka, bukan mata.' bantah Kafka.
' Sama aja, kan satu area wajah.' bela nya. Kafka tertawa melihat gelagat konyol Dira.
' Kafka ga laper?' tanya Dira dengan celingukan ke kanan juga kiri yang ramai.
' Ga laper, kan udah bawa jajan juga.'
' Kan jajan, beda sama nasi.'
' Sama aja. Tetep ga laper, kan tadi dirumah juga makan. Mama masak.' ungkapnya. Dira mengangguk.
Hening. Tak ada percakapan yang terjadi walaupun saling bertatapan. Mereka sibuk menikmati dinginnya malam dan bergelut dengan fikiran masing masing.
' Oh iya aku lupa tanya, udah ijin papa mama?' tanya Dira memecah keheningan.
' Belum.' balasnya. Dira langsung membelalakan matanya mendengar ucapan santai Kafka.
' Ngawur! Ijin dulu!' perintah Dira dengan nada tegas. Dira takut difikir yang tidak-tidak dengan orangtua Kafka walaupun Dira tahu pasti dibolehkan, pun karena Kafka tidak bisa dilarang.
' Nanti, gampang.' singkatnya santai. Dira melotot menatap Kafka mendengar ungkapan santai Kafka untuk kedua kalinya.
' Ih ijin dulu.' pinta Dira. Kafka menghela nafas dan lebih memilih mengalah. Kafka meminta izin kedua orang tuanya melalui chat, dan sebenarnya, Kafka sudah izin saat selesai bersiap-siap tadi pagi. Memang benar, Kafka diberi izin. Pun orangtua nya percaya bahwa Kafka akan baik-baik saja disana.
Kafka yang berniat mengerjai Dira malah harus meminta izin untuk kedua kali agar Dira percaya.
Tak lama, ponsel nya berdering dan tertera nama 'Papa' dilayarnya yang mengatakan 'Iya'. Hanya Iya. Secuek itu. Dan Kafka tak masalah.
' Tuh,' disodorkan layar ponsel Kafka kehadapan Dira. Dira mengangguk dan mengacungkan jempol.
' Pinter!' cengirnya.
'Yuk masuk, kayanya udah pada selesai.' ajak Dira untuk kembali masuk ke Travel. Kafka menyetujui dan langsung mengikuti Dira dibelakangnya.Kembali, hanya bunyi kendaraan yang saling beradu kecepatan sebagai teman Kafka selama perjalanan. Ditambah, syahdunya lantunan lagu yang ia dengarkan melalui headset yang sedari tadi mengiringi setelah Dira kembali tertidur di bahunya.
Kafka menikmati indahnya perjalanan. Ia berniat untuk menuliskan segala kenangan dan kisahnya di kota Dira dilahirkan melalui note book yang selalu ia bawa.
3 jam telah berlalu dan kini telah sampai di kota Dira di besarkan. Pemalang, kota kecil yang menjadi salah satu bagian dari Karasidenan Jawa Tengah. Kota kecil yang belum pernah sama sekali Kafka dengar, sangat asing di telinga Kafka.
Kafka terpaksa membangunkan Dira untuk menjadi pemandu menuju rumahnya. Dira memandu sang supir yang terlihat lelah. Berkat panduan yang diberikan Dira, tepat pukul 00.30 wib mereka sampai didepan kediaman Dira. Bercat abu-abu dengan kombinasi merah, serta pagar hitam yang kokoh. Semua terekam jelas untuk Kafka memulai cerita nya di kota orang.
Dira mengetuk pintu pagar. Tak ada respon. Pastilah mama dan papa sudah tertidur lelap, apalagi kamar beliau terletak dibelakang. Dira mencoba menelfon Mama, tak ada jawaban.
' Mamaaaaa, anaknya pulang!' teriak Dira dengan sekencang mungkin. Masih tak ada jawaban. Dira mendengus kesal.
' Telfon papa.' ucap Kafka sesambi menata lilin di atas empuknya brownies yang sore tadi mereka beli bersama.
Dira menelpon Papa. Nihil. Dira kembali meneriaki dengan panggilan Mama. Hingga akhirnya, Om Limun, petugas kompleks yang berjaga malam itu menghampiri.
' Lho, dikunci mbak?' tanya beliau dengan suara khas medoknya.
' Iya,om. nggak dibukain daritadi.' ucap Dira dengan raut wajah kesal. Om Limun pun berusaha membantu Dira dengan memanggil nama panggilan Mama.
' Permisi, Bu Joko,' saut om Limun yang diikuti Dira.
' Mamaaa, buka. Anaknya pulang loh.'
5 menit setelah sesi 'memanggil' , munculah sosok wanita paruh baya yang telah membesarkan Dira. Mama Tuti, begitu Dira memanggil beliau.
Dengan wajah kantuknya, beliau kaget melihat Dira yang tengah malam pulang dengan membawa barang.
Kafka pun berdiri dari posisi yang sebelumnya duduk di jalanan aspal sambil menata roti, segera mungkin merapikan dan bersalaman kepada Mama Dira.
' Pulangnya pasti dadakan, kan tidurnya juga dibelakang makanya ga kedengeran.' ucap Mama. Dira tertawa melihat mama. Lantas, om Limun berpamitan untuk melanjutkan berkeliling mengawasi dan segera Mama mempersilahkan Kafka masuk.
Kafka dan Dira menaruh barang-barang diruang tengah dan segera mungkin menyiapkan kejutan kecil-kecilan yang telah di agendakan.
Mama dan Papa berada di dalam kamar, dan di waktu tersebutlah Dira dibantu Kafka mengeluarkan kado dan roti yang dihiasi lilin mungil.
Dira membawa roti dan Kafka menyiapkan dokumentasi.
' Mama, selamat ulang tahun ya.' ucap Dira sesambi membuka pintu kamar Mama. Kafka tersenyum manis melihat Mama Dira.
' Tante, selamat ulang tahun.' ucapnya manis nan lembut.
Mama Dira terlihat menahan air mata yang kemudian disambut senyuman hangat Papa Dira kearah Kafka. Kafka segera menyalami Papa Dira dengan sopan.
' Maaf ya, mas Kafka. Dek Dira ngerepoti ya sampe bawa mas kesini.' ucap Papa Dira merasa tak enak dengan Kafka yang terlihat lelah.
' Nggak apa-apa om. Saya juga senang bisa dikasih kesempatan main kerumah, mohon maaf mengganggu ya,om.' tutur Kafka dengan santun. Kafka menyalami Papa Dira dengan sopan dan direspon sangat hangat oleh kedua orang tua Dira.Ya, Kafka iri melihat hangatnya keluarga Dira.
Kafka berharap, kelak ia bisa melakukan apa yang Dira lakukan.
Dengan senyuman, dengan pelukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAFKA
Romance" Tak perlu meminta untuk menetap. yang sekadar singgah akan pergi, yang tersesat segera mencari jalan, yang dalam perjalanan akan segera datang. Aku, sedang dalam perjalanan pulang, singgah, hingga menujumu, rumah. ''