#25

83 2 0
                                    

Berhari-hari Kafka habiskan waktu bersama Naya setelah pertemuan pertama mereka di kedai kopi. Kafka yang terkadang menjemput Naya lama kelamaan diketahui oleh Mama Naya, Tante Rani.
Hampir setiap hari Kafka habiskan waktu dengan Naya, dan juga kawan lainnya walaupun sekadar ngobrol santai ataupun berdiskusi serius. Kafka benar-benar nyaman akan dirinya saat ini, bisa menghabiskan waktu dengan manusia usia sebayanya, mengekspresikan segala hal yang sempat hilang, bahkan ia bisa mengenal 'rasa' walaupun hanya sekejap.

Yang patah tumbuh, yang hilang berganti, yang hancur lebur, akan terobati.
Yang sia sia, akan jadi makna.

Kafka setuju akan kutipan lirik diatas bahwasannya hidup tak selamanya indah, kadang manusia diharuskan terjun ke fase rumit dan dipaksa menyelami. Tenggelam atau tidaknya, bergantung dari usaha.

Seperti hari kemarin, kini Kafka tepat berada di depan kediaman Naya. Terlihat, Naya sudah siap dengan pakaian casual yang fit di tubuhnya. Kafka tersenyum saat Naya menyapa seperti biasa.
' Udah makan belum?' ucap Naya sembari naik ke boncengan Kafka. Kafka menggeleng, ia tak berminat sama sekali mengisi perutnya dengan makanan, minum saja cukup bagi Kafka untuk hari ini.
' Kenapa?' kembali tanyanya. Naya melirik Kafka dari spion motor, melihat wajah serius Kafka yang sedang berkutat dengan ramainya kendaraan yang melintas di rel Stasiun Purwosari.
' Males.' ujarnya. Merasa dilirik Naya, Kafka hanya menaikan satu alisnya sembari menatap Naya yang kian menatapnya lekat.
' Tau, aku ganteng. Anjir emang ganteng banget Kafka.' ujarnya dengan penuh percaya diri. Naya tercengang seketika mendengar ucapan Kafka, lantas memukul bahu Kafka pelan.
' Pd banget, ih!' ucap Naya malu-malu. Kafka terkekeh geli melihat tingkah Naya yang lucu, menurutnya.

Senja kala itu kembali menyinari bumi dengan indahnya. Menemani Kafka menutup hari dengan segala canda tawa di sepanjang jalan antar kota Solo. Saling memberi asa dan perlahan mengisi rasa membuat dua insan yang tengah di dekatkan Tuhan kembali merasakan indahnya kasmaran.
Perlahan, tangan Naya mulai berani melingkar di pinggang Kafka. Kafka pun menyadari itu dan mendiamkannya. Ia tak masalah, pun ia nyaman akan perlakuan Naya. Naya terkadang menyandarkan kepalanya di bahu sembari tertawa riang. Pun Kafka yang awalnya hanya membalas cuek dan terkadang diam, kini mau berbincang banyak dengan Naya.
Pukul 18.09 wib , mereka pun tiba di angkringan daerah Manahan. Seperti biasa, Kafka memesan dua nasi bandeng dan gorengan bakar juga es kampul. Naya memesan es kampul saja, karena ia memang tak terlalu suka makan diluar. Ia hanya suka makan masakan Mama nya.
' Nay,' ucap Kafka tiba-tiba. tapi tak ada sautan dari yang dipanggil.
' Naya,' kembali Kafka memanggil.
' Ey?' saut Naya. Naya tersenyum melihat Kafka yang kini tengah menatapnya.
' Gapapa' jawab Kafka. Kafka kembali melanjutkan  mengunyah makanan yang baru saja masuk. Kafka melihat sekeliling, suasana yang sama kala ia duduk bersama sesosok gadis yang entah dimana ia sekarang. Kafka melayangkan pikirannya kembali ke beberapa minggu lalu, disaat ia masih bersama Dira. Kafka menatap Naya.
' Dir,'
Naya berbalik menatap Kafka.
' Dir?' tanya Naya sesambi melihat tatapan aneh Kafka.
' Dira,' panggil Kafka untuk kedua kali dengan nama yang sama. Naya terhenyak mendengar nama yang terlontar dari mulut Kafka.
' Dira.. siapa?' ucap Naya sembari menatap Kafka lebih dalam. Beberapa detik kemudian, Kafka tersadar dari lamunan.
' Apa?' tatap Kafka kearah Naya. Naya terdiam. Hening, tak ada percakapan yang berlanjut.
' Ko diem?' kembali Kafka bertanya. Kafka tak merasakan apapun, namun.. mengapa ia merasakan hal aneh?
' Aku kenapa?' kembali ia bertanya untuk yang kesekian kali. Naya menahan nafas nya lalu membuang perlahan, dan memperlihatkan senyumnya. Senyum yang sengaja ia buat untuk menahan rasa sedih akibat mendengar nama yang dilontarkan Kafka barusan.
' Kamu rindu.' jawab Naya. Jantung Kafka seketika terasa berhenti beberapa detik.
Rindu? batinnya.
Kafka membenarkan posisi duduknya yang tak nyaman, menatap Naya yang tanpa sadar menunduk didepannya.
' Rindu siapa?' balik tanyanya. Naya melirik Kafka, dan melirik ke arah notifikasi pesan dari nama Dira. Seolah mata Naya memberi jawaban akan pertanyaan Kafka.
Kafka memutar bola matanya malas melihat kode mata Naya.
' Apaan ' balas Kafka.
' Gengsi banget, ngaku aja kali.' ujar Naya santai. Naya menghembuskan nafasnya berat, seberat perasaanya sekarang. Entah mengapa ia tak suka saat Kafka memanggil nama 'Dira' atau dengan mata kepala nya sendiri ia melihat nama Dira muncul dilayar ponsel Kafka.
Kafka melirik kearah ponsel, melihat jam yang tertera menunjukkan pukul 20.08 , tak terasa lamanya ia berbincang empat mata dengan Naya.
Tak banyak pembahasan sebenarnya, terkadang suasana menjadi hening jika Kafka yang tak memecahnya. Kafka membenarkan jaket jeans denim nya, berusaha santai seperti biasa.
Mengapa terasa kosong?
Apakah ini hanya pikiranku saja atau memang kosong?
Bukan, bukan pikiran. Aku masih bisa memikirkan hal lain yang lebih bermanfaat.
Namun,
ini apa?
Masih saja terasa kosong.
Menyebalkan.

KAFKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang