#9

210 5 0
                                    

Kos Biru Jelek berdiri kokoh dihadapan dua insan yang beberapa menit lalu telah sampai tujuan. Dira mengerjapkan mata. Kafka melirik Dira bak mengirim kode tanya mengapa ia tak turun lalu segera rehat.
Dira perlahan bangkit dari posisi, merapikan baju lalu turun dari kendaraan yang menjadi saksi tiap perjalanan kisah mereka.
' Langsung pulang? ' ucap Dira dengan tatapan sayunya.
' Iya, udah terlalu larut juga. Besok malem juga pulang kan? ' timpal Kafka sembari membenarkan kaca spion si kuda. Dira membelalakan mata dengan diikuti gestur membentuk O pada mulutnya.
' Oh iya pulang! Aku hampir lupa! ' jawabnya.
Kafka memutar bola matanya malas. Dira memang pelupa, bahkan sangat. Tak seperti Kafka yang selalu ingat segala hal walaupun itu kecil atau mungkin tak penting.
' Aku juga belum beli tiket travel, kereta juga abis gak ya? Duh ' sambungnya lagi. Kafka mengelus kepala Dira lembut, lalu menggelengkan kepala.
' Tiketnya masih. Tapi aku mau coba pake travel aja, kayanya enak.'
' Iya bener! Kalo gitu, aku pesen sekarang aja deh.' balasnya semangat. Tanpa babibu, Dira langsung membuka gerbang dan hampir menutupnya. Tak lama, ia sadar bahwa masih ada Kafka didepannya. Kafka terdiam melihat tingkah Dira. Dira yang merasa diperhatikan seketika kembali mengerjapkan mata sejenak dan segera membuka kembali pintu gerbang hitam. Dira mendekati Kafka, dengan cengiran khasnya.
' Hehe lupa, belum pamitan '
' Udah sana masuk. Santai. ' singkat Kafka. Dira mengangguk.
' Tos dulu!' pinta Dira. Kafka tersenyum tipis dan mengiyakan ajakan Dira untuk melakukan 'ritual' yang notabene nya wajib dilakukan sebelum pulang. Pun akhirnya, Dira segera kembali masuk ke dalam kost. Sebelum benar-benar menghilang dari pandangan Kafka, Dira sempat melambaikan tangan. Hal itu sangat rutin Dira jalani apabila akan berpisah sementara waktu dengan Kafka.

Beberapa detik kemudian, punggung gadis tersebut menghilang dari pandangan. Kafka menghela nafas. Menatap kearah langit pukul 01.45 Kota Surakarta yang cerah akan sinar rembulan. Indah.
Kafka menghela nafas. Ia memikirkan sesuatu yang mengganjal hati, namun ia tak tau apa itu. Yang jelas, sangat membuat tak fokus dan Kafka benci firasat seperti ini. Selalu saja ia rasakan apabila suatu hal akan terjadi, dan akhirnya menjadi nyata. Aneh, tapi memang realita berkata seperti itu.

Kafka lahir dengan keadaan yang 'istimewa'.
Ia bisa melihat 'mereka' dan merasakan apa yang akan terjadi. Kafka sebut, itu bocoran rencana Tuhan.
Menyenangkan? jauh dari kata tersebut.
Kafka berharap, perasaan yang mengganjal kini tak menjadi kenyataan.
*************************************************
' Mas, bangun! Mas Kafka bangun! '
' Kafkakuk bangun! '
' Bangun bro bangun! '
Awal yang buruk bagi Kafka. Suara kedua adik kembar yang sangat ia sayangi merusak kenyamanan Kafka pada cerahnya Senin pagi. Kafka berdecak kesal dengan keadaan setengah sadar.
'Banguuuuuuun!' serempak teriakan terdengar dari bocah yang sama.
Kafka membuka matanya secara tiba-tiba dah langsung melempar bantal ke arah jendela dimana kedua adiknya berteriak.
' Berisik. ' balasnya teriak. Kedua adiknya berlari kearah Mama yang memang sedang menyiapkan sarapan. Mengapa mama tak membangunkan?
Percuma. Kafka memang sulit dan tidak mau dibangunkan pagi-pagi, apalagi jika tidak ada kelas pagi, atau memang ia sengaja tak minta dibangunkan pada pagi hari.
Kafka kembali menyenderkan tubuhnya yang terasa pegal masih dengan keadaan mata tertutup rapat serta rambut acak-acakan.
Kafka memegang dada.
Deg-deg-deg-deg
Jantungnya terasa lebih cepat dari biasanya. Namun, segera ia menepis pemikiran negatif atau hal bodoh yang terlintas di otaknya.
Ia menarik serta menahan sejenak nafasnya lalu membuang nafas perlahan.

Ada apa?
Akan terjadi apa?
Dan..mengenai siapa? batin Kafka bertanya-tanya.
Kafka membuka mata perlahan dan menatap lurus dinding kamar.
Nadira? Tidak, pasti bukan tentang Nadira. Lagipula ia baik-baik saja. yakin batin Kafka. Kafka
berdecak kesal dan mengacak rambutnya frustasi dengan apa yang di alami pagi ini.
Kafka mengambil handphone-nya dan membuka galeri. Terpampang foto jepretan terakhir yang ia ambil, foto Nadira semalam di Kopi Lawe yang sedang menunduk dengan rambut khasnya yang terurai.
Kafka memperbersar dibagian wajah yang sedikit terlihat di foto itu. Mencoba melihat samar dekik indah Nadira dari salah satu sisi.
Puas memandangi, Kafka bangkit dari duduknya dan segera menyegarkan diri dengan tujuan agar fikiran jeleknya tak melulu mampir di otaknya.

Kafka menegakan badan, melihat wajahnya dari pantulan cermin lemari dengan wajah datar. Selang beberapa detik, melangkahkan kaki nya menuju luar kamar.

Setelah selesai mandi, Kafka melihat ada sesosok bayangan didepan kamar melintas. Sudah biasa memang, namun kali ini beda. Bisa dibilang, ' aura' nya memang beda. Kafka menatap tajam arah depan kamar dari kejauhan. Memastikan matanya tak salah dengan apa yang ia lihat. Kafka mengerjapkan matanya berkali-kali, namun nihil.
' Kebiasaan. ' gumam Kafka. Kafka bersikap cuek seperti biasanya. Ia tak takut, ia hanya heran mengapa ada saja yang mengganggu nya pagi-pagi seperti ini. Kafka berjalan menuju kamar dengan menyeka sisa-sisa air yang menetes di sekitar wajanya.
Dan saat membuka pintu, terlihat sesosok wanita kisaran umur 20an memakai baju putih, dengan rambut terurai. Bukan, bukan kuntilanak. Ia tak menakutkan, hanya saja tatapan mata tajam dan garis rahangnya terlihat tegas. Wanita itu menatap Kafka.
' Siapa? ' tanya Kafka. Wanita itu masih diam.
' Jika tak ada urusan, pergi. Mengganggu. ' timpal Kafka kembali dengan cueknya. Ia masuk ke kamarnya melewati wanita tersebut. Masa bodo, pikir Kafka.
' Hati-hati dan bersiaplah. ' ujar wanita itu seketika. Kafka menoleh. Menatap wanita tersebut dengan penuh tanya.
' Untuk apa? ' balas Kafka.
Wanita tersebut kembali diam dan seketika menghilang bak asap yang diterpa angin. Kafka mendengus kesal.
' Terserah, masa bodoh. Toh, jika berbicara tak jelas.' ucap Kafka monolog sambil membuka lemarinya.

Kafka melihat tumpukan baju-bajunya. Ia berfikir sejenak baju mana yang layak ia bawa untuk bertemu dan bermalam di rumah Dira. Dengan sigap, Kafka mengambil baju-baju dan perlengkapan yang sekiranya pantas, lalu memasukkannya dalam tas backpack hitam.
Kafka menutup lemari tersebut dan menatap diri dari cermin. Merapikan rambut dengan jemarinya, dan merapikan baju yang ia kenakan hari ini. Seperti biasa, rapi.
Drrrrrttttt!
Ponsel Kafka bergetar. Kafka melihat nama Dira tertera dilayar.
' Kafkaaaaa, bangun! Dira udah bangun nih! ' awalan yang menurut Kafka sangat khas dari Dira.
' Udah bangun, udah mandi juga.' balasnya.
' Lho, tumben? Mau kemana?'
' Oiya, nanti travel nya berangkat jam 8 malam dari kos biru jelek ya. Nanti si kuda di tempatin di kos Dira aja.'
' Gatau mau kemana, bingung. Masih pagi juga lagian. Iya, gampang. Slow. ' balas Kafka menanggapi balasan Dira. Kafka melihat kearah jam dinding. Pukul 10.00 . Kafka berfikir keras kemana ia akan pergi. WW? mungkin. atau ke Beranda Kopi, tempat ia biasa mencurahkan hati bersama sahabat-sahabatnya yang lain.

Kafka memakai jam tangan favoritnya dan menyemprotkan parfum soft-maskulin kesukaannya, lalu mengambil kaos kaki dan sepatu kesayangan. Kemana pun tujuannya, ia tak perduli. yang jelas ia pergi dari rumah ini.
Kafka mengambil waistbag dan bersiap pergi.
' Kemana, mas?' tanya Mama seperti biasa.
' Main.' cueknya.
' Sama siapa?' tanya Mama kembali.
' Temen.' kembali balasnya acuh.
' Dira?' timpal Mama.
Kafka mengambil kunci motor sambil melewati Mama yang sedang asyik berbaring dengan Zizi, kucing persia kesayangan Mama. ' Nggak.'
Kafka mengangguk kecil dan segera melangkahkan kaki menuju garasi. Menaikki si kuda, dan siap mengukir cerita baru di Senin pagi.

KAFKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang