#37

118 5 0
                                    

Sang surya kian memancarkan terik yang menyelimuti tanah sakral Surakarta. Makhluk yang bernama Kafka telah bangun dari tidurnya sedari pukul delapan tadi. Kafka berpakaian rapi sepagi ini. Semalam, ia tiba-tiba mengajak Lana untuk bertemu, entah apa tujuannya.
Kafka menyusuri kota yang mulai agak renggang dari eksistensi anak sekolah, para pekerja kantoran, maupun warga biasa. Mengendarai mobil berwarna hitam dengan kacamata yang menghiasi indera penglihatannya. Tampan, menurut dirinya sendiri.
Kafka telah sampai dirumah Lana yang kebetulan dekat dengan kampus. Kafka mengabari Lana bahwa ia telah sampai. Tak lama, Lana muncul dengan keadaan tak karuan. Kaos joger serta celana tiga per empat yang menutupi bulu kaki lebatnya.
' Ada bencana?' ucap Kafka menatap Lana dari atas sampai bawah.
' Dimana?' tanya Lana dengan wajah bantal. Kafka menggelengkan kepala melihat kawan sekelasnya.
' Otakmu' balas Kafka dengan tepukan di bahu Lana. Kesadaran Lana perlahan muncul, mencoba memahami perkataan Kafka. Faham atas apa maksud Kafka, ia menendang pantat Kafka yang kemudian dibalas kekehan.
Lana menggiring Kafka masuk kedalam gubuk yang menurut Kafka cukup artistik, ditambah ornamen kejawen menghiasi atap serta dinding.
' Piye? (gimana) ' ujar Lana membuka percakapan mereka yang tangannya mempersilahkan Kafka untuk duduk.
' Aku udah ketemu Dira. Kondisinya beda. Aku gamau suasana juga keadaanya berbeda lagi. Aku.. pengen ngelamar dia, besok atau lusa. Gimana?'
Lana mengangguk.
' Bagus kalo gitu. Ya lamar sana,' balas Lana.
' Bantu yo,' pinta Kafka dengan tatapan memelas. Sudah lama Lana tak melihat tingkah Kafka yang makin hari makin menjijikan.
' Yo yo, rencana nya kapan? saranku lebih cepat lebih baik.' Kafka berfikir sejenak.
' Lusa gimana?'
' Kelamaan, besok aja lah. Cowo tuh harus berani ambil resiko,bro!' balas Lana. Kafka menatap Lana.
' Persiapan tuh gampang asal niat. Acara bakal lancar, percaya deh.' sambung Lana. Kafka membuka ponselnya, dan sepintas membaca notifikasi pesan dari Dira yang belum sempat ia balas.
Kafka terdiam, memikirkan apa yang Lana sarankan. Benar kata Lana, untuk apa berlama-lama. Toh, ini waktu yang tepat.
Kafka mengangguk, menyetujui saran Lana.
' Oke. Hari ini belanja perlengkapan, hubungin EO segala macem. Gamau tau harus bisa.' ucap Kafka dengan kembali mengangguk. Lana mengacungkan jempol atas pilihan Kafka. Tak mau mengulur waktu, Lana segera bangkit dan bersiap.

Hampir setengah jam Kafka duduk di ruang tamu Lana, menunggu si tuan rumah bersiap diri. Untungnya, Lana bersedia menemaninya hari ini hingga acara nanti. Lana kembali dengan keadaan lebih baik dari sebelumnya. Mereka langsung menuju ke berbagai tempat yang diperlukan untuk acara terpenting di hidup Kafka. Selama diperjalanan pun tak ada hentinya mereka membahas serangkaian alat dan bahan yang diperlukan, bahkan hingga meniti ke acara.
Banyak tempat yang Kafka kunjungi demi kelancaran acara, pun tak sedikit jua orang yang Kafka janjikan.
Setengah hari berlalu, namun tak membuat Kafka dan Lana merasakan lelah sedikitpun. Mereka menikmati tiap prosesnya. Tak henti-hentinya Kafka mengembangkan senyum bahagia atas apa yang telah direncanakan, berharap esok berjalan sesuai ekspektasinya.
Kafka mengantar Lana pulang, kemudian berencana bertemu dengan Dira. Ia menyalakan lagu kesukaannya di sepanjang jalan yang bisa dibilang menggambarkan apa yang ia rasakan kala itu.
Kafka melihat sosok Dira telah berdiri di depan kos. Ia membuka kaca mobil, menatap Dira dari balik hitamnya kaca mata.
Dira terdiam.
' Siganteng dateng' ucap Kafka yang dibalas dengan semburat merah di wajah Dira, lantas segera masuk ke dalam mobil. Kafka menatap Dira yang tengah menguncir rambut hitam kelamnya. Merasa diperhatikan Kafka, Dira menoleh.
' Apalo? Berani?' tanya Dira dengan nada sedikit menantang. Kafka memasang wajah sok nya seperti biasa.
' Halah gitu aja masa ga berani' ujarnya enteng. Dira mengepalkan tangan di hadapan Kafka menandakan bahwa Dira juga berani akan dirinya.
' Ini mau kemana?' tanya Dira sembari menatap Kafka dari tempat duduknya.
' Maunya kemana?' balas Kafka dengan sesekali melirik Dira. Dira merespon dengan mengendikan kedua bahunya.
' Yaudah, ke kebun binatang aja gimana? Pas itu kamu bilang pengen kesana,'kan? ' Dira membulatkan mata mendengar tawaran Kafka. Tentunya, ia mengangguk-angguk riang.
Sepanjang perjalanan menuju kebun binatang, mereka membahas banyak hal, salah satunya membahas akan masa depan, hal yang menurut Kafka dan Dira menarik.
' Dir, kemarin aku mimpi kita nikah' ujar Kafka sembari memperhatikan setiap inci wajah Dira. Dira melihat wajah Kafka, lalu menatap mata Kafka seolah mencari kebohongan di bola matanya.
' Terus?' balas Dira.
' Kamu pake gaun putih, rambut di gerai. Ada aksesoris gitu dirambut. Aku pake ham warna item, ganteng parah.' sambungnya. Kafka tampak antusias menjelaskan tiap detail mimpinya. Dira yang mendengarkan pun ikut antusias, dan tentunya meng-amini mimpi Kafka dalam hati.
' Aku cantik, nggak?' tanya Dira disela penjelasan Kafka. Kafka mendekatkan wajah, lalu mengecup ujung batang hidung Dira.
' Parah.' singkat Kafka. Dira mengeluarkan jurus cengirannya, pertanda ia senang atas jawaban Kafka.

25 Menit sudah Kafka dan Dira menghabiskan banyak waktu di perjalanan yang sebetulnya membuat Dira mengantuk. Hampir saja jika Kafka tak melajukan kendaraannya agak cepat, mungkin Dira sudah tertidur. Kebun Binatang Taru Jurug tak seramai biasanya, tak banyak pengunjung yang terlihat mondar-mandir di area kebun binatang. Mereka menyusuri area kebun binatang satu per satu dengan jepretan foto di tiap langkah, serta gandengan tangan yang seakan tak mau melepas salah satunya.
Peluh Dira nampak perlahan jatuh, berlaku juga pada Kafka. Matahari memang lagi terik-teriknya, tapi tak membuat mereka mengeluh lelah, terutama Dira.
Puas berkeliling, kembali mereka ke kendaraan yang sebelumnya ia titipkan di parkiran depan kebun binatang. Dira terlihat sangat senang akan apa yang barusan ia lihat di dalam.
' Dir,' panggil Kafka yang melihat Dira tengah membuka galeri ponselnya. Dira menoleh, menatap Kafka disebelahnya yang sedang membuka dua kancing teratas kemeja miliknya.
' Hm?' tatapnya lembut. Kafka membalas dengan elusan pada rambut Dira.
' Kenapa?' kembali tanya Dira. Kini hanya dibalas dengan senyuman. Dira mengernyitkan dahi, melihat gelagat aneh Kafka hari ini.
' Ih kenapa Kafka, nakutin gitu' ujar Dira yang memegang tangan Kafka tepat di atas ubun-ubunnya.
' Gapapa. Ayo, mau kemana lagi?' alih Kafka. Dira memegang perut, menandakan ia harus segera mengisinya.
' Hehe, laper. udah mau maghrib juga. Tapi gamau kopa kopi, gamau wedangan juga,' jelas Dira. Kafka berfikir atas apa yang Dira pinta barusan.
' ... McD.'
' McD!'
ucap mereka bebarengan yang kemudian Kafka mencubit kedua pipi Dira gemas. Tanpa intruksi, mereka langsung menuju ke tempat yang sebelumnya dikatakan bebarengan.
Waktu kian larut, pertanda Kafka harus memulangkan Dira, terlebih banyak kegiatan telah mereka lewati dengan indah hari ini yang tentunya membuat Dira lelah. Kafka ingat betul pesan Mama Dira agar menjaga Dira.
' Kafka, Dira kangen suara Kafka.' ujar Dira sembari menggoyangkan cup float miliknya. Kafka masuk menatap lurus kearah jalanan yang mulai lenggang.
' Besok aku nyanyi.' jawabnya. Dira menoleh mendengar perkataan Kafka, lalu menatap dengan matanya yang berbinar.
'  Bener ya?! ' ucapnya antusias. Kafka mengangguk lalu mengelus rambut Dira dengan sebelah tangannya yang tak sibuk menyetir.
' Yeay!! Pamungkas, Kunto Aji, sama Glen Fredly ya!' kembali pintanya.
' Sebanyak yang kamu mau' balas Kafka. Dira menggoyangkan badan kegirangan.
Kafka tak sabar akan pergantian hari esok.
Rancang rencana telah ia susun segenap jiwa, ia tak mau kembali merasa hampa atas apa yang ada di otak dan hatinya.

Ia ingin seperti manusia lain yang dengan bebas memerdekakan diri sendiri.
Tanpa merasa kehilangan,
...atau penyesalan.

KAFKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang