#24

105 3 0
                                    

' Mas, pernah ga ketemu sama seseorang yang dulunya kamu suka? atau sayang?' tanya Kafka setelah tiba di angkringan yang ia tuju tadi setelah mengantar Naya. Nando mendongakkan kepala, menatap aneh Kafka atas pertanyaan yang dilontarkan.
' Pernah.' jawabnya. Nando mengernyit,
Kenapa nih? batin Nando. Nando menatap Kafka yang tampak memikirkan sesuatu. Tak biasanya seorang Kafka seperti ini.
' Terus piye? (terus gimana?) ' tambahnya. Nando sejenak mencicipi es kampul yang barusan diantar. Ia makin menatap Kafka keheranan.
' Ya ga gimana-gimana. Karena udah lama dan nggak ada perasaan ya biasa. Paling cuma kaget diawal, terus ya ngobrol. Ngopo?(kenapa?) ' kembali Nando membalas. Kafka terdiam.
Ah, benar. Mungkin kaget aja karena udah lama ga ketemu, batin Kafka. Kafka berusaha menenangkan diri nya sebisa mungkin agar Nando tak curiga. Kafka meminum es kampul yang barusan jua datang diantarkan oleh si pedagang, menyalakan korek dan menghisap kembali putung kesayangan.
Pikirannya kembali melayang kepada sesosok Naya. Barusan ia mengantar kembali sosok yang pernah ia beri hati beberapa tahun silam lamanya dengan kondisi yang berubah 360 derajat, baik alam maupun yang diciptakan alam.
' Kenapa emang?' ucap Nando tiba-tiba membuyarkan lamunan Kafka. Kafka terlihat gugup awalnya, namun dnegan sigap ia relaksasikan diri sesegera mungkin.
' Gapapa, tadi cuma ketemu temen lama. Temen sd.' jawabnya. Nando mengangguk, memahami apa yang Kafka ucap barusan.
' Terus?' timpalnya kembali. Kafka mengerjapkan mata bak bocah berumur lima tahun. Lugu nan polos. Nando menatap Kafka penuh tanya.
' Ya.. ga terus-terus. Mangan wae iku ususmu.( Makan aja itu ususmu.) ' ucap Kafka sembari menunjuk usus bakar yang Nando pesan.
Kafka melihat kembali usus bakar yang Nando pesan, terlintas pikiran akan Dira yang kini entah bagaimana keadaannya.
' Udah tau Dira sakit?' ucap Nando sesambi memakan usus bakar tadi. Kafka menolehkan pandangan, menatap Nando lekat.
' Sakit?' tanyanya balik seakan memastikan pertanyaan Nando. Nando mengangguk.
' Lha iya, kamu nggak tau,to?' kembali Nando membalikkan pertanyaan Kafka.

Sudah sejauh itu kah aku dengannya? batin Kafka.

Kafka menggeleng. Ia benar tak tahu keadaan Dira. Dira juga tak mengatakan tentang kondisinya. Sosial media miliknya pun tak menunjukkan seakan ia sakit ataupun itu.
' Gatau,mas.'
'Ngomong to dia sama kamu?' kembali Kafka menanyakan. Entah mengapa tiba-tiba Kafka ingin bertanyan kondisi Dira.
' Nggak, kemarin malem dia bilang kepalanya sakit, terus mimisan. Sebenernya hari ini minta dianter ke RS UNS, cuma aku nggak bisa udah janjian sama Vela. Terus tadi aku tanyain dia kemana dan dimana dia bilang aman, tak telfon juga yo ga diangkat.' ucap Nando panjang lebar. Kafka mengangguk paham.
' Biar wae. aman pastinya.' jawab Kafka sok tahu.
Kafka kembali melamunkan pikirannya, namun kembali tentang Naya, bukan Dira. Ia masih bertanya-tanya akan sosok Naya.
Ia siapa?
Darimana?
Mengapa baru sekarang?
Kemana saja ia?
Bagaimana ia tahu aku disana?
Apakah ini kebetulan?
Jika memang kebetulan, Kafka membenci itu. Kafka sangat benci kata kebetulan. Kafka yakin di dunia ini tak ada yang kebetulan. Semua sudah dirancang sesuai skenario Tuhan dengan sedemikian rupa.
Rintik hujan kembali membasahi bumi secara tiba-tiba disaat para makhluk ciptaan-Nya sedang asyik menghabiskan malam bersama pasangan atau sekadar kawan. Kafka melihat ke arah jam yang setia melingkar di tangan kiri nya. Pukul 23.00 wib.
Kafka menghela nafas.
Mengapa waktu berputar lama hari ini, pikirnya.
Kafka bosan, entah mengapa. Tak seperti biasa nya ia yang membahas segala hal bersama kawannya. Namun kini, ia mengucap sepatah katapun sulit dan tak ada niat sama sekali.
Kafka bangun dari duduknya, memasukan kembali barang-barang yang ia bawa.
' Mas, pulang dulu. Capek. Titip ya, aku es kampul satu.' ucap Kafka sembari berpamitan dan menitipkan uang kepada Nando yang tengah mengabari seseorang melalui ponselnya. Nando menatap Kafka makin keheranan, tapi tak ia tanyakan apa penyebabnya.
' Oke, hati-hati. Ujan loh,kaf.' balas Nando berusaha menyembunyikan segala keheranan nya akan Kafka malam itu.
' Gapapa, santai. Malah enak.' ucapnya santai.
Setelah berpamitan, segera Kafka menuju rumahnya yang menjadi tempat singgah terakhirnya di hari itu. Tak tahu mengapa ia merasa tak bersemangat, seperti banyak hal yang tiba-tiba membuatnya linglung. Kafka menancapkan gas dengan kecepatan 80km/jam , yang menurut Kafka standar di situasi Kota Surakarta malam itu. Kafka menikmati rintik hujan yang kian deras membasahi diri, merasakan dingin yang kian menusuk tulang belulang.
Kafka berusaha sebisa mungkin untuk tetap fokus terhadap apa yang sedang ia lalui sekarang. Jalanan, kehidupan, juga perasaan. Kafka tak mau tercampur aduk dan malah menyebabkan ia hancur akan hal konyol semacam itu. Bagi Kafka, itu hanya berlaku bagi orang-orang lemah. Kafka anti orang-orang tersebut dan sudah mengecap dirinya pribadi sebagai orang yang kuat.
Kafka telusuri jalan demi jalan sampai akhirnya ia sampai dirumahnya, pagar besi bertuliskan inisial nama kedua orangtua nya diatas pagar sebagai hiasan, bercatkan pink dan lantai berkeramik oranye menyambut diri yang basah kuyup.
Kafka segera masuk dan bebenah diri agar tak kembali merasakan flu, dan tentunya segera mencoba merebahkan diri agar bisa terlelap lebih cepat dari waktu biasanya.
*************************************************
Pukul 07.00 tepat dimana ayam berkokok seakan membisikan telinga Kafka agar segera terbangun dari istirahat. Bukan, bukan karena kokokan si ayam sebenarnya. Melainkan dari dering ponsel yang ia taruh seperti biasa di dekat bantalnya. Ada notifikasi dari Dira, seperti biasa. Membangunkan ia sejam-jamnya Dira bangun, atau bahkan hanya sekadar kembali mengirim pesan semalam yang belum sempat atau bahkan Kafka malas membalas.
3 Pesan dari Dira, dan... 1 Pesan dari nomor tak diketahui.
Kafka mengerjapkan mata, berusaha membaca dengan jelas isi pesan dari nomor tak diketahui.
Pagi, ini Naya ya. Jangan lupa sarapan!
Isi pesan yang tertera di kolom percakapan pertama antara Kafka dan si pengirim yang bernama Naya. Sosok yang sedari malam kemarin ia pikirkan tanpa henti. Kafka tak langsung membalas.
Kembali, ia membuka kolom pesan dari pengirim yang lain, Diraku yang berganti dengan Dira.
Kafkaaaa bangun
Semalem aku udah tidur, kecapekan hehehe
Banguuuuuun banguuuuuun!!
Masih sama seperti biasa. Masih dengan segala kecerewetannya, masih dengan segala kelembutannya, pun masih sama dengan segala perhatiannya. Namun, Kafka tak menggubris. Ia hanya membalas: Apasih? Bukan urusanmu lagian.

Kafka segera keluar dari ruang percakapan antara dirinya dengan Dira, dan kembali membuka ruang obrolan dengan Naya. Ya, Kafka simpan nomor tak dikenal tadi dan diberi nama Naya. Kafka pun hanya membalas seadanya, tak kurang, tak lebih.
' Iya.' singkatnya. Hanya dengan iya-annya saja seperti biasa.
Kafka kembali menaruh ponselnya. Mencoba memejamkan mata berharap ia bisa kembali beristirahat. Tapi apa daya usahanya selama 10 menit gagal, terbuang sia-sia. Kafka mengacak rambutnya kasar dan segera menuju kamar mandi, membersihkan diri dan seperti biasa menancap gas untuk segera pergi dari penjaranya.
Setelah bersiap diri pun Kafka langsung berpamitan dan keluar, namun kini ia akan menemui seseorang sepagi ini, tak biasanya memang. Ia akan bertemu dengan Naya, yang kebetulan tadi mengajaknya pergi sarapan bersama. Kafka meng-iyakan karena dirumah pun Mama belum memasak, sedangkan perut Kafka tak bisa diajak kompromi untuk menunggu. Tanpa pilihan lain akhirnya Kafka mengiyakan ajakan Naya. Kafka menjemput Naya di rumahnya, sekitar daerah Sukoharjo. Bisa dibilang, jarak antara rumah Naya dan Kafka lumayan dekat. Tak sampai 15 menit pun Kafka telah sampai didepan rumah bercat biru milik Naya.
' Keluar.' isi pesan Kafka ketika ia telah sampai tepat didepan pagar rumah Naya. Tak lama, Naya pun menampakan batang hidungnya. Mengenakan rok selutut dan setelan pink cerah. Rambut terurai sebahu, sedikit berponi. Kafka menatap Naya datar walau Naya menatap Kafka lembut. Kafka mengalihkan pandangan menuju jalanan yang kian ramai dengan anak sekolah. Memang jamnya anak anak sekolah menuju tempat nya menuntut ilmu.
' Sarapan dimana enaknya, ya?' ucap Naya sembari membenarkan helm. Kafka melirik Naya dari spion kanan nya, dan kembali memfokuskan pandangan kearah jalan.
' Bebas, ngikut.' ucapan yang sama saat Kafka bertanya kepada Dira. Seketika itu juga Kafka seperti melihat Dira, melihat sesosok bayangan Ivana Dira yang tengah memboncengnya.
Naya melihat Kafka yang tampaknya melamun dan segera menepuk bahu Kafka. Kafka tersadar akan lamunan nya dan mengerjapkan mata.
' Kenapa?' ucap Kafka.
' Kamu yang kenapa.' balik tanya Naya. Kafka melihat wajahnya sendiri di kaca spion. Ia tampak melihat didalam dirinya sedang bingung, entah mengapa.
' Gapapa. Aman.' santainya. Untuk yang kesekian kali, Kafka berbohong jika ditanya 'mengapa.'
Akhirnya setelah perbincangan kecil yang membahas tentang tempat dan apa yang akan dikonsumsi pagi itu, mereka memutuskan untuk sarapan di daerah Manahan. Ada salah satu tempat favorit Kafka disana. Pecel Mbak Yum.
Naya terlihat melirik Kafka untuk yang kesekian kali, namun Kafka tak menggubris. Isi percakapan mereka pun ringan dan tak terlalu intens. Hanya saja, tak munafik jika Kafka merasakan kenyamanan di diri seorang Naya. Mungkin karena pernah dekat dahulu.
' Kaf,' ucap Naya tiba-tiba setelah prosesi sarapannya selesai.
' Hm?' balas Kafka sembari mengunyah makanan nya.
' Kamu bener belum punya pacar?' ucap Naya tiba-tiba. Kafka menatap Naya, berusaha sesantai mungkin menanggapi pertanyaannya. Kafka membalas dengan anggukan.
' Terus yang di hightlights instagram kamu? siapa?' tanyanya kembali. Kafka menelan makanan yang ia kunyah tadi dan meneguk segelas air yang telah disediakan.
' Temen. Kenapa?' balasnya cuek.
' Yakin temen?' kembali Naya bertanya. Kafka tak suka jika ia ditanyai hal tak penting.
' Ya emang temen. Tanya aja orangnya.' kembali balas Kafka. Naya hanya menanggapi jawaban Kafka dengan senyuman, pertanda cukup paham akan apa yang dilontarkan Kafka.
' Oh. bagusdeh.' ucap Naya lirih.
Bagus? Kafka mengernyitkan dahi saat ia mendengar ucapan Naya, namun kembali ia tak gubris hal itu.
' Ayo pulang, aku mau kerumah temenku.' ucap Kafka. Naya mengangguk dan mereka berdua kini menyepakati untuk kembali ke tujuan masing-masing.

Setelah mengantar Naya, Kafka merasakan ada hal aneh. Entah di dirinya, atau malah di diri Naya. Naya yang dengan mudah dan cepatnya seperti memperlihatkan kesan nyaman kepada Kafka, walau Kafka tak masalah akan hal itu. Tapi Kafka? Kafka hanya tak suka jika di pembahasan mereka bertanya atau bahkan membawa Dira. Kafka ya Kafka, Dira ya Dira. Pun memang mereka tak ada apa-apa. Hanya sebatas teman, dekat. Kafka tak memungkiri jika ia nyaman dengan Dira, namun untuk saat ini, mungkin rasa yang diberikan Dira dan ia berikan kepada Dira sedang terhalangan oleh tembok besar Tuhan. Kafka pun tak bisa memaksakan hal itu, begitu juga dengan Dira. Yang jelas, kini Kafka ingin nyaman dengan dirinya sendiri, berlaku juga pada Dira, ataupun Naya.
Naya?
Ya, Kafka tahu. Naya masih menyimpan rasa untuk Kafka saat setelah pertemuan pertama mereka.

KAFKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang