#32

90 3 0
                                    

Sifat kasar dan egois Kafka kian lama memudar. Kafka kembali menjadi Kafka yang dulu. Ia sadar, ia telah meninggalkan segala yang berharga disekitarnya walau ia tahu ia tak asal meninggalkan. Ia memiliki alasan mendasar mengapa ia melakukan. Tapi bukan berarti Kafka serius untuk meninggalkan, ia ingin kembali memilah dan memilih atas apa yang ia tinggalkan. Ia rindu kawan-kawannya yang dulu, tongkrongan, dan segala kegiatan 'gila' yang pernah mengisi harinya kemarin.
Perasaan Kafka?
Perlahan ia bisa menyadari bahwa ia memang membutuhkan seseorang yang sedari dulu ia cari. Tetap ia berserah diri dengan Tuhan agar ia tak salah arah dan kaprah lagi. Ia tak mau lagi merasakan kehilangan. Bukan memaksa, tapi mencoba merealisasikan takdir jika itu kehendak-Nya, dan melawan takdir jika itu jua kehendak-Nya.

Kafka kembali disuguhi pemandangan kemacetan dan bunyi kendaraan yang tak sabaran ingin melaju dan beradu kecepatan di jalanan. Kafka memutar bola matanya malas, berharap ia sampai di tujuan dan segera duduk diruangan dingin dengan satu pengajar yang sibuk membaca pembahasan ini-itu.
Jadwal kuliah Kafka makin lama makin padat, apalagi Kafka telah memasuki awal semester tujuh. Saatnya ia harus benar-benar fokus akan pendidikannya. Semenjak seminggu lalu, ia mulai rutin berkonsultasi dengan pembimbing akademik. Ia mulai membuat beberapa judul skripsi, dan memikirkan materi dan perihal apa yang akan dibahas di skripsinya nanti. Ia perlahan mengurangi intensitas kumpul dengan kawan, walau untuk sementara waktu.
Kafka juga tak mau ambil pusing dengan keadaan keluarga Kafka yang sempat cek cok beberapa kali di hadapannya. Ia diperdengarkan percakapan antara dua orang dewasa dengan nada tinggi. Kafka hanya menghela nafas, berharap ia tak lagi mendengar kata-kata tak enak yang entah mengapa dengan mudah terlontar. Bukan karena dirinya, namun kedua adiknya. Ia tak mau kedua adik kembarnya memiliki trauma dan ketakutan terhadap orangtuanya, atau bahkan malah menjadi pribadi yang tak mau tahu dan menganggap keluarga adalah omong kosong dikemudian hari, seperti Kafka.
Sebisa mungkin jika mereka bertengkar, Kafka mengajak kedua adiknya pergi. Berkeliling kota Surakarta atau hanya sekadar membeli jajanan di sekitaran rumah. Kafka muak akan pemandangan dirumah.
' Stop ribut. Aku capek. Kasian adek-adek.' ucap Kafka saat melewati kedua orang tuanya yang tengah duduk berhadapan di meja makan. Mama dan Papa Kafka terdiam atas ucapan Kafka barusan. Tak biasanya ia mengatakan hal itu.
' Mas.' ucap Papa Kafka tiba-tiba. Kafka berhenti. Menoleh ke arah pria paruh baya yang menyebut dirinya ' Papa.'
Kafka menatap Papanya dengan tatapan datar, lalu melirik sang Mama.
' Kalo kita cerai...'
'Pikirkan baik-baik. Jangan sampe nyesel. ' ucap Kafka memotong pembicaraan Papa yang belum selesai. Kafka kembali melanjutkan langkah menuju kamar dan merebahkan diri.
Kafka menatap atap kamar, lalu menghembuskan nafas beratnya.
' Hidup terkadang sulit ya.' gumamnya. Ia membalikkan badan menghadap tembok kamar. Ada coretan gambar kecil disana. Papa, Mama, Kafka, dan kedua anak kecil disampingnya yang saling bergandengan. Coretan tangan Kafka dahulu, saat ia mendengar pertengkaran kedua orangtuanya untuk pertama kali. Kafka tak bisa berkata apa-apa selain menggambar kala itu. Berharap kedua orangtuanya melihat coretan tangannya tadi. Hingga makin lama ia menjadi pribadi yang cuek dan tak perduli. Ia tak percaya lagi akan 'keluarga'. Menurutnya, itu hanya formalitas saja. Kafka pun pernah mencoret nama nya sendiri di salah satu dokumen Kartu Keluarga. Ia lakukan secara terang-terangan. Tanpa malu, tanpa ragu.
Tapi kini, ia tak mau hidup dengan cara yang sama seperti sebelumnya. Ia benar-benar ingin merasakan kembali hangatnya keluarga. Dan baru kali ini, ia mengatakan dengan nada lembut, sama sekali tak ada emosi atau nada tinggi.

Ia harap, orangtuanya mengerti apa pintanya selama ini. Jika tidak mengerti apa isi pinta Kafka tadi, ia harap orangtuanya mengerti apa isi hati kedua adiknya nanti.
*************************************************
Kafka melirik jam dinding, berharap pembelajaran segera selesai dan Kafka bisa segera pergi dari penjara kedua nya ini. Satu jam terlewati sudah Kafka memaksakan diri untuk tetap fokus dan menatap dosen yang mondar mandir didepan papan tulis demi membuat mahasiswanya paham. Baru kali ini Kafka tak melakukan hal konyol seperti dahulu di kelas, semacam tidur atau meminum alkohol yang ia taruh di tempat minum miliknya yang tak mencurigakan. Duduk berdampingan dengan Lana membuat Kafka terkadang merasa aman apabila ia tiba-tiba ditanyai dosen saat ia tak fokus. Lana pun tak pernah sungkan membantu Kafka, bahkan memberi bocoran jawaban pada Kafka. Pun Kafka juga seperti itu pada Lana.
' Lan, dolan ayo. Bosen aku (Lan, main ayo. Bosen aku.) ' ucap Kafka setengah berbisik pada Lana yang kini tengah mencatat. Lana menoleh, mengangguk ajakan Kafka tanpa tahu kemana tujuannya.
' Koe rak takok nendi ne? (kamu ga tanya kemana nya?) ' ujar Kafka kembali sembari berpura-pura mencatat agar tak dicurigai dosen. Lana menatap Kafka, memainkan pulpen ditangan kanan nya ke kanan dan kiri.
' Wes reti. (udah tau.) ' jawab Lana. Kafka balik menatap Lana.
' Nendi? (kemana?)' balik Kafka bertanya. Lana menatap Kafka lekat yang membuat Kafka bergidik ngeri akan tatapan Lana kali ini.
' RRI.' (semacam tempat yang 'ramai' pada malam hari dan berisikan-maaf- kupu kupu malam.)
sontak Kafka melotot akan ucapan Lana.
' Matamu.' singkat Kafka. Lana terkekeh pelan melihat reaksi Kafka atas jawabannya. Kafka hanya menggeleng melihat tingkah kawan nya tadi yang makin lama Kafka pikir Lana semakin gila.
Kriiiiiiiiiing!
Bel pergantian jam pun berbunyi, membuat Kafka setengah mati tersadar dari kantuk yang selama satu jam setengah tadi ia tahan. Kafka berkemas dan dengan semangat empat lima nya pun ia keluar dari kelas yang disusul Lana dibelakang Kafka.
Kafka langsung menuju ke parkiran dan berniat langsung pulang ke rumah, ingin mengistirahatkan badan serta pikirannya sejenak. Rencana pergi dengan Lana pun masih nanti malam, jadi masih ada waktu untuk Kafka rehat.
Langit Surakarta sangat panas kali ini, perkiraan cuaca di ponsel Kafka pun menunjukkan suhu 35  derajat celcius, membuat peluh Kafka perlahan menetes. Kemeja Kafka pun basah, dan ia risih akan hal itu. Ia paling tak suka jika badannya berkeringat.
15 menit perjalanan dan ia telah sampai di kediamannya. Kafka melihat Mama yang tengah berbaring di depan televisi seperti biasa. Papa? baru saja keluar mengendarai motor, entah kemana. Kedua adiknya belum pulang, pukul tiga mereka baru pulang. Mama menatap Kafka yang sedari tadi memperhatikannya dari depan pintu kamar.
' Kenapa,mas?' ucap Mama sembari menatap Kafka.Kafka tersadar, dan segera masuk ke kamar. Kafka menggelengkan kepala, tak mengerti apa yang terlintas di otak.
Ia membaringkan badan. 10 menit ia berdiam diri hanya menatap atap kamarnya. 10 menit kemudian, ia membalikan badan ke arah kanan, dan membalikan ke arah kiri di lima menit kemudian setelahnya. Kafka menggerakan badan gusar, lantas menendang guling sembarang dan tanpa sengaja guling tadi mengenai bingkai foto di meja, yang menyebabkan bingkai tersebut jatuh dan pecah.
Kafka terbangun dan melihat pecahan kaca bingkai yang berserakan di lantai.
Ia menghembuskan nafas pelan, seperti memikirkan sesuatu. Ia bangkit dari posisinya, dan membersihkan pecahan kaca. Sejenak, ia termenung menatap foto dirinya dan Dira yang saling tersenyum manis.
' Maaf.' ucap Kafka seketika. Ia tersadar setelah mengatakan satu kata penuh makna tadi.
' Eh? buat apa?' ucapnya kembali. Kafka kembali membersihkan pecahan kaca dan segera membuang di tempat sampah yang tersedia di pojok kamarnya.
' Has mboh. ( ah, gatau.)' ucapnya gusar. Kafka kembali ke ranjangnya dan membuka ponsel. Melihat tampilan utama layarnya yang telah berganti menjadi foto senja yang indah. Jarinya memencet aplikasi sosial media yang sering ia gunakan, lalu membuka profil salah satu pengguna di kontaknya.
Dira.
Ia menatap foto Dira lekat dari layar ponselnya dan tanpa sadar ia sedikit tersenyum.
' Cepet sembuh, biar bisa ketemu lagi.' gumamnya lalu segera mengklik kembali ke halaman obrolan.
Masih dengan tanda satu centang abu-abu dan belum  ada tanda aktif dari manusia yang bernama Dira.
Kafka mengunci layar ponsel, dan kembali membaringkan diri. Memejamkan mata, berharap ia bisa menemukan kedamaian diri diantara gelap pandangan mata.

KAFKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang