Memasuki pekan ke dua, belum jua Kafka bertemu dengan seseorang yang dulu tiap waktu bertatapan dengannya. Tak ada rasa apapun sebenarnya, hanya saja, terkadang bayangannya melintas di benak secara tiba-tiba. Berulang kali Kafka tepis pemikiran nya tentang sesosok tersebut, namun tak bisa dipungkiri ia tetap saja memikirkan walau hanya sekadar 'dia kenapa?' atau 'dia sehat?' .
Sangat aneh Kafka mesti merasa demikian. Selama beberapa pekan kemarin, ia berniat untuk tak ingin berurusan lagi dengan Dira. Ia menepis sangat jauh pemikiran tentang Dira walaupun secuil. Apapun. Ivana Nadira. Ia tak mau urusan.
Tapi,
Tetap saja tak bisa.
Ada saja pembahasan yang membawa nama Dira. Bikin enek saja.Kafka menatap luar jendela WW dengan lekat, memperhatikan satu per satu kendaraan yang melintas saat mentari sedang gencar-gencar nya menyoroti bumi. Peluh pun meluncur bebas di dahi Kafka, hingga mungkin Kafka lelah menyeka.
' Sendirian mulu, Dira mana?' tanya Arif, sahabat lama Kafka. Baru-baru ini memang Arif melihat Kafka mengunjungi WW sendiri setelah terakhir kali bertemu dengannya bersama Dira dan sempat berbincang sedikit. Arif mengenal baik Dira, pun ia mengenal beberapa temannya juga seperti Bita dan Bila.
Kafka melirik Arif sekilas, dan kembali menatap jalanan.
' Mana aku tau, ga urusan.' jawabnya. Arif menatap Kafka, membenarkan posisi agar ia bisa memperhatikan mimik wajah Kafka secara jelas.
' Lah? ' ujar Arif. Kafka kembali menatap Arif menandakan bahwa ia memang tak mengetahui dimana sosok yang ia tanyakan.
' Marahan?' kembali tanyanya. Kafka menaruh kedua tangannya di meja, membuka ponsel dan menunjukan pada Arif nama yang tertera di notifikasi teratas, 'Dira.'
' Iqro'. ' balas Kafka dengan tatapan malasnya.
' Terus?' kembali Arif bertanya. Kafka menghembuskan nafas kesal.
' Ya ga terus-terus.' kembali Kafka menjawab.
' Pacaran ga to kamu sama dia? ' ucapnya seketika.
Kafka terdiam untuk beberapa saat.
' Nggak, cuma temen. Nggak lebih.'
' Terus ko kayaya deket banget?'
' Ya manusiawi, sama siapapun juga aku gitu kan.'
' Ooh gitu,'
' Bacot, udah diem.' ucap Kafka sembari menyenderkan punggungnya yang kelamaan basah.
Arif mengangguk, menandakan bahwa ia sudah cukup paham.
Mas Deri tiba dengan membawa pesanan Arif dan Kafka yang sebelumnya telah ia pesan, lalu bergabung duduk disebelah Arif.
' Kenapa lagi?' ucap Mas Deri sembari menatap Kafka aneh.
' Apanya kenapa?' balik tanyanya.
' Biasa, mas.' celetuk Arif dengan diikuti kekehannya.
' Walah, galau nih?' ledek Mas Deri. Kafka memutar bola matanya malas mendengar ledekan dari kedua sohibnya.
' Sama sekali nggak. Ngapain anjir galau, gapenting banget.' tepisnya.
Mas Deri dan Arif mengangguk bersama mengiyakan pengakuan Kafka walau sebenarnya 'mungkin' mereka bisa merasakan apa yang tergambar di wajah Kafka sekarang, bimbang.
' Makan sana. Belum pada makan,'kan? ' tanya mas Deri sambil memperhatikan motor yang baru saja parkir.
' Males.' ujar Kafka
' Udah mas.' timpal Arif.
' Yowes, tak tinggal dulu ya.' balas Mas Deri yang kemudian menepuk bahu Arif dan Kafka. Kafka menopang dagunya di meja, ia bosan.
Entah mengapa belakangan ini Kafka sangat mudah bosan, walau ia sedang bersama teman-temannya.
' Bita Bila mana? ' ujar Arif sambil membuka ponsel. Kafka membalas dengan menaikan dua bahunya.
' Lah ini lagi pergi deh, aku ajak sini aja apa ya,' kembali ujarnya monolog. Kafka melirik sekilas Arif dan memejamkan matanya.
Hft, Kafka menghembuskan nafas pelan. Ia tak tahu apa yang terjadi dengan dirinya. Mengapa ia tiba-tiba seperti ini. Perasaan yang sangat jelas menganggu dan Kafka sangat membenci itu.
15 menit Kafka dan Arif duduk bersama tanpa obrolan, hanya suara sekitar yang mengisi diamnya diri mereka masing-masing.
Kafka membuka matanya perlahan, menelongok langit. Memastikan bahwa masihkah mentari sibuk menyorot bumi, dan dewi fortuna berpihak padanya. Langit tiba-tiba teduh. Ia berdiri, merapikan pakaiannya dan bersiap menuju ke suatu tempat yang mungkin bisa menenangkan dirinya.*************************************************
Langit Cengklik dihiasi indahnya gumpalan awan mendung yang membuat daerah waduk tak lagi panas. Kafka menuju ke tempat dimana ia biasa menghabiskan waktu sebentar untuk melihat indahnya senja atau hanya ingin mendengar merdunya kicauan burung. Gunung Merapi dan Merbabu yang sekilas menyatu menghiasi sore Kafka. Ia duduk diantara bambu yang di rangkai dan memang sengaja di letakan di tepian waduk, mencoba menjiwai suasana.
Kafka menatap sekitar, hening, sunyi. Ia membuka ponsel, mengabadikan pemandangan didepan mata yang menurutnya indah, lalu mengunggahnya di sosial media seperti biasa. Kafka sibuk menggerakan jemarinya keatas kebawah, bahkan kesamping kanan kiri untuk melihat postingan dari teman-teman atau hanya iklan. Hingga matanya tertuju pada lingkaran pink dan ungu yang bertuliskan na.diraa. Ia ragu untuk membukanya, namun ibu jari miliknya dengan mudah mengetuk lingkaran tadi. Munculah unggahan yang menampilkan senja. Senja yang sama, namun beda rasa.
Kafka langsung menghadap langit dan menatap senja yang memang sedang cantik-cantiknya.
' Indah,' gumamnya. lantas, kembali melihat unggahan Dira.
Kafka mengunci dan memasukan ponselnya. Memandangi sekitarnya kembali dengan seksama tanpa ada kata yang terucap.
Kling!
Ponsel Kafka berdering.
Naya, nama itu yang kali ini menghiasi layar notifikasi Kafka.
' Kaf, dimana? ' isi pesan tersebut. Kafka langsung membalas pesan tersebut tanpa babibu.
' Di cengklik, kenapa?'
' Nggakpapa. aku bosen :( '
' Kamu dimana?' balas Kafka.
' Dirumah'
' Yaudah keluar ayo. Aku jemput ya.'
' Okay, aku siap-siap dulu.'
' Sip.' singkat Kafka yang menutup percakapan.
Kafka bangkit dan bergegas pergi meninggalkan senja yang kian lama makin menghilang.
***********************************************
Beberapa menitpun terlewati, nampaklah sosok Naya yang mengucir kuda rambut sebahunya.
' Kemana ya enaknya? ' tanya Naya mengawali percakapan mereka.
' Bebas,' balas Kafka seperti biasa.
' Oh iya, nonton aja, gimana? aku udah beli tiket tadi, ada film baru yang lagi hits ituloh!' ujarnya antusias.
' Yaudah ayo, dimana?'
' GrandMall.' jawab Naya kilat. Kafka mengangguk dan menuruti ajakan Naya.
Sepanjang perjalananpun tak ada perbincangan seperti biasa, Kafka masih sibuk dengan pemikirannya. Naya? Oh, kini ia sedang tak peduli dan tak mau tahu.Tiba mereka di Mall yang dituju dan segera menukarkan e-ticket yang telah di pesan Naya.
' NKCTHI?' tanya Kafka melihat tiket yang kini telah ia pegang. Naya mengangguk.
' Iya, teasernya bagus tau! ' kembali jawabnya dengan penuh antusias. Kafka tersenyum simpul.
' Oalah.'Info pemutaran film yang akan mereka tonton pun terdengar diseluruh penjuru bioskop. Pintu teater 3 terbuka, dan kini saatnya mereka memasuki tempat dimana mereka akan menyaksikan film yang 'katanya' bagus dan seru ataupun itulah.
Seat 1A, 1B. Seat dimana terletak dipaling ujung kiri dan pojok.
Kafka menduduki seat 1A, dan Naya 1B yang bersebelahan persis. Naya mengembangkan senyumnya dengan indah, menandakan bahwa ia sangat bahagia menantikan film yang akan tayang, atau... bahagia bisa menonton bersama Kafka? Entahlah.
Film dimulai, diawali dengan adegan awal yang dramatis. Kafka hanya menatap flat layar besar didepannya. Naya melirik Kafka, Kafkapun melirik Naya. Tak ada angin dan api, Kafka mengenggam tangan Naya, tak tahu ia sadar atau tidak. Yang digenggam pun membalas dengan hangat.
Hampir sepanjang film mereka berpegangan tangan, hingga tepat di pertengahan film, Naya menyenderkan kepalanya di bahu Kafka. Kafka awalnya kaget, namun ia mencoba terbiasa dan menjadi gentle.
Nyaman? , batin Kafka. Kafka melirik Naya. Melihat Naya dari sudut pandangnya intens. Hingga saat ia masih dengan posisi menatap Naya, Naya mendongak. Tatapan mereka bertemu.
Sialnya,
Kafka tak bisa menahan bisikan setan yang seketika menyuruhnya untuk mengecup Naya.
Naya terdiam awalnya, pun entah apa yang ada dipikiran Naya, Ia membalas. Yang berawal hanya kecupan hangat, menjadi balasan pagutan yang hampir berdecak.
Kafka mendorong kepalanya pelan, melihat bibir Naya. Naya tersipu malu melihat Kafka.
Serasa disambar petir, Kafka merasa kesadarannya kembali penuh dan segera ia membenarkan posisinya.
Kembali seperti awal, mereka menonton film tersebut dengan hening, tanpa aksi seperti sebelumnya ataupun bisikan suara.Satu setengah jam film dipertontonkan, hingga satu per satu para penonton keluar dan segera melanjutkan aktivitas masing-masing diluar sana. Pukul 21.45 ternyata. Kafka segera bangkit dan meninggalkan Naya yang tanpa ia sadari masih duduk diposisi, dan akhirnya pun bangkit menyusul Kafka.
' Mau makan? ' ujar Naya yang kini tengah menjajarkan posisi disebelah Kafka. Kafka melirik ponselnya untuk membuang rasa gugup dan tak enaknya.
' Nggak, makasih. Aku ada janji.' jawab Kafka selembut mungkin. Mereka menyusuri area mall tanpa kembali berbicara.
Aneh rasanya, seperti ada yang mengganjal di hati Kafka.
Mereka menuju basement dan sesegera mungkin memulangkan Naya yang seharusnya pukul 22.00 sudah harus berada dirumah sesuai pesan Mamanya.
'Hati-hati dijalan, kaf.' ucap Naya sembari melontarkan senyum manis seperti biasa. Kafka pun membalas dengan senyuman, senyum yang agak..memaksa.
' Siap, tidur ya langsung.' balasnya dan ditanggapi dengan anggukan serta acungan jempol. Langsung ia menancap gas dan menuju Beranda Kopi, sama seperti waktu lalu.Beranda Kopi ramai akan pengunjung, terlihat Yayak yang sibuk membantu melayani dan beberapa temannya yang tengah berbincang ditemani dengan segelas Kopi dan juga bakaran rokok.
' Ey, Kaf!' ujar Raihan, sahabatnya. Kafka mendekati Raihan dan gerombolan lainnya. Menyalami tanpa banyak kata.
' Duluan bro keatas dulu.' ujar Kafka yan ditujukan untuk gerombolan tadi, termasuk Raihan. Kafka menuju area atas, yang sebelumnya telah memesan Kopi Latte dingin seperti biasanya.
Sama ramainya seperti dibawah, tapi menyisakan dua tempat duduk kosong di area pojok.
Kafka menyinggahi area kosong tadi, dan memutar lagu melalui headsetnya.
Pamungkas - Monolog , lagu yang menemani malam Kafka dikala rintik hujan mulai turun perlahan.
Kafka menikmati tiap alunan nada yang mengalir ke otak, menghayati tiap lirik yang tersusun manis menghiasi pendengarannya.Alasan masih bersama bukan karena terlanjur lama,
Tapi rasanya, yang masih samalirik yang menggambarkan perasaan Kafka saat ini.
Perasaan? Kembali lagi membahas itu, menyebalkan.
Namun, Kafka memang tak bisa menyingkirkan hal itu. Berkali-kali Kafka bertanya pada diri sendiri,Mengapa 'kita' masih disini?
Akankah hanya sisa bayangan semu?
Atau.. memang nantinya ada kesempatan untuk lagi bertemu?
Pun, mengapa kau masih bisa tersenyum?
Apakah itu asli senyumanmu?
Atau bahkan, aku memalsukan senyumku?
![](https://img.wattpad.com/cover/210953356-288-k455208.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
KAFKA
Romance" Tak perlu meminta untuk menetap. yang sekadar singgah akan pergi, yang tersesat segera mencari jalan, yang dalam perjalanan akan segera datang. Aku, sedang dalam perjalanan pulang, singgah, hingga menujumu, rumah. ''