#5

403 17 0
                                    

Jam yang melingkar di tangan Kafka menunjukkan pukul 23.00 wib. Kafka mulai bosan dengan suasana tempat kopi yang sedari tadi ia tempati.
Perut Kafka berbunyi. Ia baru ingat bahwa ia hanya sarapan seharian ini.
' Pindah ayo? Wedangan. Luwe aku. (aku lapar)' yang dibalas dengan anggukan Dira. Dira mengikuti kemanapun Kafka mau. Pun Dira juga merasakan perutnya harus di-isi asupan.
Kafka dan Dira beranjak dari coffeeshop dan kembali menyusuri kota Surakarta di malam hari. Tiap hari Kafka dan Dira bertemu, bahkan tiap waktu. Pagi-siang-sore- malam hingga menuju pagi lagi.
Bosankah? Tidak. Tak ada kata bosan yang terlintas difikiran Kafka dan Dira. Toh, jika keluar bersama, pasti selalu ada teman-teman yang lain.
Menyusuri kota Surakarta di waktu istirahat pada umumnya memiliki kisah tersendiri bagi mereka. Hawa dingin merasuk tulang belulang membuat Dira mengeratkan pelukan. Kafka? Ia kuat dengan dinginnya malam. Kafka tak pernah merasa kedinginan. Ibaratnya, Kafka sangat kenal dan dekat dengan alam.

Tiba di wedangan yang sering ia kunjungi. Wedangan Ringin. Identik dengan pohon beringin yang berdiri kokoh ditengah tengah kawasan wedangan. Sangat ramai, terasa jam 20.00 wib. Wedangan ini memang selalu ramai hingga pukul 01.00 dini hari. 
Kafka memesan makanan seperti biasa, 4 Nasi Bandeng dan 2 es kampul, favorit mereka. Dira menambah dengan sate usus dan gorengan yang dibakar dengan kecap, makanan yang harus ada saat di wedangan manapun.
Dira menuju ke salah satu tempat yang kosong di bagian belakang pohon ringin yang diikuti Kafka dibelakang. Tempat favoritnya. Disebelah plang iklan sekolahan dan dibelakang plang tersebut ada anak tokek dan kata Kafka, ada salah satu mama tokek yang Kafka bilang, itu teman Kafka saat dulu Kafka berkunjung sendirian.
Kafka duduk disamping Dira. Menatap Dira yang sedang menggeledah tasnya. Merasa ditatap oleh Kafka, Dira melirik Kafka.
' Cantik.' ucap Kafka. Semburat merah langsung menyerbu wajah Dira. Dira dengan sigap mengalihkan pandangannya dan kembali menggeledah tasnya. Mencari kuncir rambut yang pasti kemana-mana ia bawa.
' Abing raimu le. (merah mukamu dek.) ' ejek Kafka.
Seringkali Kafka mengusili Dira dengan kata kata manis. Kafka senang melihat wajah Dira yang tiba-tiba memerah dan tentunya tingkah konyol Dira yang tak masuk akal.
Dira pura-pura tak mendengar apa ucapan kata Kafka. Ia malu? tentu. Baru pertama kali ia sering diucap cantik oleh lawan jenis. Sebelum bertemu Kafka, Dira  insecure. bahkan sangat.
' Kafka, hadiah buat mama apa ya? ' alih Dira sesambi mengikat rambut tebalnya.
' Apa aja. Hadiah itu nggak berpatok atas apapun. Yang penting tulus dan ikhlas, pasti yang nerima suka. Aku juga gitu. senang ' balas Kafka.
' Senang?' tanya Dira bingung. Kafka mengangguk.
' Dari? ' timpal Dira masih dengan kebingungannya.
' Tuhan. Tuhan menghadiahi aku tahun 2019 ini, dengan hadirnya kamu. Ivana, Hadiah dari Tuhan. ' balas Kafka menatap Dira tulus.

Dira menahan tangisnya. Dira cengeng, batin Dira. Dira faham Kafka bukan tipe cowok pada umumnya, Romantis.
Kafka, punya sisi lain yang sangat membuat Dira yakin untuk melabuhkan hatinya.
Entah itu apa, persetan dengan pertanyaan diatas kepala. Yang penting, Dira bahagia dengan Kafka, pun begitu jua dengan Kafka, yang telah lama menanti datangnya sesosok Dira.

KAFKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang