#41

739 11 1
                                    

' Aku minta maaf. aku nggak ada masalah sama kamu, sama sekali engga. aku cuma nimpali aja yang ada di base waktu itu. Pun aku sensor nama kamu. Aku bener-bener ga nyangka bakal sekeruh ini keadaannya, Kaf. Aku tau aku salah, cuma harus kamu ngomong gitu?' ucap Dira sembari menahan air mata. Kafka menatap datar Dira, benar-benar menunjukan ekspresi muak.
' Terserah. Aku ga perduli dan muak sama semuanya. Kamu ataupun Naya.'
Dira terdiam mendengar perkataan Kafka. Ia hanya bisa menatap Kafka sayu.
' Kamu kira aku seneng namaku dibawa-bawa? Persetan sama perasaanmu, dir. Semua aja sambungin sama perasaanmu. Oh, anak quotes ya? '
' atau gimana?'
' perasaanmu bikin kamu sukses,to?'
' aku beli berkali lipat kalo itu ngebuat sukses.'
balas Kafka tak kalah panjang lebar kali ini. Dira masih terdiam, tak menyangka Kafka salah paham akan hal itu.
Dira menghela nafas pelan, ia tak bisa berkata apapun selain 'maaf'. Kafka menatap lekat serta tajam tepat di dua bola mata Dira.
' Hakmu buat marah ke aku dan aku gapernah larang kamu buat marah, atau mungkin sampe ke benci. Aku cuma bisa minta maaf sekarang, terserah kamu mau muak atau gimana. Cuma ini yang bisa aku omongin ke kamu. Aku tau kamu gabakal pernah percaya lagi, kaf. Jadi, buat apa aku jelasin? Toh, kamu gaperduli.' ucap Dira sembari membereskan barang bawaannya.
' Aku pamit.' Dira beranjak dari tempat duduknya, lanas segera pergi meninggalkan Kafka yang memang tak perduli akan kepergian Dira.

Kafka menatap punggung Dira kian menjauh. Ia memgacak rambutnya kasar. Ia muak.
Kafka menopang dagu dengan dua tangannya, tak menyangka akan menjadi lebih rumit. Ia tak bisa mengontrol emosi serta ucapannya.
' Hah, masa bodoh.'

************
Kafka pulang dengan perasaan yang campur aduk, dominan amarah tentunya. Naya pun tak menegurnya sama sekali. Matanya terlihat sembab. Kafka tak tidur bersama Naya, ia lebih memilih tidur di ruang tamu. Kafka membuka ponselnya, lalu kembali membaca pesan yang Dira kirim beberapa waktu lalu. Kafka tak membalas sepatah katapun. Ia malas. Kafka bangkit dari posisinya,lalu menuju ke tempat dimana Naya beristirahat.
' Packing. Besok ke Surabaya.' ucapnya sembari melongokkan kepala dari luar kamar yang hanya direspon Naya dengan anggukan.
Tak butuh waktu lama bagi Naya dan Kafka mengemasi barang yang tersisa, lantas satu per satu ia memasukan ke dalam mobil. Naya tak banyak bergerak karena kandungannya.
Naya menatap Kafka yang kian emosi, lalu menunduk. Ia tak tahu apa yang sedang menimpa Kafka. Kafka masuk kedalam mobil, lalu menutup pintu dengan kasar yang sontak membuat Naya terlonjak.
Tak ada pembahasan. Hening, hingga sampai di pusat kota Surabaya, dimana Kafka dan Naya akan tinggal. Tanpa mengabari siapapun Kafka membuat keputusan yang menurut Kafka bisa menyelesaikan masalahnya. Setidaknya, bisa mengurangi kadar stress yang membumbui perasaan dan pikiran. Kafka membantu Naya untuk turun, dan membawanya ke kamar, lalu sibuk dengan menurunkan barang bawaan.

Kafka menatap kosong jendela didepannya. Ia tak habis pikir mengapa semua nya terjadi secara bersamaan dan bertubi-tubi. Kafka melempar bantal sofa sembarang, yang tak sengaja mengenai hiasan keramik pada meja. Ia menoleh kearah pecahan hiasan tadi, lalu melengos tak perduli. Toh, nanti pasti dibersihkan. Tak lama, terdengar rintihan Naya dari dalam kamar.
' K-kaf s-sakit..'
Segera Kafka bangkit dan menemui Naya yang kini menahan rasa sakit.
' K-kaf sakit!' pekik Naya sembari meremas sprei. Kafka tak tahu harus apa. Ia mendekat, lalu memegang tangan Naya.
' Tahan, kita kerumah sakit.' ucap Kafka dan dengan sigap menggendong Naya, membawanya dalam mobil dan langsung menuju ke rumah sakit terdekat.

Kafka menunggu dilorong yang ramai akan pengunjung. Pikiran Kafka kacau.
' Keluarga Ibu Denaya,' ucap suara perawat wanita yang keluar dari sebuah ruangan yang diketahui bernama ruang bersalin. Kafka mendongak, dan segera mendekat kearah suster tersebut berdiri.
' Saya, sus. gimana?' tanya Kafka dengan raut wajah se-santai mungkin.
Suster yang bernama Lia Antania tersenyum, lalu mempersilahkan Kafka untuk melihat keadaan Naya didalam.

Deg!

Ia tak bisa menahan rasa haru serta bahagianya. Ia menemukan sosok makhluk mungil yang masih berwarna merah dalam keadaan sehat. Mata yang masih tertutup, jemari yang mungil, tubuh yang ia yakini akan menjadi gagah dimasa nanti.
' Selamat, mas. Anaknya laki-laki.' ucap Dokter yang bertugas membantu persalinan Naya. Mata Naya sembab, tak kuasa menahan rasa bahagianya. Tanpa sadar, Kafka mendekat kearah Naya. Mencium kening Naya, dan mencium kening si bayi.
Kafka menatap Naya yang tersenyum kearahnya, ia membalas dengan senyuman hangat.
Baru pertama kali Naya melihat senyuman tulus dari seorang Kafka yang pada dasarnya tengah diselimuti amarah juga emosi.
' Sekarang, kamu bebas, kaf.' ucap Naya lirih sembari menggengam jemari lentik dari buah hatinya. Kafka terdiam.
' Aku akan tanggung jawab.' jawab Kafka. Naya tersenyum simpul. Entah apa yang ada dipikiran Naya, Kafka tak tahu.
' Mau gendong?' tanya Naya sembari menggerakan jemari si bayi yany terlelap. Tanpa ragu, Kafka mengangguk dengan penuh yakin.
Kafka perlahan menggendong si mungil. Mengayunkan tubuh si kecil perlahan agar makin terlelap. Kafka mengelus rambut
tebal dari si bayi dengan penuh kasih sayang.
Kafka mengarah pada pendengaran si bayi, dan sekali hembusan nafas, ia melafalkan adzan dengan tulus nan merdu. Berharap buah hatinya menjadi pribadi yang kuat, serta menjadi pemimpin yang hebat kelak nanti.

Tak meniru sang ayah, namun bisa menjadi seseorang yang terarah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 05, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KAFKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang