#13

152 4 0
                                    

' Dira mandi.' kalimat yang papa lontarkan saat melewati Dira yang tengah asik merebahkan diri di kasur panjang di ruang tengah. Dira menolehkan pandangan kearah Papa. Mengeluarkan cengiran khasnya.
' Nanti, enak banget lagi gini ya gusti.' balas nya sambil meregangkan otot tangan dan kaki. Dira menggerakan tubuhnya kesana kemari diatas kasur dengan memainkan bantal sofa dikakinya. Kafka melihat Dira yang sedang asyik dengan dunianya dari ruang tamu. Kafka melanjutkan 'misi' yang sebelumnya ia buat saat perjalanan ke rumah Dira.
Segala cerita ia curahkan.
Dira menatap Kafka dari arah sebaliknya lantas menghampiri.
' Ngapain?' ucap Dira yang membuat Kafka terlonjak kaget dan segera menutup bukunya.
' Gak. ' jawabnya ketus dengan wajah datar seperti biasa. Dira menatap dengan sinis.
' Hih! pelitnya gamau kasih tau,' balas Dira.
Kafka menjulurkan lidah dan mengamankan buku dari jangkauan Dira.
' Mandi sana, bau.'
' Gak.' balas Dira dengan ketus. Dira berjalan meninggalkan Kafka dan menuju kamar. Selang beberapa waktu, kembali muncul sesosok Dira yang melintas melewati ruang tengah dengan membawa baju ganti. Kafka menaikan bahu dan kembali menulis. Baru satu hari, Kafka sudah menulis hampir 3 lembar. Sangat banyak cerita yang ia ingin tuangkan.
' Dira mana,mas?' tanya Mama Dira yang melihat Kafka sedang menulis. Dengan sigap, ia membenarkan sikap duduknya.
' Mandi tante, baru aja.' balasnya lembut. Mama Dira sudah terlihat rapi dengan setelan celana jeans dan atasan yang terlihat necis dan modis.
' Baru mandi? Ya Allah Rabbi,' ucap Mama Dira dengan keheranan.
' Ayo siap-siap, keburu makin siang.' ucap Papa Dira melewati Mama dan Kafka yang sedang bercakap sedikit.
' Nggih,om.' balas kafka. Kafka segera bangkit dan menyiapkan diri serapi mungkin. Kemeja kotak-kotak kecil dan celana jeans, tak lupa rambut yang di sisir rapi serta jam tangan dan sepatu, ditambah semprotan khas parfume soft-maskulin seperti biasanya.

Tak lama, Dira pun telah siap. Mereka pun siap untuk pergi mengunjungi sanak saudara yang Papa Dira ucap tadi pagi. Ada acara yang harus dihadiri, acara hajatan saudara Dira di Tegal.
Kafka melihat Dira dengan rambut yang terurai seperti biasanya. Cantik, batin Kafka.
Kafka segera mengalihkan pandangannya dengan melihat foto masa kecil Dira. Mata sipit, hidung tidak terlalu mancung, kulit putih, rambut pendek seperti kartun yang terkenal pada saat itu.
' Lucu kan?' ucap Dira mengagetkan Kafka. Kafka mengangguk.
' Jadi gitu lagi aja.' celetuk Kafka. Dira mengernyitkan dahi.
' Gak. Kalo aku segitu, aku gabisa main sama kamu. Gabisa ngopi kita, yeu. ' jawabnya.
' Halah, bilang aja mau ketemu terus.' ucapnya menjahili Dira.
Blush.
Semburat merah menyeruak di pipi Dira untuk yang pertama kali di hari ini.
Kafka mengacak-acak rambut Dira dan meninggalkan Dira yang mematung atas apa yang ia ucapkan tadi. Segera mungkin Dira tersadar dan mengambil barang yang ia butuhkan saat perjalanan.
' Makan di Tegal aja, ya.' ucap Mama. Dira dan Kafka mengangguk mengiyakan ucapan Mama. Terlebih, ia dan Dira memang belum terlalu lapar.

Bangunan demi bangunan terlewati, bunyi klakson kendaraan pun terdengar jelas walau sudah di perdengarkan musik di mobil untuk menemani perjalanan. Pilu Membiru, oleh Kunto Aji. Sengaja di setel Dira karena menurut Dira, lagu tersebut cocok untuk menemani perjalanan. Seperti biasa, Kafka menikmati lagu tersebut. Ia melantunkan dengan suara serak dan merdu khasnya ketika bernyanyi. Suara yang membuat semua orang terpana akan sosok Kafka.
Selama diperjalanan pun riuh dengan tawa diselingi obrolan-obrolan ringan. Pembahasan santai menemani perjalanan selama satu jam menuju Kota Laka-laka.
Kafka melihat Dira tertidur bersenderkan bantal guling bergambar pisang. Wajahnya terkena sinar matahari. Lantas Kafka mengambil bantal kecil dibelakang untuk mengurangi eksistensi sinar matahari agar tak terlalu menyengat mengenai wajah Dira.

'Sampai juga, Alhamdulillah.' ucap Papa. Kafka membangunkan Dira dengan lembut, jika tidak, ia akan marah dan menangis. Maka dari itu Kafka selalu lembut terhadap Dira, terutama saat bangun tidur.
' Bangun, udah sampai.' ucap lembut Kafka. Dira membuka mata perlahan dan mengerjap-kerjapkan, lalu melihat sesosok Kafka disamping nya.
Kafka mengelap keringat yang ada di dahi Dira dengan tissue. Dira melihat Mama dan Papa yang sedang menunggu mereka keluar dari mobil.
' Ini dimana?' tanya Dira.
' Mana aku tau. Gapernah kesini?' balas tanya Kafka. Dira menggeleng.
' Mungkin udah pindah kali.' jawabnya.
' Ayo turun, ditunggu mama papa.' ucap Kafka sesambi membuka pintu yang di ikuti Dira dari pintu yang berlawanan.

Tiba dirumah salah satu sanak saudara Dira yang ternyata mengadakan hajat khitanan. Bintang, nama yang di khitan. Bocah kelas lima SD. Anak dari keponakan Mama Dira.
Kafka melihat dekorasi khas hajat khitanan, mengingatkan tentang dirinya dulu saat di khitan. Kafka melihat sekeliling, ramai dengan tamu.
Kafka menyalami satu-satu tamu dan orang yang ada di rumah tersebut. Kafka bertemu dan disambut hangat dengan keluarga besar Dira. Bahkan Kafka diberi wejangan oleh Budhe Annah, kakak dari Mama Dira. Wejangan yang mengingatkan Kafka harus terus semangat menjalani hidup dan pendidikan, serta menjaga Dira.
Sekitar 2 jam mereka singgah disuguhi bermacam makanan dan lauk serta jajanan tradisional yang rata-rata Kafka tak mengerti sebelumnya. Hingga setelah adzan ashar berkumandang, mereka berpamitan pulang.
' Hehe jajan nya enak,' ucap Dira setelah sampai didalam mobil. Ditangannya membawa 'bekal' yang dibawakan oleh Budhe nya.
Kafka menanggapi hanya dengan anggukan karena ia sedang mengunyah nagasari yang ia ambil sebelum pulang tadi.
' Abis ini mau kemana?' tanya Papa Dira. Mama Dira melirik Dira.
' Dira mau kemana? Mas Kafka mau kemana?' timpal Mama Dira.
Kafka hanya mengeluarkan cengirannya. Tak mengerti harus menjawab apa, pun ia tak tahu ada apa saja di Tegal.
' Maaa, makan kupat dekem alun-alun!' ucap Dira dengan sangat antusias.
' Oke, sekalian sholat ashar ya.'
' Siappp!' pekik Dira.
Kafka menatap Dira yang tengah gembira. Entah karena apa. Kafka pun merasakan apa yang Dira rasakan.

Setelah sesi makan dan ibadah, tiba waktunya untuk kembali kerumah untuk beristirahat. Hampir seharian full mereka berjalan-jalan dan tentu melelahkan. Kafka menatap senja yang mengiringi perjalanan pulang. Senja di kota orang yang menurut Kafka indah. Semburat oranye terlukis indah mewarnai jagad langit dengan sedikit percikan warna ungu dan biru yang bercampur, menambah kesan 'wah' kepada sang Fajar yang perlahan menghilang.
Kafka menatap lekat proses pergantian fajar menjadi rembulan melalui kaca mobil, dan sesekali melirik Dira yang sibuk melihat hasil jepretan nya tadi saat bersama keluarga, dan juga Kafka.

Entah mengapa, terkadang waktu yang singkat
dapat menyisakan rasa yang begitu kuat.

KAFKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang