10 Januari 2020, menjadi hari pertama mereka bertemu dengan keadaaan tak seperti dulu. Perihal perasaan pun tak menentu, atau mungkin kian menyemu.
Dibalik itu, interaksi mereka melalui sosial media semakin membaik walaupun tak seintens dan seramah dahulu. Kafka tak lagi terlalu membalas singkat pesannya, walau terkadang masih saja terlontar kata-kata tak mengenakkan bagi Dira.
Kafka sendiri pun bingung. Sejak kapan dan mengapa hal ini terjadi. Namun, Kafka tak bisa melakukan hal apapun selain mengikuti segala skenario yang telah Tuhan rencanakan. Ia yakin, bahwa segala sesuatu yang berat akan terasa ringan, pula segala sesuatu yang buruk akan berubah indah, dengan waktu yang telah ditentukan.
Terkadang, Kafka dapat merasakan 'hawa' Dira disekitarnya. Entah hanya sebatas lewat di depan tongkrongan nya, atau memang Tuhan sengaja menghadirkan bayangan Dira untuk menemani kemanapun ia pergi. Kafka sama sekali tak merasa terganggu, hanya saja memerlukan jeda dan beberapa waktu.
Jeda? untuk apa?
Untuk bisa mengetahui dirinya sendiri. Kafka ingin saat ia kembali bersama Dira, Kafka telah mengetahui dirinya sendiri dan melakukan hal yang semestinya, untuk orang lain, Dira, terutama dirinya. Serta, membayar segala perilaku buruknya terhadap Dira yang kini ia lakukan dan jelas memahat bekas luka mendalam baginya.Berproses menjadi lebih baik memang memerlukan waktu yang tak singkat, terlebih untuk mengembalikan suasana yang telah jauh dari ekspektasi. Kafka menghabiskan waktu bersama teman-teman dengan upaya melupakan rasa 'aneh' yang mengganjal di hatinya. Ditambah, kalangan dari 'mereka' yang tak terlihat terkadang meminta untuk berinteraksi dengannya. Itu yang membuat isi kepala Kafka serasa ingin meledak. Ia ingin bebas, bisa seperti manusia pada umumnya dan berekspresi layaknya pemuda kisaran usia 20-an.
Sungguh, Kafka lelah akan semuanya. Namun, ia tak bisa menyerah walaupun ingin. Berat hatinya untuk menyerah, pun sulit menyatakan jika ia lelah. Ia tak bisa seperti itu. Ia tak mau berlarut dalam kerumitan. Ia ingin berjuang atas kebahagiaannya kelak.Kafka pun diam-diam merasa sangat bangga terhadap Dira. Dira mulai mau mengekspresikan diri dengan membuat sajak-sajak indah yang kemudian diubah menjadi musikalisasi puisi yang ia suguhkan di media sosial. Bahkan, ia mulai menulis sebuah karya dengan mengedit sampul karyanya tersebut dengan hasil goresan tangannya sendiri. Ia lakukan itu berhari-hari dan Kafka terang-terangan mengapresiasi karya Dira. Kafka tahu betul bahwasannya Dira wanita yang kuat, lebih dari siapapun. Dira mudah menangis, mudah mengatakan menyerah, selalu menyalahkan diri sendiri, bahkan hingga menyakiti diri sendiri dengan menggoreskan luka konyol di tangan indahnya. Namun di balik itu semua, Dira pribadi yang hangat, lembut, dan keibuan yang sangat bisa menenangkan orang lain. Itu yang Kafka suka dari Dira walaupun tak semuanya. Menurut Kafka, sisi itulah yang Kafka rindukan dari Ivana Nadira.
Dira mampu menuangkan segala ide di otaknya walau dalam keadaan yang tak mungkin bagi orang lain, dan Kafka bangga. Kafka akhirnya bisa melihat seorang Dira berkarya tanpa dirinya, sedangkan Kafka?
Masih dengan kata 'entahlah.'
Kafka malas berdiskusi dengan diri nya sendiri terutama perihal rasa. Kafka hanya ingin menjalani dengan sebagaimana mestinya. Kafka tak ingin jatuh terlalu dalam lagi, dan Kafka tak ingin membuat seorang wanita menguraikan air matanya demi lelaki yang belum tentu bisa bersanding bersama.
Tapi tak bisa dipungkiri, kini Kafka sudah terlalu jatuh menyelami rasa yang diberikan Dira. Kafka sangat merindukan Dira. Suara, wajah, perilaku, senyuman, segalanya. Ia ingin melakukan segala hal seperti dulu lagi tanpa ada kenangan buruk didalamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAFKA
Romance" Tak perlu meminta untuk menetap. yang sekadar singgah akan pergi, yang tersesat segera mencari jalan, yang dalam perjalanan akan segera datang. Aku, sedang dalam perjalanan pulang, singgah, hingga menujumu, rumah. ''