Bunyi kendaraan tertangkap jelas di pendengaran lelaki yang kini tengah fokus berkutat dengan apa yang ada dihadapannya. Kemacetan. Kafka benci kemacetan. Surakarta kini semacet Jakarta. Padahal, Surakarta hanya lingkup itu-itu saja. Kafka melewati dan sesekali melirik gedung Induk dari Universitasnya. Tak ada yang berbeda, dan tak ada yang spesial. Kafka melajukan motornya santai. Awan berubah menjadi kelabu perlahan, terasa rintik hujan mengenai tangan Kafka. Gerimis.
Kafka segera melajukan kendaraannya agak cepat dari biasanya agar tidak terjebak hujan.
Tak lama, ia sampai di kos Dira. Dira menyebutnya Kos Biru, jika sedang kesal, Dira menyebutnya Kos Biru Jelek.
Kafka segera mengabari Dira bahwa ia sudah sampai. Dira lebih suka menunggu dikamar nya daripada dibawah atau didepan kos nya. Dira bilang seperti anak hilang. Dira tak mau dikira anak hilang. Beberapa menit setelah dikabari, sosok yang bernama Ivana Nadira hadir di hadapannya. Dan seperti biasa, ia cengar cengir melihat Kafka. Kafka terdiam. Cuek.
' Tuhkan, Kafka tuh kebiasaan! Baru aja dateng mukanya gitu!' Protes Dira sesambi memperhatikan Kafka yang sedang membelokkan posisi kendaraannya menuju arah dimana ia berangkat tadi. Kafka masih terdiam, dan Kafka menatap Dira. Dira menekuk wajahnya. Dira tak marah. Dia bukan tipe pemarah. Kafka memang suka menjaili Dira seperti itu. Asik, menurut Kafka.
Dira buru-buru naik dan membenarkan posisi bajunya yang agak naik lalu melihat kearah spion. Kafka menatapnya. Sedari tadi Kafka menatap Dira melalui spionn, lalu tersenyum manis.
Dira membeku. Ia jelas salah tingkah. Semburat merah terlihat jelas di kedua pipi Dira.
' Cepet jalan, udah mulai gerimis. nanti keujanan. kalo ujan sakit, kalo sakit gabisa ketemuu. Ayo, cepet jalan. Gas le!' ucap Dira gugup sambil menahan rasa malunya. Kafka masih menatap Dira. Menahan tawa melihat tingkah konyol Dira. Dira yang merasa masih ditatap Kafka memberanikan diri untuk membalas tatapan Kafka di spion.
' Kafka ih kenapa ngeliatin ayo buruaaan!' kata Dira makin salah tingkah dengan tatapan Kafka. Kafka tertawa. Tawa yang tulus. Tawa yang renyah, dan tawa yang selalu Dira rindukan dari Kafka.
Kafka menyerah dan memilih menyudahi keisengannya.
Ia mulai menyalakan kendaraannya.
Memulai cerita nya di hari Minggu kala itu ditemani rintik gerimis yang belum berniat mengguyur deras Kota Surakarta. Berjalan menyusuri Kota dengan canda dan tawa. Sesekali Kafka mengelus, menepuk lembut lutut Dira dengan tangan kirinya sesambi menyeimbangi motor. Melirik mata indah Dira, menikmati suara tawa nya, Merekam semua memori indah Kafka bersama Dira yang di hiasi semburat indah senja.
Kafka bahagia.
Pikirnya,
Apakah Dira begitu juga?
Merasakan apa yang Kafka rasakan?
Entahlah.
Tapi Kafka yakin.
Sangat Yakin.
Jelas Dira merasakan apa yang Kafka rasakan. Saat dulu. saat ini, bahkan hingga nanti.
Hanya satu alasan mengapa Kafka seyakin itu.
Tuhan telah menakdirkan Dira, untuk Kafka. Dan Kafka, untuk Dira. Yang lain? hanya sebagai pelengkap hari dan cerita.
Tokoh utamanya?
Kafka,
dan Dira .
KAMU SEDANG MEMBACA
KAFKA
Romance" Tak perlu meminta untuk menetap. yang sekadar singgah akan pergi, yang tersesat segera mencari jalan, yang dalam perjalanan akan segera datang. Aku, sedang dalam perjalanan pulang, singgah, hingga menujumu, rumah. ''