05 || Sumpah Suri pada Matt

4.2K 553 34
                                    

Instagram : unianhar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Instagram : unianhar

Malam itu rumah Wirdiatama riuh dengan suara teriakan kesakitan Matteo saling bersahutan dengan umpatan kasar Suri yang mengunci pergerakan Matteo dengan menarik sebelah tangannya kebelakang, sebelah kakinya mengukung kedua kaki Matteo dan sebelah lengan Suri melingkar dileher Matteo erat sampai membuat wajah Matteo memerah karena susah bernapas.

Harusnya malam itu mereka istirahat bukan malah bergulat membuat orang rumah terusik. Kedua kakak beradik itu bergulat di lantai dimana Suri lah yang mendominasi permanainan tidak membiarkan Matteo mengambil kesempatan membalasnya.

"HEI HENTIKAN!" Teriak Leondaru keluar dari kamar berlari mendekati kedua anaknya untuk melerai, kalau Leondaru membiarkannya maka sudah dipastikan Matteo hanya tinggal nama keesokan harinya.

Vella juga keluar dari kamar, berlari tergopoh seraya mengikat tali piyamanya tidak memperdulikan rambutnya acak-acakan menyusul suaminya yang berusaha melerai keduanya. Lebih tepatnya menarik Suri dari Matteo yang berteriak kesakitan.

Uhuk....uhuk

Matteo terbatuk memukul lengan Suri meminta dilepaskan, selain susah bernapas lehernya juga sakit, Matteo belum ingin mati kalaupun mati ia tidak rela mati ditangan Suri, "Papa tol....long Matt uhuk...uhuk!" Pinta Matteo menatap papanya memohon.

"Papa bilang lepasin, Suri!" Gertak Leondaru menarik Suri tapi putrinya itu semakin mengeratkan lilitan kakinya dipinggang Matteo membuat Leondaru kesusahan menariknya.

"Suri mama mohon lepasin abangmu!" Vella berjongkok melepaskan tangan Suri dari putranya, "Kamu mau bunuh abangmu, huh?" Tanya Vella lirih, ibu mana yang mau melihat kedua anaknya berkelahi seperti sekarang? Setiap ibu ingin anaknya akur dan saling menyayangi bukan saling melukai.

Setelah Vella berhasil merenggangkan lilitan tangan Suri dari Matteo, Leondaru menarik Suri menjauh dengan melingkarkan kedua tangannya diperut Suri yang merontah dilepaskan. Matteo merubah posisinya miring, ia meringkuk terbatuk memegang lehernya dan menarik napas rakus. Matteo kira ia akan mati ditangan titisan Nyi Blorong itu.

"Suri hentikan!" Gertak Leondaru menghempaskan Suri ke sofa menatap putrinya nyalang, Suri menatap papanya dengan emosinya yang masih menelingkupnya kalau bukan karena papanya sudah Suri pastikan akan mengirim Matteo ke neraka, "Papa nggak suka kamu nyiksa abang kamu kaya gitu!" Tunjuk Leondaru penuh emosi. Bagaimana bisa seorang adik sekejam itu pada abangnya? Menyiksanya sampai abangnya kehabisan napas seperti tadi.

"Suri nggak bakal nyiksa dia kalau dia nggak macam-macam sama Suri, pa!" Tandas Suri melirik Matteo penuh dendam, "Dia udah ngecat bulu cici! Suri nggak terima!" Protesnya lantang. Foto yang ada di ranjang Suri tadi adalah foto cici kelinci putih peliharaan Suri yang sudah dicat Matteo jadi warna ungu ngejreng.

"Oh jadi karena kelinci itu?!" Leondaru mengeratkan rahangnya berlalu kebelakang, pria berusia 40 tahun itu kedapur lalu keluar dari sana membawa pisau menuju pintu belakang yang mengarah ke taman. Suri terbelalak, otaknya tiba-tiba tertuju pada cici, Suri berlari menyusul papanya kebelakang.

"Papa jangan!" Teriaknya menghilang dibalik pintu.

Matteo merubah posisinya duduk bersilah, menarik napas dan mengeluarkannya pelan, ia masih memegang lehernya melihat kearah dimana Leondaru dan Suri menghilang, wajahnya bak anak kucing yang baru kecebur got membuat Vella kasihan sekaligus marah, Matteo tau kalau Suri begitu menyayangi cici, sakit saja Suri rela merawat cici sampai sembuh bahkan makanan kelinci itu sangat diperhatikan oleh Suri dan bagaimana bisa Matteo berpikir melakukan ini padanya kalau Matteo memang ingin bunuh diri?

"Papa jangan sentuh cici!"

"Papa Suri mohon jan.....cici!"

Teriakan itu terdengar dari dalam rumah. Matteo dan Vella berpandangan seakan satu pemikiran, Matteo menelan salivanya susah sebelum berdiri menyusul Vella yang berlari keluar menemui suami dan putrinya.

Hiks....

Satu hal yang Suri inginkan, hidup tanpa harus merasa kehilangan. Hidup memang seperti itu, kehilangan adalah bagian perjalanan yang mau tak mau semua orang harus merasakannya. Kehilangan apa yang Suri sayang merupakan kesedihan terbesarnya dan penyebab dari semua itu adalah orang yang Suri sayang semakin menambah kesedihannya, seperti sekarang.

Suri berjongkok tak bisa membendung air matanya menatap cicinya tergeletak penuh darah didepannya. Suri menyentuh cici dengan tangan bergetar, bibirnya ikut bergetar mengigit bibir dalam menahan raungannya. Mungkin hanya seekor kelinci biasa tapi bagi Suri dia adalah teman, disaat Suri tidak bisa berbagi kesiapapun maka kelinci itulah yang menjadi tempat curhatannya meski ia tidak bisa bicara namun setidaknya ia bisa mendengar Suri saat mengobrol.

"Ma...maaf," cicit Suri menyentuh cici lembut, "Maafin gue ci, maaf." Suri tercekat menunduk menangis membiarkan tangisannya keluar, kedua bahunya bergetar menandakan Suri benar-benar kehilangan.

Pisau yang berlumur darah ditangan Leondaru terjatuh, pria itu membuang pandangannya kearah lain lalu berbalik melihat Vella dan Matteo berdiri menatapnya tak percaya. Leondaru menatap kedua bergantian sebelum melenggang melewati keduanya.

"Kubur kelinci itu!" Titahnya pada Asep tukang kebun disana yang terbangun dari tidurnya mendengar suara seseorang menangis.

"Papa kita harus bicara!" Vella berbalik menyusul Leondaru penuh emosi meninggalkan Matteo yang setia berdiri mematung menatap Suri merasa bersalah.

"Gue benci sama lo, Matt. Demi langit dan bumi gue bener-bener benci sama lo," ucap Suri disela-sela tangisnya. Ini semua karena Matteo, kalau bukan karena ulahnya membuat bulu cici jadi ungu Suri tidak akan marah dan menghajar, kalau semuanya bukan karena Matteo papanya tidak akan menikam cici sesadis itu. Semuanya gara-gara Matteo!

****

Pagi menyising, matahari mulai menampakkan dirinya seolah menyapa penghuni bumi yang masih asik bergulum dengan selimutnya. Cowok berwajah tampan itu bangun, mengumpulkan kesadarannya sebelum ke kamar mandi untuk msmbersihkan diri lalu bersiap-siap ke sekolah.

Selesai memasang dasi dan menyikap rambutnya diberi pomade seraya bersiul menyambar tasnya dikursi meninggalkan kamarnya menuruni tangga. Ia berjalan ke meja makan dimana mama dan papanya sarapan tanpa suara.

"Pagi ma, pa" sapanya menarik kursinya, mengambil roti dan mengoleskan selai dipermukaannya. Ia mengigit rotinya dan mengunyahnya merasa aneh pagi ini, ia melirik kekursi kosong disampingnya, ia menoleh pada papa dan mamanya.

Leondaru makan seperti biasanya seolah tidak akan yang terjadi sebelumnya sedangkan Vella memotong rotinya dengan pisau tanpa suara, wanita paruh baya itu hanya membuang napas kasar fokus menatap piring didepannya dengan mata sembab.

"Bi titisan Nyi blorong belum turun?" Matteo ingin bertanya pada kedua orang tuanya namun ia mengurungkannya saat melihat keduanya tidak dalam mood yang baik maka ia bertanya pada bi Tati yang baru saja datang membawakan susu coklat untuknya.

"Non Suri udah berangkat pagi-pagi sekali, Den." Jawab bi Tati sebelum undur diri kebelakang.

Suara sendok yang sengaja diletakkan kasar dipiring mengalihkan perhatian Matteo kearahnya, Leoandaru melap bibirnya dengan kain putih lalu melettakannya kasar kedepan meja, "Pulang sekolah langsung ke rumah. Nggak ada latihan sepak bola seminggu kedepan." Belum Matteo membuka suara Leondaru mendahuluinya, "Jangan ngebantah papa nggak suka!" Bungkam Leondaru pada Matteo. Leondaru berdiri meninggalkan meja makan membawa tas kerjanya tanpa bicara apapun pada Vella.

"Ma, Matt nggak bis...."

"Matt, pak Ahmad udah nunggu didepan, berangkat sana sebelum telat!" Potong Vella membereskan meja makan didepannya. Matteo menatap mamanya memelas namun wanita itu tak melihatnya sama sekali.

"Ck. Gara-gara Suri nih!" Geramnya meninggalkan meja makan sambil misu-misu.

Tbc

RUMAH KITA (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang