24 || Rencana Besar

3.7K 570 39
                                    

Instagram : unianhar

Surinala memalingkan wajahnya kesamping tidak ingin melihat wajah mamanya yang tersenyum seolah ia baik-baik saja, wanita itu tersenyum seakan pilihannya yang terbaik untuk keluarga mereka. Bagaimana ia bisa berpikir demikian, tidakkah ia memikirkan perasaan kedua anaknya terkhusus Surinala yang menyamarkan matanya yang berkaca-kaca, sebagai anak yang mengetahui kedua orang tuanya akan berpisah membuat hatinya hancur. Tidak ada anak yang akan baik-baik saja setelah kedua orang tua mereka berpisah.

"Suri," panggil Vella dengan suara lembut, ia menatap putrinya yang enggan menoleh padanya dengan rasa bersalah, "Mama harap Suri ngerti, keputusan kami semata-mata buat kalian juga" Suri langsung  menoleh padanya dengan tatapan sedih. Alasan macam apa itu? Kalau demi mereka harusnya mereka tidak melakukan ini. Orang tua harusnya terus bersama bukan malah memilik berpisah tanpa memikirkan tentang anak-anak mereka.

"Apa mama sama papa harus pisah?" Lirih Suri merasakan tenggorokannya terhimpit sesuatu, menahan perih didada dan menahan tangis yang ingin keluar membuat ia kesusahan bernapas. Vella menatap Suri tertohok, putrinya yang jarang sekali menunjukkan ekspresi sedih pada dirinya kini tidak bisa menutupi perasaannya. Vella yakin berita ini berhasil mengguncang Suri, putrinya yang selama ini beberapa kali gagal masuk pelatnas tidak pernah menunjukkan kesedihannya tapi sekarang?

"Apa papa sama sama nggak mikirin perasaan, Suri?" Seraknya menyeka air matanya yang tiba-tiba keluar. Suri sering kali dihadang oleh kekecewaan, berkali-kali gagal masuk pelatnas dan berkali-kali gagal di OSN tidak membuatnya sekecewa ini sampai ia harus menitikan air mata.

"Sur...."

"Tolong jangan biarin keluarga kita hancur, ma. Jangan pernah!" Pinta Suri berdiri meninggalkan meja makan melewati kursi dimana mamanya duduk termangu. Lama terdiam Vella mengerjap tersadar meremas tangan Matteo yang tersenyum lembut padanya seolah memberinya kekuatan. Vella tau dibalik senyuman itu ada sebuah harapan besar yang membuat Vella semakin berat.

"Maafin mama, Matt. Mama nggak akan mundur" pertegas Vella berhasil menapik hatinya yang sempat goyah. Harapan Matteo hancur saat itu juga, rasanya menyesakkan mengetahui orang tuanya memilih untuk berpisah. Matteo tidak tau alasannya apa dan meskipun ia tau tentunya perpisahan bukan hal yang bisa Matteo terima.

****

"Surinala!"

Bu Inka guru kesenian memukul papan tulis dengan spidolnya menegur Surinala yang merenung menatap keluar jendela. Bu Inka yang sering kali mendapati Surinala seperti itu sudah tidak tahan untuk memberi peringatan. Meski Surinala siswi yang berprestasi bukan berarti ia seenaknya melakukan apa yang ia mau seperti merenung di mata pelajarannya.

Suri terlonjak menatap polos, bu Inka menggeleng seraya berdecak melihat wajah tanpa dosa yang Suri layangkan, "Keluar dari mata pelajaran saya!" Perintah bu Inka menunjuk pintu kelas yang terbuka lebar. Surinala terperangah sebelum Anya menyenggol lengannya meminta Suri keluar sebelum bu Inka semakin murka. Murkanya bu Inka lebih seram dari istri yang ditinggal suami berhari-hari tanpa kabar.

Seraya mendesah pasrah Suri berdiri dari kursinya menuju pintu yang terbuka lebar seakan memintanya untuk segera melewatinya. Meski enggan melakukannya Suri tetap keluar dari sana menuju toilet. Disana ia berkaca, memperhatikan dirinya lekat sebelum memutuskan membasuh muka. Tidak ada yang berbeda, wajahnya tampak baik-baik saja meski beberapa hari terakhir ia tidak bisa tidur.

Semuanya karena rencana orang tuanya untuk bercerai. Sampai sekarang Suri masih tidak terima, memikirkannya saja membuat hatinya kembali teriris, tidak ada luka yang lebih parah bagi seorang anak selain perceraian orang tuanya. Dan saat ini Suri merasakan luka itu. Meski belum ada keputusan dari pengadilan tetap saja Suri merasa tersakiti. Dari kecil sampai sekarang ia tak pernah membayangkan kedua orang tuanya memilih untuk berpisah padahal selama ini mereka tampak baik-baik saja.

Cukup lama merenung didepan kaca, Suri keluar dari toilet mendapati Matteo berdiri menyilangkan tangan didada dengan kedua ujung kaki menyilang sambil bersandar disamping pintu toilet menunggu Suri keluar. Suri terlonjak memegang dadanya seraya memalingkan wajah dengan jutek meninggalkan Matteo yang mendengkus malas tetap mengikuti Suri 5 meter darinya.

"Gue mau ngomong," ucap Matteo masih mengikuti Suri dengan kedua tangan disaku celana melewati koridor sepi.

"Bukannya lo udah ngomong?" Balas Suri cuek tanpa berbalik, Matteo memutar bola matanya malas.

"Gue serius, Suri" desis Matteo dengan gigi terkatup menekan kalimatnya, "Ini mengenai rencana kita" sambungnya tidak ingin membuang-buang waktu.

Suri berhenti lalu berbalik mendapati Matteo yang juga berhenti disana. Suri menatap Matteo tanpa ekspresi begitupun Matteo menatapnya begitu misterius seakan ia mempunya rencana lain yang kemungkinan besar akan berhasil mengingat selama ini mereka selalu gagal. Matteo melewati Suri yang mengulum bibrnya, meski malas ia tetap berbalik mengekori Matteo membawanya keatas rooftop gedung lama yang cukup jauh dari gedung kelas mereka.

Melewati pintu rooftop Matteo mempersilahkan Suri masuk lalu menutupnya kembali saat setelah ia memeriksa keadaan sekitar apakah ada orang yang melihat atau tidak. Suri berjalan kepembatas rooftop yang terbuat dari beton dan memegangnya, tatapannya lurus kedepan tidak sadar akan Matteo yang duduk disalah satu kursi dibelakangnya.

"Sidang perdana mama sama papa bakal dimulai besok"

Mata bulat nan indah itu terbelalak, sayatan kembali tertoreh didalam hatinya mendengar ujaran Matteo. Rongga mata Suri memerah menahan air matanya yang ingin terjatuh untuk kesekian kalinya. Dia bukan anak yang cengeng namun akhir-akhir ini ia selalu menangis tanpa alasan yang jelas.

"Sekarang apa?" Tanya Suri berbalik bersandar pada pembatas rooftop menatap Matteo putus asa, "Rencana apa lagi? Kita udah jalanin rencana yang lo bikin tapi apa? Nggak berhasil, malahan mama sama papa tetap kukuh melakukannya!" Ratapnya frustasi.

Baik Suri maupun Matteo sama-sama berusaha. Tiap pagi mereka menemui orang tua mereka untuk sarapan bersama, sejam sebelum makan malam mereka menelfon kedua orang tua mereka untuk mengajak makan malam dengan harapan hubungan keduanya membaik. Namun sayang usaha mereka tidak sesuai harapan. Kadang setiap ia berusaha hanya salah satu dari kedua orang tuanya yang datang kalaupun mereka berkumpul bersama di meja makan tidak ada pembicaraan dari keduanya meski Suri dan Matteo membuka topik pembicaraan terlebuh dahulu, tidak ada yang menanggapi kalau ada hanya ada anggukan atau kata iya dari mereka.

Kadang dalam suasana seperti itu Suri nyaris meraung ingin melempar semua barang-barang agar mereka menanggapinya bukan malah saling diam saja membuatnya terlihat seperti orang bodoh. Bicara terus menerus tanpa ada tanggapan. Itu melelahkan baginya, rasanya Suri habis berlari keliling komplek 100 kali. Lelah dan sakit Suri rasakan dalam waktu bersamaan.

"Sebelum palu diketuk kita masih punya jalan. Nggak nutup kemungkinan kita bisa nyatuin mereka lagi" Dengan optimis Matteo berujar yakin. Besok hanya sidang perdana, bukan sidang akhir, selama belum ada keputusan dan ketukan masih ada kesempatan untuknya menyatukan kedua orang tuanya. Sebagai anak yang menginginkan keluarganya tetap utuh Matteo tidak akan membiarkan mereka berpisah begitu saja.

"Caranya?"

"Lo cerdas, bukan?" Tanya Matteo balik membuat Suri mengeruh kesal.

"Gue nggak dalam mood bagus nanggapin lo" geramnya ingin menerjang Matteo dan menjambak rambutnya sampai botak.

Matteo terkekeh pelan membuat Suri meremang, akhir-akhir Matteo sedikit menyeramkan jika tertawa seperti itu, Matteo seolah rawan akan kerasukan setan setelah syok mendengar perceraian orang tua mereka.

"Malam ini kita harus buat mama sama papa makan di rumah.....mereka harus datang." Desis Matteo menekan kalimatnya seolah apa yang ia rencanakan harus berjalan lancar tanpa kendala apapun.

Tbc

RUMAH KITA (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang