20 ||Memilih Untuk Berakhir

3.3K 576 28
                                    

Instagram : unianhar

Nyaris pukul satu malam keluarga Wirdiatama dikegetkan dengan kepulangan Matteo dalam kondisi babak belur, Matteo terlentang di sofa meringis memegangi perutnya tidak memperdulikan wajahnya yang tampan hampir dipenuhi dengan luka lebam akibat bogeman yang ia terima. Pukulan dan tendangannya yang mengenai wajah dan perutnya terasa menyakitkan, untuk pertama kalinya Matteo menerima penganiayaan selain dari Suri dan sakitnya sepuluh kali lebih sakit dari rasa sakit yang Suri berikan.

Bi Mayang muncul dari balik garis pembatas antara ruang keluarga dan ruang tamu menghampiri Matteo yang terkapar menutup mata. Tidak lama berselang Vella datang sedikit berlari mendekati putranya, menangkup wajah Matteo cemas. Matteo meringis melepaskan tangan mamanya dari wajahnya, memalingkan wajah kesamping. Setelah kejadian itu Adipati mengantar Matteo pulang bersama Zigi yang mengendarai motor Matteo. Tanpa menerima ajakan Matteo mampir, mereka memutuskan untuk pulang.

"Ini kenapa Matt? Siapa yang lukain kamu?" Cecar Vella kembali meraih wajah putranya yang masih berniat memalingkan wajah tapi Vella menahannya. Matteo meringis menyentuh sudut bibirnya yang masih mengeluarkan darah. Rasanya perih sekali, ia tidak bisa berlagak baik-baik saja sekarang.

Matteo memegang tangan mamanya yang masih menyentuh wajahnya. Melihat sorot mata mamanya Matteo bisa melihat kekhawatiran disana, lama-lama mata mamanya memerah menahan genangan air disana, hati Matteo nyeri. Sungguh ia tidak rela melihat mamanya menangis. Matteo meraih tangan mamanya membawanya kedepan bibir, menciumnya lama menghantarkan rasa sayang Matteo teramat besar untuk wanita yang telah melahirkannya itu.

"Matt nggak apapa, ma. Cuma salah paham biasa" Matteo menenangkan.

"Nggak apapa gimana kamu ini?!" Gerutu Vella menelisik keadaan sang putra. Dengan sigap tangan Matteo yang mengelus perutnya lepas dari sana. Vella yang menangkap pergerakan itu curiga langsung menyibakkan baju Matteo keatas.

"Matteo," lirih Vella tidak bisa membendung air matanya lagi, ia kira cuman wajah Matteo yang terluka tapi ternyata perutnya juga ikut terluka, Matteo lagi-lagi memalingkan wajah menarik bajunya turun kebawah tapi Vella menahannya, "Apa yang terjadi padamu, nak? Kenapa ini bisa terjadi?" Tanya Vella bertubi-tubi mengarahkan tangannya yang gemetar keperut Matteo. Sebagai ibu hatinya sakit melihat putranya terluka seperti sekarang.

"Mama Matt nggak apapa. Sungguh" Matteo memperbaiki posisinya untuk duduk tegap memeluk mamanya mengelus punggungnya.

Bugh

"Aw!" Dengan mata terbelalak Matteo memegang bahunya setelah dapat tabokan dari sang mama, "Mama Matt lagi sakit kenapa dipukul?"

"Kamu nakal ya?!" Hardik Vella menyeka air matanya yang terus terjatuh, "Mama udah berapa kali bilang sama kamu jangan nakal Matt! Jangan! Sekarang gimana kalau kaya gini? Huh?" Vella memukul-mukul sandaran sofa membuat Matteo sedikit menjauh takut mamanya memukulnya lagi, "Wajah dan perutmu semuanya luka...." Vella berjongkok membuka sepatu Matteo memeriksa apakah disana ada luka atau tidak, Vella menghela napas lega menunduk di sofa, "Syukurlah kaki kamu nggak kenapa-kenapa."

Matteo menggerakkan kakinya kekiri-kanan memastikan. Ada kelegaan dihatinya jika ia baik-baik saja. Setidaknya ia masih bisa melindungi kakinya dengan cara meringkuk. Salah satu aset yang berharga untuk Matteo adalah kakinya. Untuk meraih mimpinya ia harus punya kaki yang sehat.

Vella masih saja terus menangis, Matteo berusaha membujuk mamanya agar berhenti menangis membiarkan bi Mayang mengompres wajahnya.

"Ada apa ini?"

Suara bariton terdengar, ruang tamu mendadak senyap. Mereka menoleh kearah pria berusia 45 tahun itu berjalan mendekat dengan wajah suntuk, tampaknya ia baru bangun tidur. Matteo menelan salivanya susah, rasanya ada batu yang mengganjal ditenggerokannya. Matteo menunduk dalam berharap papanya tidak sadar akan keadaannya.

RUMAH KITA (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang