Follow instagram aku ya : unianhar
Matteo meraih amplop berlogo organisasi sepak bola Indonesia terjulur di depannya, membacanya seksama lalu mengangkat wajahnya menatap pria paruh baya didepannya dengan lidah kaku, "Ini...."
"Semoga kamu beruntung, Matteo." Pungkasnya menepuk bahu Matteo yang masih mencerna ucapan menejer yang baru saja melewatinya, meninggalkan Matteo yang masih dalam mode keterkejutannya, kepalanya tiba-tiba blank tidak bisa berpikir, seraya kembali membacanya seksama tangannya bergetar hebat, matanya yang indah berulang kali memastikan jika deretan huruf yang tertera disana adalah namanya, Matteo Princeo Wirdiatama.
Matteo mendengus senang, mengepalkan kedua tangan keatas udara menandakan kegirangannya mendapatkan surat yang begitu penting dalam hidupnya. Surat ini adalah surat yang ditunggu-tunggu semua pemain sepak bola, seperti dirinya.
Matteo berjingkrak mencium suratnya, "Aku akan melakukan yang terbaik. Iya Matteo akan melakukan yang terbaik!" Pekiknya berjanji pada diri sendiri jika ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.
Matteo adalah satu dari 70 anak remaja seusianya diberi kesempatan mengikuti seleksi timnas U-18. Betapa senangnya Matteo, mungkin ini karena hasil kerja kerasnya dan kerja tim yang membantunya membuat video untuk dikirim ke petinggi sepak bola Indonesia. Matteo kira ia tidak akan lolos karena ia bergabung dengan tim baru sebulan tapi nyatanya ia dipanggil. Beberapa langkah lagi, Matt. Matteo mendoktrin dirinya agar bisa melakukan yang terbaik, seragam merah putih sudah berada didepan mata. Matteo harus mengenakannya dan membuktikan bahwa ia mampu.
Di tempat lain, tepatnya disebuah ruangan kerja yang dihiasi ratusan mendali, piala, piagam dan frame foto disetiap sudut ruangannya terasa mencekam, di sana dua orang berbeda generasi duduk di sofa, yang satu membaca laporan yang satunya lagi duduk gelisah menunggu apa yang akan dikatakan oleh wakil ketua organisasi padanya.
"Surinala Princessia Wirdiatama, benar?" Suara wanita paruh baya itu menginsktruksikan Suri untuk mengangguk membenarkan, wanita itu meletakkan berkasnya di meja dan meletakkan kedua tangan dikedua sisi kursi, kakinya menyilang menatap Suri lekat.
"Santai, Surinala. Saya tidak akan mengigitmu" tukasnya tersenyum menenangkan melihat keresahan Suri yang begitu jelas. Suri berusaha untuk tersenyum mengendalikan dirinya. "Sebenarnya ini bukan kuasa saya bicara padamu. Tapi karena saya sudah terlanjur disini maka saya memutuskan melakukannya, merasa sayang makanya saya memintamu menemui saya" jelasnya terdengar tulus.
"Kamu pasti tau kenapa saya memanggilmu kesini. Iya, kan?"
"Maaf. Saya akan berusaha lebih giat lagi" panik Suri menunduk dalam sampai dagunya menyentuh dadanya. Masuk dalam pelatanas tidak mudah baginya dan Suri tidak akan semudah itu menyerah begitu saja membiarkan dirinya didepak.
Wanita itu terkekeh merubah posisi duduknya mendekat, "Saya dengar kamu berada diperingkat pertama saat seleksi masuk pelatnas. Saya mewakili organisasi mengapresiasi kemampuan kamu, Surinala. Meski kamu dari sekian banyak atlet yang berbakat tentunya kami sangat berharap banyak padamu. Jangan menyia-nyiakan kesempatan di depan mata. Kesempatan ini akan jarang sekali datang, kamu harus tau itu"
"Apa saya masih diberi kesempatan?" Tanya Suri mengangkat wajahnya penuh harap.
"Selama tim inti belum ditentukan kamu masih memilikinya." Suri menghela napas lega, setidaknya ia masih selamat kali ini, "Ingat, poinmu dibawah standar. Peluangmu hanya sedikit. Lengah sekali saja maka dengan sangat terpaksa say good bye to Asean Games." Sesalnya mengatakan demikian. Ia hanya ingin atlet berbakat seperti Suri bangkit dan tidak menyianyiakan peluang yang ada dan tentunya bukan orang bodoh melepaskan masa depan cemerlang didepan mata.
Entahlah, mendengar penuturannya membuat perasaan Suri campur aduk. Ada semangat juang di dalam sana yang berkobar namun seketika semangatnya tertutupi dengan ketidak percayaan diri Suri melakukannya. Ia takut, disaat ia ingin melakukan yang terbaik bayang-bayangan perpisahan kedua orang tuanya menghantui, menghambat dirinya untuk berhasil dan menghantarkan Suri pada jurang kegagalan yang mengenaskan.
"Baiklah. Apa yang saya katakan sudah selesai." Wanita itu berdiri meraih tasnya, sebelum berbalik kembali menatap Suri, "Semoga kamu mengerti maksud saya." Imbuhnya meninggalkan Suri dalam kesunyian di ruangan itu.
Masih dengan pikiran berkecamuk Suri berjalan kearah gor di mana rekan-rekannya duduk berkelompok tanpa adanya pelatih di sana, mata Suri menatap kosong tidak menyadari jika ia sudah sampai, beberapa pasang mata melihatnya apalagi saat Talita memanggilnya berlari kearahnya.
"Suri lo nggak apapa?!"
Talita meraih kedua tangan Suri dan memeluk temannya itu, jujur ia khawatir mengetahui Suri diminta ke kantor menemui bu Siwi perwakilan organisasi yang tiba-tiba muncul tanpa pemberitahuan.
"Iya nggak apapa, Ta"
"Bu Siwi ngomong apa aja? Dia nggak ngomong yang macem-macem, kan?" Berondong Talita berharap Suri tidak didepak seperti apa yang dikatakan rekan-rekannya yang lain.
"Bu Siwi minta aku berlatih lebih giat, itu aja" sahut Suri pelan membuat Talita bernapas lega.
"Syukurlah, kami kira bu Siwi nendang lo dari pelatnas" Talita menutup mata menggandeng Suri kearah rekannya sesama junior "Suri nggak didepak!" Beritahunya riang, rekannya bersorak turut senang, mereka sempat mengira Suri akan dikeluarkan mengingat latihannya hampir sebulan ini tidak seperti biasa.
Sambil tersenyum Suri duduk membuat lingkaran, matanya mengedar sampai menangkap sosok Zigi berdiri berhadapan dengan Sena, pria itu memandang padanya disampingnya Sena bicara sesuatu. Cowok itu menaikkan alisnya dibalas senyuman kecil oleh Suri. Meski Zigi tidak pernah mengatakan sesuatu tapi Suri merasa pria itu peduli padanya.
****
Motor sport sudah terparkir di garasi, sang empunya turun dari sana membuka helm menuju pintu utama melewati teras dimana sebuah mobil baru saja terparkir, seseorang keluar dari sana berlari kecil mengelilingi bagian depan mobil mengajak temannya untuk mampir. Matteo sampai di teras menaiki beberapa tangga menoleh ke dalam mobil.
"Hai Matteo!" Sapa orang dibalik kemudi menaikkan tangan padanya.
"Oh? Hai Talita!" Balasnya menaikkan tangannya di mana kunci motornya terlampir, "Nggak mampir dulu?" Tawarnya menunjuk pintu rumahnya yang sudah terbuka.
"Lain kali, gue cuman nganter Suri. Gue balik!" Pamit Talita menekan pedal gas meninggalkan keduanya di teras, setelah mobil Talita menghilang dari pandangan Matteo mengerling mendapati Suri melewatinya begitu saja. Matteo memajukan bibir bawahnya tidak perduli.
"Ah astaga!" Matteo terpekik memegang dadanya karena Suri tiba-tiba berbalik didepan pintu menatapnya menyelidik seakan matanya adalah alat pelacak mencari sesuatu yang mencurigakan darinya, "Apa yang lo lakuin?! Minggir!" Keluh Matteo mengulurkan tangan kesamping kepala Suri dan menggesernya, Matteo melenggang memasuki pintu melewati Suri.
"Sejak kapan lo akrab sama Talita?"
"Lupa"
"Matt!"
"Sejak gue nganter lo ke rumah dia" akunya.
"Kok bisa?"
"Gue minta nomornya. Udah ya, nggak usah nanya lagi!" Matteo berlari cepat menaiki tangga menolak untuk ditanya lagi. Suri berhenti menatap kepergian Matteo kesal, Suri menyesal diantar waktu itu. Ketakutan melanda, bagaimana kalau Matteo mendekati Talita dan mempermainkannya?
"Suri, baru pulang?"
Terkesiap, Suri menoleh kesumber suara melihat mamanya baru keluar dari kamarnya. Kamar yang seharusnya menjadi milik papanya juga andai saja mereka tidak dalam tahap bercerai. Suri memalingkan wajah beranjak dari sana.
"Suri kam...."
"Aku capek. Selamat malam." Sela Suri ketus menaiki tangga meninggalkan Vella dengan tatapan sendunya. Sudah hampir dua minggu Suri bersikap cuek dan ketus ketika bicara dengannya, awalnya Vella tidak mengindahkan tapi lama-lama rasanya menyessakan bagi seorang ibu menerima perlakuan yang tidak seharusnya.
Tbc
Menurut kalian sejauh ini yang paling terluka diantara Matteo dan Suri siapa? Dan kenapa? Dan mengenai keluarga broken homenya tanggapan kalian gimana?
KAMU SEDANG MEMBACA
RUMAH KITA (Tamat)
Teen Fiction(PART MASIH LENGKAP) Suri benci Matteo. Matteo benci Suri. Kedua kakak-beradik itu saling membenci. Mereka tidak seperti layaknya kakak-adik pada umumnya, setiap kali mereka bertemu akan ada suara teriakan yang terdengar, baik Suri maupun Matteo sam...