17 || Waktu yang Langka

3.6K 572 34
                                    

Instagram : unianhar

Malam yang sepi bagi dua anak manusia yang menelusuri jalan komplek sejak tadi, keduanya terus berjalan dengan langkah santai tanpa melepaskan tautan tangan mereka, gelap tidak menjadi persoalan bagi keduanya yang terpenting mereka sampai ketempat tujuan. Matteo mengeratkan genggamannya ditangan mungil Suri yang melangkah agoh-ogahan.

"Lo mau bawa gue kemana?"

"Mau gue jual?" Sahut Matteo belok ke kiri tepat dibawah tiang lampu jalan, keduanya melintas dibawah lampu diselingi dengan bayangan mereka yang terus mengikuti.

"Gue serius, Matt" Suri mendesis menabok lengan Matteo.

"Gue juga serius." Matteo memandang kedepan di mana pos satpam komplek berada, "Tapi masalahnya siapa yang mau beli? Bukannya untung malah rugi, secara lo galak banget kaya guk-guk tetangga kita" Matteo mengingatkan Suri dengan binatang peliharaan tetangga mereka. Namanya Lexy, seekor anjing jantan yang sensitif, lewat didepan rumah tuannya saja Lexy sudah menggonggong keras.

"Jangan salah! Gini-gini gue itu baik. Cuman gue baik milih-milih juga" sanggahnya tidak terima, "Gue baik sama orang yang memang pantes dibaikin nggak kaya lo bawaannya pengen ngulitin tiap liat muka lo!"

"Lo kaya monyet aja suka ngulitin kulit pisang"

"Beda bodoh! Monyet ngulitin pisang gue pengen ngulitin muka lo"

"Sama aja. Sama-sama ngulitin"

"Au ah! Jadi bego gue nanggapin ucapan lo mulu!" Ketus Suri tidak ingin bicara lagi. Matteo terkekeh memasukkan tangan mereka kedalam saku jaketnya.

Sesampai di pos satpam Matteo menyapa lima orang satpam yang berjaga, mereka mengobrol beberapa saat, Matteo menanyakan kabar mereka beserta keluarga begitupun mereka juga menanyakan kabar Matteo, sekolah Matteo dan kemana Matteo akan pergi selarut ini padahal ia masih menggunakan seragam sekolahnya.

Suri yang berdiri disamping Matteo hanya mendengarkan pembicaraan mereka sesekali ikut tersenyum.

"Ini siapa, mas?" Seorang satpam bernametag Ilham menanyakan gadis yang bersama Matteo. 4 tahun bekerja disana ia belum pernah melihatnya di sekitar komplek.

"Oh ini adik aku pak. Namanya Surinala. Suri kenalin bapak ini namanya pak Ilham satpam dibkomplek kita" Matteo memperkenalkan mereka tanpa canggung sebab ia udah sangat mengenal pak Ilham. Sebenarnya bukan cuma pak Ilham, semua satpam disana akrab dengan Matteo.

Matteo yang rendah hati dan ramah sangat mudah berbaur dengan mereka, ia tidak memandang status sosial mereka, selayaknya teman nongkrong Matteo nyaman mengobrol bersama. Tiap kali bertemu atau bosan di rumah Matteo memilih ke pos satpam ikut ngopi atau bermain kartu dengan mereka.

"Halo nona, saya Ilham. Salam kenal" pria paruh baya berusia hampir 50 tahun itu mengulurkan tangan pada Suri.

"Iya pak saya Surinala panggil aja Suri" balas Suri meraih uluran tangan pak Ilham.

"Maaf ya non Suri, mang Ilham ini baru ngeliat nona jadi beliau nggak tau" celetuk pak Hasan satpam yang sudah lama bekerja di komplek itu. Suri mengangguk mengerti. Berbeda dengan Matteo yang memiliki banyak teman disekitar komplek Suri kebalikannya. Setelah pulang sekolah atau latihan Suri akan memilih diam di rumah, sebenarnya ini bukan pertama kali Suri melihat pak Ilham. Suri sering melihatnya saat ia berangkat sekolah, posisinya didalam mobil membuat pak Ilham tidak melihatnya dari luar.

Niat Matteo membawa Suri ke kafe depan komplek ia urungkan setelah mendapat tawaran dari pak Hasan dan pak Ilham bergabung bermain kartu bersama. Bukannya marah atau kesal Matteo membawanya kesana Suri lebih memilih duduk disamping Matteo memperhatikan ia bermain kartu.

"Assah!" Pekik Matteo menghentakkan kartunya keras diatas meja sampai menimbulkan suara.

"Pak Agung jongkok!"

Satpam bernama Agung berjongok diposisinya mendapatkan hukuman dari Matteo.

"Mas Matt buang kartu apa?" pak Ilham memperhatikan deretan kartu yang ada ditangannya.

"Nol kosong pak" sahut Matteo menunjuk kartu yang ia buang, Pak Ilham meletakkan kartu selanjutnya.

Mas, mungkin jika orang lain mendengar panggilan para satpam pada Matteo akan heran mengapa mereka memanggilnya mas? Kenapa bukan aden? Atau tuan muda? Jawabannya karena Matteo sendiri yang meminta mereka memanggil mas. Alasannya sederhana, disaat Matteo bersama mereka itu berarti Matteo akan jadi bagian mereka. Bagi Matteo kasta hanya akan membangun tembok pemisah diantara mereka.

"Non Suri suka makan pisang goreng, tidak?" Suri yang menyenderkan dagunya dibahu Matteo mendongak pada pak Soyib yang duduk didepanya seraya meletakan semangkok pisang goreng dingin di meja, "Ini pisang goreng buatan istri saya tadi sore, kalau non Suri suka sok atuh dimakan!" Tawarnya dengan senang hati.

"Nggak apapa saya makan, pak?"

"Ya nggak apapa atuh non. Bapak seneng kalau non Suri mau makan"

Suri tersenyum lebar mengambil sepotong pisang goreng disana, tanpa dipersilahkan Matteo juga mengambil sepotong, lalu pak Agung, pak Ilham dan Hasan mengambil potongan terakhir disana. Mereka makan bersama sembari bermain kartu.

Semua orang yang ada dipos larut akan permainan kartu mereka membiarkan pak Soyib kerja sendiri menangani kendaraan yang baru masuk ke komplek mereka.

Suri duduk mepet pada Matteo mengintip kartunya sambil memberi kode pada pak Hasan didepannya membocorkan kartu terakhir Matteo. Suri yang menjadi mata-mata berkali-kali berhasil menghentikan kemenangan Matteo hingga poin demi poin yang Matteo kumpulkan habis, alhasil ia harus dapat giliran berjongkok.

"Mati!" Tembak pak Hasan meletakkan kartu asnya. Kartu ditangan Matteo terjatuh, Matteo mengelus wajahnya. Pak Hasan berdiri bersamaan dengan Suri yang ikut berdiri kegirangan berhigh five bersama pak Hasan. Sadar akan kecurangan yang ia dapat Matteo menatap Suri pongoh. Bisa-bisanya ia terlena dengan nyi blorong disampingnya.

"Lo....bener-bener..."

"Lo sengsara gue happy wleeee!" Balas Suri menjulurkan lidahnya menjauh. Ia mengambil posisi duduk jauh dari Matteo. Menyenangkan mengerjai Matteo sebelum tertidur.

Waktu menunjukkan pukul 23.00, malam semakin larut, Matteo berpamitan sebelum pulang pada mereka dengan posisi menggeondong Suri dipunggungnya. Pak Soyib yang berniat ingin menemani Matteo pulang ditolak sopan, Matteo tidak ingin merepotkan.

Dengan posisi menggendong Suri Matteo berjalan menelusuri jalan yang sama, gelap. Hanya berbekal penerangan seadanya ia gunakan sebagai penuntun jalan. Beberapa lampu jalan di kompleknya mati dan katanya besok baru bisa diperbaiki.

Helaan napas pelan lolos dari mulut Matteo memperbaiki posisi Suri yang bergerak dipunggungnnya. Merasa Suri tenang ia baru melanjutkan langkahnya menuju rumah mereka.

"Den?"

Matteo menyerobot masuk setelah pintu terbuka, matanya melirik keruang keluarga lalu kembali menoleh pada bi Mayang. Tau maksudnya bi Mayang mengangguk, Matteo bernapas lega melanjutkan langkahnya membawa Suri menaiki tangga menuju kamarnya.

Matteo meletakkan Suri di ranjang hati-hati, membuka sepatunya dan meminta bi Mayang membantu Suri mengganti bajunya. Sebelum beranjak dari sana ia mengelus kepala Suri cukup lama, kedua sudut bibirnya terangkat. Ia tersenyum hampa, tak ada makna bahagia disana.

"Malam ini kita udah kaya saudara ya, Surinala. Besoknya entah gimana, tapi gue ngerasa kita bakal balik kaya biasa."

Setelah mengatakan itu Matteo keluar dari sana membiarkan bi Mayang mengganti baju Suri. Matteo ingin menuju ke kamarnya tapi tiba-tiba tenggerokannya serak, ia butuh minum. Ia melangkah menuju dapur mendapati seseorang menangis sesegukan dibalik meja pantry. Tanpa meliatnya Matteo yakin itu suara Vella, mamanya.

"Mama?"

Tbc

RUMAH KITA (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang