Part 38 || Ayo Berhenti

3.2K 591 74
                                    

Instagram : unianhar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Instagram : unianhar

Matteo menatap Arman yang terbatuk di depannya sembari memegang lehernya meraih tisu menutup mulutnya. Dengan sikap tenang cowok itu memberitahunya kalau ia mundur dari seleksi timnas U-18. Arman jelas tau impian Matteo selama ini dan dengan gampangnya cowok itu memberitahunya seolah apa yang ia lakukan sudah tepat.

"Lo gila ya!" Sentak Arman menunjuk Matteo tidak menyangka sama sekali.

"Gue pengennya gitu tapi sayang gue masih waras."

Semua orang akan menganggapnya gila bahkan dirinya saja menganggap dirinya gila. Gila karena melepaskan mimpinya begitu saja. Matteo menyeruput teh manis hangatnya menatap lurus ke jalan raya di depan mereka. Hingar bingar kendaraan yang berlalu lalang mengambil perhatiannya tidak terganggu dengan tatapan Arman di sampingnya.

Kedua cowok itu berada di warung makan kecil, duduk di depan jendela kaca menghadap jalan raya yang bising karena suara kendaraan. Keinginan Arman yang ingin makan di restoran harus diurungkan ketika Matteo menunjukkan isi dompetnya yang harus tersisa selembar uang lima puluh ribu. Tidak jadi di restoran maka warung kecilpun jadi.

"Kenapa?"

"Gue nggak mau ninggalin keluarga gue."

"Jangan lebay! Seleksinya di Cipanas bukan di akhirat" cetus Arman tanpa mengalihkan tatapannya dari Matteo.

"Kalau di akhirat tanpa mikir lagi gue bakal ke sana" sahutnya masih dengan pandangan lurus ke depan.

Tidak tahan terus ditatap Matteo membalas tatapan Arman yang menyelidik. Tidak biasanya Matteo ngomong aneh seperti itu. Matteo menyunggingkan senyum samar sebelum menghela napas panjang menetralkan perasaan gundahnya.

"Man, waktu orangtua lo cerai...." Matteo menggantungkan kalimatnya menatap Arman yang menaikkan sebelah alisnya, Matteo menelan salivanya susah sebelum membasahi bibir pucat dan keringnya. "....gimana perasaan lo?"

Kedua bahu Arman menurun memalingkan wajah meraih teh hangatnya yang sudah mulai dingin. Terbersit perasaan bersalah melihat wajah Arman, tiba-tiba tenggorokan Matteo terasa kering.

"Lo nanya perasaan gue waktu itu apa sekarang?" Tanya Arman balik. Raut wajahnya kembali seperti semula.

Matteo diam sejenak sebelum menjawab, "Kalau sekarang?"

"Biasa aja."

"Kalau waktu itu?"

"Tentu saja gue sakit," jawabnya cepat, "gue belajar ikhlas meski awalnya terasa sulit. Gue sama kayak anak-anak lain pada umumnya, pengen punya keluarga lengkap, makan bareng, liburan bareng, ngumpul bareng tapi gue nggak bisa maksain kehendak orangtua gue." Lontarnya terdengar getir.

"Lo nggak minta mereka buat nggak pisah?"

"Gue pengen. Tapi gue mikir lagi, bukannya setiap pilihan ada alasannya?"

RUMAH KITA (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang