[08] : Perjanjian

603 87 11
                                    

"Kamu ada kuliah pagi?" Tanya Azib saat menyantap sarapan paginya.

"Iya," jawab Ani singkat. Vokalnya tenang, ia menyantap sarapan paginya.

Waktu memang cepat berlalu, tidak terasa pula jika umur pernikahan mereka sudah menginjak usia 1 minggu.

Ani sudah tidak kesiangan lagi. Subuh tadi, dia sudah mulai beraktivitas. Ani juga menyiapkan sarapan untuk makan pagi dia dengan Azib. Dan tentu saja, Ani sudah belajar dari pengalamannya malam itu. Ani memasak dengan teliti, Ani pastikan jika tidak akan ada lagi yang namanya rambut di masakannya.

Azib akui jika masakan istrinya bisa dibilang enak. Ani memang pintar memasak beberapa makanan. Azib puji akan hal itu. Tetapi jika tentang kecerobohan, hal yang membuat Azib teringat akan kejadian malam 1 minggu lalu.

"Ada yang perlu saya bicarakan sama kamu." Tiba-tiba Azib berbicara. Menghentikan makannya yang masih tersisa separuh, suara Azib juga terdengar serius di telinga Ani.

Otomatis, Ani juga menghentikan makannya, ia mendogak, menatap Azib dengan heran.

"Ada apa?" tanya Ani.

Azib menghela napas. "Sebenarnya, saya mau bilang ini sebelum pernikahan, tapi karena waktu tidak mendukung, jadi saya baru sempat bilang hari ini," ujar Azib bertele-tele.

Ani masih diam mendengarkan. Azib berdehem. "Kita menikah tanpa ada rasa apapun. Saya tahu jika kamu juga pasti terpaksa sebelumnya. Saya juga tahu jika kamu merasa terkurung saat berada di rumah. Saya ucapkan terimakasih karena kamu sudah mengurus saya selama satu minggu ini, tapi ... "

Azib sengaja menggantung ucapannya di akhir, membuat Ani mengernyitkan kening heran. Yang Azib lanjutkan, "Jika kamu merasa terpaksa, lebih baik jangan lakukan hal itu lagi."

Ani bungkam.

"Saya tahu jika pernikahan kita tidak seperti harapan masing-masing. Kita tidak ada rasa, tapi ada ikatan," imbuh Azib.

"Jadi, inti dari ucapan kamu itu apa?" Gadis itu to the point.

Azib menghela napas. Sempat menatap dua manik mata Ani dengan serius. "Kita bisa mencari kebahagiaan sendiri. Bukan kah itu akan lebih baik?"

"Hah?" Benar-benar tak mengerti. "Maksud kamu?" tanya Ani lagi.

"Gini, jika kamu ingin pergi bersama teman-teman kamu, silahkan. Kamu bisa bebas, dan saya tidak akan mengikut campuri urusan kamu, tapi kamu juga harus sedemikian rupa kepada saya," jelas Azib.

Ani diam berpikir.

"Meski pun kita terikat ikatan pernikahan, tapi di ikatan ini, kita tidak ada perasaan. Ikatan ini hanya untuk kebahagiaan orang tua kita, bukan begitu?" imbuh Azib.

Benar juga. Mereka menikah hanya sekedar tinta hitam di atas kertas putih, tanpa ada rasa sama sekali.

Lantas, tidak ada salahnya, kan, jika mereka ingin mencari kebahagiaan sendiri?

Ani mengangguk. "Iya, sih, tapi ... kalau orang tua kita tau tentang hubungan rumah tangga kita, gimana?"

Ini tidak benar! Kalian kira pernikahan itu permainan?

"Jangan sampai ketahuan. Kita hanya perlu mesra di hadapan mereka, tapi jika di belakang, kita bisa cari kebahagiaan. Kita cukup terpaksa di depan orang tua, tapi jangan di belakang juga. Saya sama kamu juga berhak untuk bahagia."

Ani mengangguk. Merasa jika perkataan Azib memang benar, tapi ...
"Bukannya itu berbohong?" tanya Ani.

Iya, nanti dosa, loh.

KOMITMEN ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang